Memanipulasi Ketakutan (*Bagian 1)


527

Memanipulasi Ketakutan (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

Sejak dulu kala, ketakutan memang telah ada dalam diri manusia. Paham akan konsep ini, maka para perekayasa sosial kemudian sengaja memanipulasi ketakutan guna melanggengkan apa yang telah menjadi skenario mereka pada suatu masyakarat.

Maksudnya gimana?

Saya kasih ilustrasi sederhana tentang bangsa Mesir kuno. Kita tahu bahwa masyarakat Mesir kuno memiliki Dewa Matahari yang mereka namakan Ra. Menurut apa yang mereka percayai, Dewa Ra akan dimangsa oleh Dewa Ular yang bernama Apep, saat malam menjelang. (https://www.worldhistory.org/Apophis/)

Dan ini terjadi setiap harinya. Ajaibnya mereka percaya-percaya saja akan mitos ini.

Kenapa masyarakat Mesir kuno percaya akan skenario ini?

Karena ada para pendeta yang memanipulasi ketakutan dasar mereka. Guna menghidupi mitos ini, kemudian para pendeta tersebut mengembangkan ritual rumit untuk dapat menyelematkan Dewa Ra dan mengusir Apep sang Dewa Ular, agar pagi bisa menjelang.

Proses manipulasi kebohongan tersebut sangat sukses, sehingga otomatis menempatkan kelas imam alias pendeta sebagai kasta terhormat dan memegang perang sentral dalam masyarakat Mesir kuno. “Siapa yang bisa mendatangkan pagi jika bukan kelas imam?”

Saya jamin, anda bakal tertawa membaca kisah Ra dan Apep pada masyarakat Mesir kuno. “Kok bisa ya mereka dibohongi mentah-mentah oleh para pendetanya?” begitu kurleb pertanyaan anda.

Ini bisa terjadi, karena peran para pendeta tadi yang sangat tahu bahwa masyarakat nyatanya bisa dimanipulasi guna menempatkan posisi mereka secara terhormat strata sosial. Dan bila ada yang mempertanyakan mitos tersebut, itu artinya dengan mempertanyakan tatanan masyarakat Mesir kuno itu sendiri.

Pertanyaan kritisnya: apakah anda yakin bahwa pikiran anda tidak bisa dimanipulasi seperti masyarakat Mesir kuno yang sudah anda tertawakan tadi?

Jaman boleh berganti, nyatanya praktik manipulasi ketakutan tetap saja jalan.

Di Amrik sana, ancaman bahaya ‘Merah’ Uni Soviet dan kekuatan militernya, telah lama digunakan untuk memanipulasi pikiran rakyat. Contoh paling gamblang adalah bagaimana seorang JFK menyatakan kegagalan pemerintahan Eisenhower dalam mengantisipasi bangkitnya kekuatan rudal Soviet.

Lewat tangan RAND Corporation, dikisahkan bahwa Uni Soviet telah berhasil membangun kekuatan 500 rudal balistik antar benua yang sewaktu-waktu bisa ditembakkan ke Amrik. Mendengar ancaman ini, apa nggak buat ketar-ketir rakyat AS?

Solusinya: ‘Pilihlah JFK (saat pilpres) jika mau ancaman ini ditanggulangi.’ Dan ini akan berdampak pada terbentuknya Military Industrial Complex agar AS dapat menghasilkan mesin perang dan kontraktor pertahanan melawan kekuatan komunis Soviet.

Memang berapa rudal balistik antar benua yang berhasil dimiliki Soviet saat itu?

Hanya 4 buah saja. Dan gap yang demikian banyaknya (dari 3 digit ke 1 digit), sempat mendatangkan tanda tanya besar. (https://www.jstor.org/stable/27552538)

Pesan yang saya mau sampaikan adalah bahwa manipulasi ketakutan, tetap ada meskipun kini sudah era modern.

Dengan memanipulasi ketakutan, orang akan dibuat ketakutan setengah mati, sehingga akan rela menyerahkan uang, kedaulatan atau bahkan nyawa mereka sekalipun guna mencegah atau menghentikan sumber ketakutan yang telah dinarasikan.

Proses memanipulasi ketakutan yang paling kondang adalah tentang teori ‘ledakan penduduk’ yang dilontarkan oleh Thomas Robert Malthus pada akhir abad ke-18 silam.

“Dunia tengah menuju bencana demografis, karena populasi manusia akan meningkat secara eksponensial, sementara persediaan makanan hanya meningkat secara aritmatika,” demikian ungkap Malthus. (http://www.esp.org/books/malthus/population/malthus.pdf)

Dengan demikian, hanya tinggal masalah waktu saja dimana pada suatu saat nanti, populasi manusia akan melampaui kemampuan dunia untuk memberi makan umat manusia.

Apa yang diungkapkan Malthus selaku pendeta Anglikan, hanya didasarkan pada asumsi dasar yang nggak ada dasar sains-nya. Ini sama saja dengan analogi orang tua yang melihat pemkembangan anaknya yang berumur setahun dan memiliki tinggi bada 60 cm.

Dan tiba-tiba dia memperkirakan tinggi anaknya bakal mencapai setidaknya 10 meter pada saat berusia 20 tahun nanti, sesuai dengan perhitungan tingginya saat ini.

Nyatanya asumsi demikian bukan saja tidak tepat tapi mengandung cacat berpikir, mengingat ada titik dimana tinggi badan tidak lagi bertambah setelah usia tertentu (biasanya nggak lama setelah pubertas). (https://www.healthline.com/health/do-guys-keep-growing-until-age-25#growth-period)

Sama dengan teori over populasi yang dikemukakan Malthus, inipun banyak asumsi yang nggak bisa diverifikasi, mengingat bumi bukanlah permainan zero-sum yang bersifat statis. Selain itu Malthus terlalu menyederhanakan masalah, karena nyatanya manusia itu makhluk cerdas yang sifatnya adaptif terhadap perubahan. Termasuk soal pangan.

Jadi kalo sekarang ada masalah kekurangan pangan, manusia akan coba cari cara untuk menanggulangi masalah ini agar situasi ini tidak berulang lagi.

Bagaimana kita tahu kalo teori Malthus benar adanya atau hanya asumsi belaka?

Gampang membuktikannya. Coba jawab: apakah setelah 200 tahun sejak teori Malthus dikumandangkan, ledakan penduduk terjadi di dunia?

Kan nggak. Bahkan PBB mengakui bahwa populasi global akan turun dan mulai menurun pada 2050 nanti. Jadi teori ledakan mana yang dimaksud Malthus? (https://www.un.org/development/desa/en/news/population/world-population-prospects-2017.html)

Dengan kata lain, Malthus yang bekerja pada East India Company College tersebut, hanya memanipulasi ketakutan dengan menciptakan teori ledakan pendudukan.

Apa motivasinya?

Mungkin anda bisa tanyakan pada Nathan Mayer Rothschild yang memiliki dan juga mendanai jaringan East India Company tempat Malthus bekerja. (https://www.rothschildarchive.org/collections/treasure_of_the_month/december_2017_east_india_company_stock_list_1815)

Apakah dengan tidak terbuktinya teori Malthus, lantas otomatis membuat teori tersebut ditinggalkan? Tidak semudah itu, Rudolfo.

Pada bagian kedua nanti saya akan mengulasnya.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!