Gejolak di Iran


508

Gejolak di Iran

Oleh: Ndaru Anugerah

“Bang, bahas dong soal aksi massa yang ada di Iran?” tanya seorang netizen ditengah waktu akhir pekan saya.

Seperti yang kita tahu, bahwa demonstrasi yang berujung rusuh telah terjadi di Iran sejak pertengahan September silam. Penyebabnya adalah kematian Mahsa Amini yang diduga dibunuh oleh aparat keamanan lantaran melanggar UU karena nggak mau memakai jilbab. (https://www.reuters.com/world/middle-east/iran-summons-uk-norwegian-envoys-unrest-persists-2022-09-25/)

Asal tahu saja, bahwa di Iran, kaum hawa (baik anak-anak maupun perempuan dewasa) wajib menggunakan penutup kepala mereka karena sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku sejak 1983. Jadi kalo yang nggak mau menggunakan jilbab, siap-siap saja berhadapan dengan aparat hukum. (https://rasanah-iiis.org/english/centre-for-researches-and-studies/the-hijab-and-politics-in-iran/)

Akibat dari kematian Amini, menurut laporan media mainstream, di seantero Iran baik wanita biasa dan juga tokoh masyarakat plus aktris, ramai-ramai menanggalkan jilbab, sebagai bentuk solidaritas. (https://www.dnaindia.com/world/report-iran-anti-hijab-protest-anti-hijab-protest-elnaaz-norouzi-elnaaz-norouzi-viral-video-elnaaz-norouzi-strip-2992079)

Apakah meninggoy-nya Amini disebabkan karena penganiayaan?

Nggak ada yang tahu pasti. Namun pernyataan yang dirilis aparat setempat, kematiannya bukan dikarenakan penganiayaan, tapi karena serangan jantung. Saat dibawa ke rumkit untuk ditangani, naasnya nyawa Amini nggak tertolong. (https://www.cbsnews.com/news/mahsa-amini-dies-custody-morality-police-iran-investigation/)

Masalahnya, insiden yang menimpa Amini terjadi pada 16 September. ‘Ajaib’-nya, hanya 2 hari berselang, protes massal dan kerusuhan langsung meledak dan tak terelakkan.

Bukan itu saja, tercatat pada 10 November silam, sudah ada 323 korban tewas akibat aksi tersebut, dan setidaknya lebih dari 14 ribu orang ditangkap. Dan ini bukan lagi kejadian yang biasa, tapi sudah ruar biasa. (https://www.foxnews.com/world/iran-protests-rage-streets-officials-renew-threats)

Kejadian ini mengingatkan kita pada saat dimulainya Arab Springs di Tunisia dengan episode serupa di tahun 2010 silam. Saat itu, seorang pemuda Tunisia yang bernama Mohamed Bouazizi kedapatan membakar dirinya dengan menyiramkan bensin sebagai bentuk protes kepada negara.

Wajar Bouazizi protes, karena aparat keamanan meminta ‘jatah preman’ pada dirinya yang hanya menggantungkan hidup dari hasil jualan buah-buahan.

Jangankan membayar japrem, lha wong buat cari makan untuk isi perut saja sudah kembang-kempis. Lantaran keluhannya tidak didengar oleh aparat keamanan, Bouazizi ambil jalan pintas dengan membakar dirinya. Tragis!

Kejadian ini menginisiasi protes jalanan di seluruh negeri dan berujung revolusi Melati, demi menumbangkan rezim Ben Ali yang ditenggarai korup, nggak berkeadilan serta menciptakan pengangguran, kemiskinan plus kerap menerapkan represi politik bagi yang nggak sepaham. (https://www.britannica.com/event/Jasmine-Revolution)

Ada kesamaan narasi, dalam hal ini. Kalo memang Amini tewas dibunuh, kenapa juga aparat keamanan-nya saja yang dibredel, sehingga eskalasi nggak meningkat? Lantas, kenapa dalam waktu sekejab, demonstrasi bisa meluas ke seantero negeri.

Belum lagi media mainstream yang bersuara ‘sama’ dalam hal demonstrasi massa yang ada di Iran. Apakah mungkin ini hanya ‘kebetulan’ semata?

Bukankah dalam geopolitik nggak ada yang sifatnya kebetulan?

Menanggapi masalah ini, beberapa analis berspekulasi bahwa skenario ini memang disengaja guna menggoyang supremasi Iran di Timur Tengah. Penyebabnya nggak lain karena Iran merupakan batu sandungan bagi terbentuknya Israel Raya di TimTeng. (https://cnionline.org/the-zionist-plan-for-the-middle-east-yinon-odeds-a-strategy-for-israel-in-the-nineteen-eighties/)

Guna mendukung analisa ini, maka disebutkanlah sejumlah paparan. Misalnya gelombang protes yang dimulai segera setelah KTT SCO (Shanghai Cooperation Organization) yang digelar di Samarkand, Uzbekistan berakhir.

Salah satu klausul KTT tersebut adalah diterimanya Iran sebagai anggota penuh pada organisasi tersebut. “Dengan masuknya Iran pada keanggotaan SCO, maka tatanan dunia baru yang multipolar bisa segera diwujudkan,” begitu kurleb alasannya. (https://orientalreview.org/2022/09/17/the-significance-of-the-scos-samarkand-summit/)

Pertanyaanya: kenapa saat Iran masuk SCO, kok tiba-tiba menjadi tidak ‘diinginkan’? Bukankah Iran selama hampir 4 dekade sudah menjalin kedekatan dengan China? Kenapa baru sekarang kebakaran jenggot? (https://thediplomat.com/2021/12/the-china-iran-strategic-partnership-40-years-in-the-making/)

Dikatakan lagi, bahwa gerakan demo di Iran dipicu oleh sejumlah perjanjian dengan Rusia, dari mulai pasokan gas, hingga kerjasama militer. (https://www.reuters.com/business/energy/iran-russias-gazprom-sign-primary-deal-energy-cooperation-2022-07-19/)

Bahkan munculnya drone Kamikaze buatan Iran di barisan tentara Rusia yang melakukan ‘operasi’ khusus di Ukraina, turut disasar sebagai alasan dibalik gerakan protes anti hijab di Iran. (https://www.foxnews.com/world/iran-selling-missiles-to-russia-adding-kamikaze-drones-report)

Masa hanya gegara kerjasama kedua negara, lantas Iran digoyang? Lagian ini bukan yang pertama kali, bukan?

Dan alasan terakhir yang disebutkan karena Iran ditenggarai sebagai biang kerok serangan dunia maya yang mengancam jaringan infrastruktur yang ada di Albania. Akibatnya hubungan diplomatik antar 2 negara kandas di tengah jalan. (https://www.foxnews.com/world/albania-cuts-diplomatic-ties-iran-following-cyberattacks-threats)

“Salah Albania sendiri, kenapa juga mereka membina organisasi teroris sekelas mujahedin-e Khalq yang kerap menyerang Iran?” (https://www.al-monitor.com/originals/2022/09/iran-condemns-albania-severing-relations)

Apa relevansi serangan dunia maya dengan aksi massa di Iran? Apakah Albania bisa sedemikian hebatnya mengorkestrasi gerakan massa?

Sebagai penutup dikatakan bahwa AS dan Israel-lah yang paling banyak diuntungkan dengan adanya gerakan protes di Iran, yang bisa mengarah pada revolusi warna. (https://orientalreview.org/2022/10/06/hijab-crisis-or-color-revolution-in-iran/)

“Masa iya Pakistan, Turkmenistan atau Irak yang menginginkan ketidak stabilan politik di Iran, yang bisa jadi bumerang buat mereka sendiri?” begitu asumsi yang dikemukakan.

Kalo anda mau terima alasan yang sudah dikemukakan oleh banyak analis geopolitik, ya monggo saja. Nggak ada yang harus dipersalahkan. Itu hak anda.

Namun bagi saya, alasan utamanya adalah klausul penggunaan hijab itu sendiri.

Dengan adanya aturan wajib penggunaan penutup kepala bagi para wanita di Iran, maka secara nggak langsung akan mengganggu proyek sang Ndoro besar Sustainable Development Goals, pada poin kelima, yaitu tentang kesetaraan gender. (https://www.unwomen.org/en/news/in-focus/women-and-the-sdgs)

Bayangkan jika pemerintah teokratis ala Iran tetap bercokol dengan aturan baku-nya, bisakah nilai-nilai ‘pluralisme’ semu atau ‘kesetaraan’ yang coba diusung oleh SDG di tahun 2030, bisa diwujudkan? Retorik, bukan?

Karena pentingnya target SDG tersebut, World Economic Forum sampai merilis laporannya di tahun 2021 silam, secara khusus tentang rezim di Iran. Dikatakan bahwa rezim ulama berada di peringkat 150 dari 153 negara dalam hal kesetaran gender.

“Rezim teokratis di Iran mendapat nilai 0,036 dalam hal pemberdayaan politik kaum Hawa,” demikian paparnya. (https://women.ncr-iran.org/2021/04/02/gender-gap-in-iran-and-lack-of-access-to-equal-opportunities/)

Nggak berlebihan jika sekelas PBB mengutuk keras aksi represif aparat keamanan di Iran dalam menangani aksi unjuk rasa. Bukankah PBB maupun WEF berada dalam sekoci yang sama? (https://news.un.org/en/story/2022/09/1128111)

Ini alasan utama dibalik serangkaian aksi massa di Iran belakangan ini.

Hijab hanyalah ‘simbol’ yang coba diusung sebagai bentuk protes. Bukan itu point pentingnya.

Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa sistem teokrasi harus segera dilengserkan karena nggak sesuai dengan nilai kesetaraan dan menghalangi laju SDG yang akan terealisasi di tahun 2030 mendatang.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!