Sang Pemangku Kepentingan (*Bagian 2)


530

Sang Pemangku Kepentingan (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah

Telah kita bahas bersama tentang bagaimana struktur pemangku kebijakan dibuat dan akan dieksekusi ke depannya dalam payung yang bernama Global Public Private Partnership (G3P). (baca disini)

Dengan kata lain, jika kita bicara soal Kemitraan Global, otomatis kita bicara soal Stakeholder Capitalism alias kapitalisme pemangku kepentingan, dimana korporasi global yang akan menjadi jantung-nya karena merekalah yang akan menjadi pengambil keputusan.

Demi mempertegas rencana, WEF menyatakan, “Karakteristik pemangku kepentingan adalah bersifat global. Apa yang dulu dianggap sebagai eksternalitas dalam pembuatan kebijakan ekonomi nasional, kini perlu di-internalisasikan pada setiap lembaga pemerintah, perusahaan, komunitas dan juga individu.” (https://www.weforum.org/agenda/2021/01/klaus-schwab-on-what-is-stakeholder-capitalism-history-relevance/)

Singkatnya, Pemangku Kebijakan akan punya kuasa secara global dalam mengatur dan memgawasi semuanya, baik itu pemerintah, perusahaan, komunitas dan juga individu. Kontrol inilah yang memang dibutuhkan oleh para ‘pemangku kebijakan’.

Setidaknya ini yang dinyatakan oleh World Economic Forum (WEF).

Bahkan dalam pengantarnya pada The Great Reset, WEF menyatakan hal yang sama, “Untuk memperbaiki keadaan dunia, WEF menginisiasi pengaturan ulang secara besar-besaran yang secara mendasar akan mengubah konteks tradisional dalam pengambilan keputusan.”

Lebih lanjut ditambahkan, “Berbagai ketidakkonsistenan dan ketidakmampuan dari banyak sistem mulai dari kesehatan, energi, keuangan hingga pendidikan telah membuka jendela peluang bagi pemulihan yang akan menentukan keadaan masa depan hubungan global, arah ekonomi nasional, prioritas masyarakat, model bisnis dan pengeloaan milik bersama secara global.” (https://www.weforum.org/great-reset)

Jadi, semua yang berkaitan dengan hubungan global di masa depan, arah ekonomi nasional, apa yang menjadi prioritas bagi masyarakat, model bisnis apa yang akan dikembangkan hingga status kepemilikan yang akan bersifat global, bakal diatur oleh Kemitraan Global.

Nggak akan ada space yang tersisa buat anda dan saya dalam pembentukkan kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah yang kelak akan kita pilih bersama melalui pemilu.

Kalo yang kasih ‘arahan’ adalah World Economic Forum, yang merupakan salah satu anggota Kemitraan Global sekaligus lembaga inti kartel sang Ndoro besar, maka bisa dipastikan semua akan menjadi kenyataan. Percayalah.

Mekanisme-nya, Kemitraan Global akan menelorkan kebijakan, dimana kebijakan tersebut akan diadopsi menjadi kebijakan nasional dan regional hingga akhirnya diturunkan ke tingkat lokal, yang semuanya berkiblat pada pembangunan ‘berkelanjutan’ yang sudah ditetapkan PBB. (https://www.un.org/sustainabledevelopment/globalpartnerships/)

Begitu rencana yang akan dilaksanakan. Catat ini baik-baik, karena akan besok keluar saat ulangan.

Lanjut Mang…

Memang para pemangku kebijakan, punya rencana apa buat manusia?

Nggak lain adalah kontrol atas populasi, baik dalam hal kuantitas maupun perilaku.

Ini bermula saat Club of Rome mendanai lembaga pemikir ‘independen’ guna menjustifikasi rencana besar mereka. Nama proyeknya The Limits to Growth yang digagas oleh ilmuwan Massachusetts Institute of Technology di tahun 1972 silam. (https://web.ics.purdue.edu/~wggray/Teaching/His300/Illustrations/Limits-to-Growth.pdf)

Inti dari pemodelan komputer yang dilakukan oleh ilmuwan MIT menyatakan asumsinya: populasi global akan menghabiskan sumber daya alam dan mencemari lingkungan sampai pada tahap dimana kondisi ledakan dan collapse akan terjadi sebagai dampaknya.

Sama halnya dengan plandemi Kopit yang merupakan hasil pemodelan komputer belaka, ini hanya ASUMSI dan BUKAN FAKTA. Namun karena mereka punya jaringan media, maka pemodelan ini dianggap sebagai sebuah keniscayaan yang akan terjadi bila tidak segera diantisipasi. (https://www.theguardian.com/commentisfree/2014/sep/02/limits-to-growth-was-right-new-research-shows-were-nearing-collapse)

Bermodalkan asumsi yang dikemukakan ilmuwan MIT, Komisi Brundtland dibentuk oleh Sekjen PBB kala itu Javier Perez de Cuellar dan mantan PM Norwegia, Gro Harland Brundlandt di dekade 1980an. (https://thesustainablemag.com/environment/the-history-of-sustainable-development-goals-sdgs/)

Tujuan utama Komisi Brundtland adalah rencana penyatuan pemerintahan dunia untuk mengejar pembangunan ‘berkelanjutan’ guna mengantisipasi over populasi yang akan membawa dampak buruk sekaligus ancaman bagi planet bumi. (http://www.un-documents.net/our-common-future.pdf)

Jadi ada 2 tujuan yang akan dicapai Komisi Brundtland. Pertama penyatuan pemerintahan dunia dalam satu payung (stakeholder capitalism) dan kedua pengendalian (pengurangan) populasi dunia. Singkatnya: kontrol atas populasi global.

Itu yang jadi tujuan utama dan terutama bagi segudang skenario yang dikembangkan kartel sang Ndoro besar.

Dan ajaibnya, nggak ada penolakan yang berarti atas asumsi yang dibangun oleh ilmuwan MIT atas ledakan penduduk. Sama halnya dengan plandemi Kopit yang merupakan produk asumsi. Padahal asumsi tetaplah asumsi belaka tanpa ada pembuktian yang sahih.

Kenapa ini bisa terjadi?

Karena ada peran media mainstream sebagai corong propaganda-nya. Apapun dan siapapun yang menolak asumsi ini, maka akan dengan mudah diberi label denial. Dan denial hanya akan dianggap sampah bagi peradaban.

So, kalo saat ini timbul istilah Sustainable Development Goals (SDG) yang merupakan kelanjutan dari Millennium Development Goals (MDG) sejak 2015 silam, ini merupakan pengejawantahan rencana induk yang telah lama dirancang sejak 1972 silam. (https://unevoc.unesco.org/home/Adoption+of+the+Sustainable+Development+Goals)

Apa yang bakal terjadi selanjutnya adalah pembuktian demi pembuktian atas rencana induk tersebut.

Semua negara (termasuk China, Iran hingga Rusia) bakal mengusung tema pembangunan berkelanjutan yang mengadopsi net zero carbon, karena memang semuanya dalam kendali sang Ndoro besar. Dan ini adalah tata kelola global. (https://iran.un.org/en/sdgs) (https://china.un.org/en/sdgs) (https://sustainabledevelopment.un.org/memberstates/russia)

Dan ini bukan lagi kebijakan nasional, karena di tingkat komunitas dan pemerintahan lokal, SDG juga sudah dieksekusi. (https://www.portsmouth.gov.uk/services/council-and-democracy/policies-and-strategies/creating-sustainable-communities/)

Sebagai penutup saya mau sampaikan bahwa SDG hanyalah salah satu instrumen bagi tata kelola global yang mencakup 17 bidang yang akan diraih oleh para Pemangku Kebijakan. Peran politisi yang akan dipilih melalui pemilu, nggak lain hanya sebagai jongos. Mereka hanya akan menjadi instrumen eksekusi kebijakan induk sang Ndoro besar.

Jika tahu skenario-nya seperti ini, lantas dimana esensi adu domba antar kubu dalam mengusung siapa kandidat capres yang akan berkontestasi kelak di 2024? Bukankah siapapun yang menang hanya akan menjalankan kebijakan sang Ndoro?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!