Ibarat Jualan Kecap


515

Ibarat Jualan Kecap

Oleh: Ndaru Anugerah – 16022024

Apa yang menarik dari jargon komunisme?

Janji manis yang ditawarkannya.

Jika anda pernah membaca The Communist Manifesto karya Karl Marx, pasti anda akan paham atas janji-janji manis yang ditawarkan. (https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/Manifesto.pdf)

Dari masing-masing sesuai dengan kemampuannya, untuk masing-masing sesuai dengan kebutuhannya,” begitu kurleb pernyataan Louis Blanc yang masyur, yang kemudian dikutip ulang seorang Marx. (https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/Marx_Critque_of_the_Gotha_Programme.pdf)

Sekilas, gagasan tersebut baik adanya. Sangat baik malah.

Hanya saja, pada kenyataannya, semua gagasan tersebut menjadi melempen saat kediktatoran komunisme mulai mengambil panggung kekuasaan. Alih-alih menerapkan gagasan yang diusung Marx, nyatanya semua berakhir sia-sia. Justru kebalikannya.

Bukan kediktatoran proletariat yang terwujud, melainkan kediktatoran atas nama dan tentu saja menyasar kaum proletar.

Ya ujung-ujungnya jualan kecap.

Awalnya, apa yang dijual, pasti nomor satu. Tentu nggak ada kecap yang nomor dua. Semua nomor satu.

Semua berebut pengaruh agar ‘jualannya’ laku di pasaran. Sebatas jualan jargon yang nggak seindah kenyataannya.

Mirip kelakuan para politisi yang kerap obral janji demi menarik suara konstituen saat pemilu, namun ‘mendadak’ lupa ingatan saat dirinya terpilih.

Sama halnya dengan program-program sang Ndoro besar. Ambil contoh Digital ID, Sustainable Development Goals atau Own Nothing and Be Happy.

Nggak ada satupun yang terdengar buruk, kecuali anda tahu implikasi dari program-program tersebut yang akan berdampak pada diri anda jika diterapkan kelak.

Anda perlu tahu, bahwa dunia kini tengah digiring menuju tatanan dunia baru yang kurleb-nya mirip dengan konsep yang diusung Marx lebih dari seabad silam. Sosialisme, tapi beda skenario, dimana negara akan mendistribusikan kekayaan kepada orang lain sesuai dengan kebutuhan.

Mirip sekali dengan jargon yang dikumandangkan Marx, “Dari masing-masing sesuai dengan kemampuannya, untuk masing-masing sesuai dengan kebutuhannya.”

Dengan jargon tersebut, maka menjadi wajar jika hak-hak semua orang bakal kemudian dibatasi. Yang penting kebutuhan bersama terpenuhi dan bukan memuaskan hasrat keinginannya semata .

Konsekuensinya, jika anda yang tadinya hobby traveling ke luar negeri, maka anda harus bersiap jika itu tidak bisa lagi dilakukan. Alasannya klasik, jika kebutuhan anda adalah sekedar ‘healing’, kan traveling dalam negeri saja sudah cukup. Mengapa ngotot liburan ke luar negeri?

Jika anda biasa menghabiskan uang anda untuk shopping-shopping di akhir pekan, maka anda harus bersiap kalo itu tidak bisa anda lakukan lagi. Alasannya klasik, karena kuota anda telah habis dan anda nggak punya uang digital lagi untuk dibelanjakan.

Atau saat anda menggerutu soal kenaikan harga barang di tempat umum akibat kebijakan yang diambil pemerintah, lalu tetiba anda ditangkap dan dijebloskan ke penjara dengan alasan subversif. Itupun anda harus siap.

Bahkan jika anda terbiasa mandi 2 kali dalam sehari, maka anda harus bersiap jika ke depan itu tidak bisa anda lakukan lagi. Alasannya-pun klasik, air bersih makin susah didapat, karena cadangannya terbatas.

Oleh sebab itu, mandi sekali dalam seminggu adalah hal yang lumrah untuk dilakukan dengan alasan menyelamatkan bumi dari pemanasan global.

Dan jika anda belum tahu atau belum menerima kenyataan ini, artinya anda belum siap untuk hidup di masa depan yang penuh dengan jargon keindahan hidup.

Benarkan, Ndoro?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


One Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!