Fake Pandemic, Fake News (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian pertama saya sudah mengulas tentang bagaimana fake pandemi bisa dimunculkan, walaupun sesungguhnya C19 bukanlah sesuatu yang tidak menakutkan apalagi mematikan, tapi dibuat seolah-olah jadi makhluk yang mematikan.
Kalo anda rajin baca analisa saya, maka kasus serupa banyak terjadi, dimana masyarakat dunia sukses dibuat panik oleh situasi yang seolah-olah genting, yang nyatanya justru sebaliknya.
Ingat bagaimana para elite global berhasil membuat situasi panik masyarakat di Amrik sana dengan menghembuskan isu akan kolaps-nya perekonomian nasional jika AS nggak punya sebuah bank sentral?
Peristiwa itu dipicu oleh rumor tentang dua bank (Knickbocker Bank dan Trust Co.,) yang nggak punya likuiditas cukup dan terancam bangkrut sehingga mengancam stabilitas perekonomian AS kala itu. “Perlu bailout, nah yang kasih siapa kalo bukan bank sentral?”
Inilah esensi panik 1907 yang diorkestrasi media mainstream, yang akhirnya sukses menciptakan bank sentral di AS sana yang bernama The Federal Reserve Bank alias The Fed. (baca disini)
Kasus dengan modus serupa kita jumpai kembali pada pandemi berjudul C19.
Ada isu yang dikembangkan, lalu akan ada aksi di lapangan untuk menanggapi isu tersebut dan terakhir akan ada resolusi alias penyelesaian terhadap masalah yang ada. Begitulah modus operandinya. (baca disini)
Sukses tidaknya skenario sangat dipengaruhi oleh peran media mainstream sebagai corong propagandanya.
Setidaknya ada 2 perannya: pertama mengacaukan pikiran massa dan kedua menghalau siapapun yang mencoba membongkar skenario yang tengah dimainkan.
Pertama, bagaimana cara mengacaukan pikiran massa, agar proyek C19 sukses dipasaran? Simpel: sebar KETAKUTAN. Ini prinsip utama dalam propaganda, karena orang takut nggak akan bisa berpikir normal sehingga sangat mudah untuk digiring pemikirannya. (baca disini)
Maka proyek pertama yang dilakukan berulang-ulang oleh media mainstream saat ini adalah menyebar RASA TAKUT. Dengan memonopoli berita, otomatis akan mempengaruhi banyak kepala yang melihat dan membacanya. Dan middle class yang hobi baca media mainstream adalah sasaran empuk proyek ini.
Nggak aneh kalo berita yang kita temui saat ini di media mainstream, isinya mayoritas teror semua. Dan itulah kata kuncinya – TAKUT. Coba perhatikan headline berita dibawah ini:
Angka kematian akibat C19 terus meningkat tanpa bisa dicegah.
Orang baru pulang dari pasar, sehabis memegang uang kembalian, langsung tertular C19.
Seorang yang baru sembuh dari C19, tertular lagi C19.
China mengalami gelombang kedua C19, setelah baru saja dihantam gelombang pertama di Wuhan.
Baru saja lockdown dibuka, pasien yang tertular C19 langsung melonjak tajam.
Dan gilanya lagi, seorang dokter di Aussie mengklaim bahwa C19 bisa ditularkan lewat kentut. (https://www.thesun.co.uk/news/11401962/doctor-coronavirus-people-spreading-farts/)
Inilah yang akhirnya membuat masyarakat jadi paranoid pada sesuatu yang nggak kelihatan. Akibatnya masa karantina jadi diperpanjang, dan ekonomi makin terpuruk.
Yang ada, bukan Corona yang membunuh, tapi kelaparan karena nggak punya uang-lah yang akhirnya membunuh mereka. (baca disini)
Proses dimana ketakutan demi ketakutan difabrikasi lewat kebohongan, inilah yang menciptakan fake news alias berita bohong. Seolah-olah benar, padahal ngawur beritanya. (https://id.wikipedia.org/wiki/Berita_bohong)
Italia mungkin bisa dijadikan rujukan, bagaimana kebohongan bisa sukses difabrikasi.
Menurut National Institute of Health angka kematian akibat C19 di Italia sebanyak 25.000 orang. Setelah dicek ulang oleh Vittorio Sgarbi (seorang anggota parlemen), yang meninggal akibat C19 hanya 925 orang saja dan sisanya (24.075) meninggal karena penyakit lainnya.
“Virus Corona itu nggak lebih dari influenza biasa. Jangan bohong! Katakan yang sebenarnya.” demikian ungkapnya. (https://youtu.be/bUCWcft6kao)
Lalu apa fungsi media mainstream yang kedua?
Menghalau siapapun yang mencoba membongkar skenario yang tengah dimainkan elite global, dengan jurus jitu yang dikembangkan CIA. “Beri label siapapun yang coba mengungkapkan skenario yang tengah dimainkan dengan TEORI KONSPIRASI.” (baca disini)
Tujuannya sederhana: membungkam suara kritis dan mengubur niat siapapun yang hendak menghubungkan ‘titik-titik’ peristiwa buat dianalisa. Peran ini kini tengah diperankan oleh lembaga fact checker yang sudah tentu nggak bebas kepentingan. (baca disini) (baca disini)
Ketika seseorang ingin mempertanyakan kenapa status lockdown diberlakukan lengkap dengan alasannya, maka lembaga fact checker akan gercep memberi label: TEORI KONSPIRASI.
Ketika para dokter di AS mempertanyakan mekanisme perawatan pasien C19 yang justru salah karena mengikuti protokol yang disarankan WHO, maka mereka dicap TEORI KONSPIRASI.
Ketika para ilmuwan dunia mengatakan ada obat potensial dalam menangani C19 yaitu interferon alpha 2B dan juga chloroquine, maka buru-buru dinyatakan TEORI KONSPIRASI.
Bahkan ketika banyak analis geopolitik membuat analisa tentang bagaimana akhir krisis C19 bakal dikembangkan dengan ‘berjualan vaksin plus’ oleh Big Pharma atas instruksi Bill Gates, kembali mereka diberi label TEORI KONSPIRASI.
Memang begitulah cara kerjanya. Semua harus ditutup rapat, sampai skenario akhir hanya mereka yang boleh tahu. Bahkan kalo Tuhan-pun tahu skenarionya, maka Tuhan-pun akan diberi label TEORI KONSPIRASI.
Inilah saat anda, iya anda… golongan middle class yang harus bangkit melawan skenario elite global tersebut. Jangan mau dibohongin media mainstream. Jangan mau juga dibohongin elite global.
Apakah anda terima jika nasib anda dan turunan anda selamanya jadi jongos elite global?
Pilihan ada ditangan anda.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
Dari hari kehari saya semakin menyukai analisa anda dan saya pun setuju dengan apa yang anda telah tulis. Pertanyaannya sekarang bagaimana kita dapat menyebarluaskan analisa-analisa anda ini ke pada publik yang lebih luas, apakah analisa2 ini juga dibaca oleh pemerintah. Bagaimana sikap media mainstream nasional ttg semua analisa anda ini ? Slam kenal dan salam hormat.
analisa saya sedapat mungkin diberangus oleh media mainstream, karena dianggap sebagai pengacau monopoli berita