Fake Pandemic, Fake News (*Bagian 1)


529

Fake Pandemic, Fake News (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

“Kalo ini merupakan pandemi palsu, lalu orang yang mati sudah ratusan ribu diseluruh dunia apakah juga palsu?” tanya seseorang.

Pertanyaan standar seorang middle class yang modal bacaannya media mainstream sebagai rujukan analisa. Gapapa juga. Saya akan coba menjawabnya, tapi pakai data ya. Tujuannya agar tradisi debat ilmiah bisa kita hidupkan.

Di Juni 2009, dunia dibuat panik setelah WHO (lewat Dirjen Margaret Chan) mengumumkan pandemi influenza H1N1 (Swine Flu). (https://web.archive.org/web/20100612013845/http://assembly.coe.int/Documents/WorkingDocs/Doc10/EDOC12283.pdf)

“Atas dasar penilaian ahli terhadap bukti, kriteria ilmiah untuk status pandemi influenza telah terpenuhi. Karena itu saya memutuskan untuk meningkatkan level kewaspadaan pandemi influenza dari fase 5 ke fase 6. Dunia sekarang pada status pandemi influenza 2009,” begitu ungkap Margaret Chan. (https://www.who.int/mediacentre/influenzaAH1N1_presstranscript_20090611.pdf)

Gaje. Padahal kalo ditanya: penilaian ahli tuh yang kayak apa? Siap juga ahli yang dimaksud?

Tentang ini saya pernah bahas pada tulisan beberapa bulan yang lalu. (baca disini)

Ini mengakibatkan milyaran dollar dihabiskan untuk vaksin H1N1 yang sangat mahal selain perawatan antivirus, meskipun pandemi tersebut gejalanya tidak bisa dibedakan dengan flu musiman (seasonal influenza). (https://wwwnc.cdc.gov/eid/article/16/9/10-0076_article)

Dan tebak siapa yang diuntungkan dengan ‘pandemi jadi-jadian’ tadi? Ya tentu saja jaringan Big Pharma, dalam hal ini GlaxoSmithKline, Roche dan Novartis. Dan yang anda perlu tahu, bahwa ketiga perusahaan Big Pharma tersebut merupakan donatur kakap bagi WHO pada tahun keuangan 2008/2009. (https://apps.who.int/gb/ebwha/pdf_files/WHA63/A63_ID4-en.pdf)

Berapa keuntungan yang didapat dari hasil penjualan vaksin dan obat pandemi H1N1 tersebut? Roche saja mencatat angka penjualan lebih dari £ 3 milyar. Angka yang fantastik, bukan? (https://www.roche.com/dam/jcr:05485131-9e50-4860-a9d7-63ac6e785d35/en/gb09e.pdf)

WHO yang memegang peranan kunci dalam memutuskan status pandemi, belakangan harus berhadapan dengan Majelis Parlemen Dewan Eropa (PACE) yang meluncurkan penyelidikan terhadap alasan penetapan status pandemi tersebut.

“Nggak hujan nggak angin, kok main pandemi aja?”

Selama sesi dengar pendapat, ahli epidemiologi kondang – Dr. Wolfgang Wodarg – menyatakan: “Sekitar USD 18 milyar dana dihabiskan untuk pandemi di seluruh dunia. Jutaan orang divaksin tanpa alasan yang jelas. Bahkan tidak jelas apakah vaksin tersebut memiliki efek positif, mengingat belum diuji cobakan secara klinis.” (http://www.assembly.coe.int/nw/xml/News/FeaturesManager-View-EN.asp?ID=900)

Dihari yang sama, Prof. Ulrich Keil, selaku Direktir Pusat Kolaborasi WHO untuk Epidemiologi di Universitas Munster mengatakan: “Sejumlah ilmuwan mempertanyakan keputusan WHO untuk menetapkan status pandemi internasional, mengingat virus H1N1 bukanlah virus baru karena telah diketahui selama beberapa dekade.”

Prof. Keil menambahkan, “Di Jerman saja sekitar 10.000 kematian disebabkan oleh flu musiman yang menyerang manula dan orang yang lemah tubuh. Sedangkan angka kematian akibat H1N1 hanya 187 orang.” (http://assembly.coe.int/CommitteeDocs/2010/20100126_ContributionKeil.pdf)

Disinilah kemudian istilah pandemi palsu muncul. Masalah sebenarnya nggak menakutkan, tapi justru dibuat sedemikian hingga seolah-olah menakutkan. Akibatnya orang paranoid. Orang yang parno nggak bisa disuruh mikir waras, sudah hilang akal sehatnya.

Dan ini bisa terjadi karena adanya peran media mainstream dalam menyukseskan agenda terselubung tersebut (vaksinasi global). Pada bagian kedua nanti saya akan ulas lebih detil, tentang peran MSM.

Lanjut yaa, neng caem yang hobi ngupil…

Sekarang apakah C19 bisa disebut fake pandemic?

Ada dua yang bisa dicermati: pertama menyangkut definisi dan kedua perihal jumlah kasus.

Sekarang kita mulai dari yang pertama, apa itu pandemi?

Menurut definisinya, pandemi adalah epidemi penyakit menular yang telah menyebar ke seluruh wilayah besar (misalnya benua atau dunia), yang mempengaruhi banyak orang. (https://en.wikipedia.org/wiki/Pandemic)

Jadi batasannya ada 3: penyakit menular, menyebar ke belahan dunia, dan mempengaruhi banyak orang. Sekarang kita lihat pakai data. Saat Dirjen WHO – Tedros – menetapkan status pandemi bagi C19, apakah definisi itu terjawab?

Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO mengumumkan pandemi global SARS-CoV-2. (https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-general-s-opening-remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19—11-march-2020)

Padahal pada 28 Februari 2020, jumlah orang yang meninggal akibat C19 baru 2781 di China, sedangkan di dunia baru 67 orang. Sedangkan pada tanggal dimana status pandemi global dirilis (11/3), jumlah kematian didunia pada hari itu tercatat hanya 105 kematian. (https://www.worldometers.info/coronavirus/?utm_campaign=homeAdTOA?)

Yang perlu diingat, jumlah penduduk dunia saat itu mencapai 7,4 milyar orang. Pertanyaannya: apakah angka ratusan atau let’s say ribuan cukup dikategorikan untuk status pandemi?

Bahkan tanpa virus Corona-pun, jumlah kematian orang di dunia sudah mencapai ribuan per hari. (https://en.wikipedia.org/wiki/Mortality_rate)

Lalu Tedros pada 18 Maret melakukan konpers virtual, kemudian ngomomg: “WHO meminta semua negara untuk melakukan pendekatan komprehensif guna meratakan kurva, sambil menunggu ditemukannya vaksin.” (https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/transcripts/who-audio-emergencies-coronavirus-press-conference-full-18mar2020b4d4018fc1904605831b6a08d31e0cbc.pdf?sfvrsn=1f444736_2)

Wah sudah jelas kemana tujuannya, ya?

Aliasnya, tanpa pendapat para ahli, tanpa pertimbangan yang jelas, tiba-tiba status pandemi jatuh dari langit. Karena apa? Silakan jawab sendiri.

Lalu hal yang kedua perihal jumlah kasus. Tentang ini saya banyak ulas, terutama di Amrik.

Bahkan jumlah orang yang meninggal akibat flu musiman di AS sana, angkanya jauh lebih tinggi dari C19. (baca disini), (baca disini)

Kalo kurang yakin, saya sajikan data kesehatan negara Swiss, yang sangat apik administrasinya di dunia. Kantor Statistik Federal Swiss (BAS) menyimpan semua data kematian di negara tersebut per mingguan.

Nah dalam 18 minggu pertama di 2020, jumlah kematian mencapai 25.400 orang. Sedangkan pada 2015 di 18 minggu pertama, angkanya mencapai 26.596 orang alias lebih sedikit dibanding tahun 2020. (https://www.legitim.ch/post/paukenschlag-das-bundesamt-für-statistik-widerlegt-den-bundesrat-keine-pandemie)

Sebagai pembanding, berapa orang yang meninggal karena C19 di Swiss hingga hari ini (28/5)? Ada 1917 angka kematian. Aliasnya angkanya jauh lebih sedikit ketimbang orang yang mati karena penyakit lainnya. (https://www.worldometers.info/coronavirus/country/switzerland/)

Saya yakin, kalo mau jujur, semua negara datanya bakalan mirip-mirip.

Dengan melihat banyaknya orang yang meninggal tiap tahunnya, tanpa Corona sekalipun, toh penetapan status pandemi oleh WHO tidak dilakukan, bukan? Lalu kenapa sekarang status pandemi disematkan dengan jumlah korban meninggal yang jauh lebih kecil?

Salahkah bila orang mengatakan bila C19 hanya fake pandemic?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!