COVID-19: Skenario di US (Bagian 1)


528

COVID-19: Skenario di US (Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

Sejak saya mengungkap kasus COVID-19 secara intensif, banjir pertanyaan yang saya dapati lewat kanal jejaring media sosial. Pertanyaannya bervariasi. Namun yang paling banyak ditanyakan, kapan wabah ini segera berlalu.

“Mungkin nggak sih, nih wabah bulan depan sudah rampung?”

Jujur saya ingin balas semua pertanyaan. Namun saya selaku manusia pada umumnya, tentu punya keterbatasan waktu yang saya miliki.

Akhirnya terpaksa saya menjawab secara random apa yang bisa saya jawab. Bagi saya yang terpenting adalah menyebarkan informasi sebanyak-banyaknya kepada masyarakat, agar kita bisa tercerahkan bersama terhadap masalah yang sebenarnya terjadi saat ini. Itu harapannya.

Dari sekian banyak pertanyaan yang saya sering dapati adalah:

“Katanya AS adalah biang kerok penyebaran COVID-19. Tapi kok mereka akhirnya malah kena juga? Bahkan Trump sudah menerapkan status darurat dan memberlakukan lockdown di beberapa negara bagian segala?”

Saya coba jawab pertanyaan tersebut.

Namun karena banyaknya informasi yang akan saya bagikan, terpaksa tulisan ini saya akan break dalam dua bagian.

Pada bagian pertama saya akan bahas skenario panik yang sengaja diciptakan disana lewat media. Dan pada bagian kedua nanti, saya akan bahas tentang bagaimana skenario panik ini akan bermuara.

Langsung saya mulai ya…

Menarik apa yang diungkapkan oleh Dr. Kathleen Neuzil selaku pakar vaksin dari Fakultas Kedokteran Universitas Maryland pada CNBC (18/3): “Media AS terus menerus menyebarkan rasa takut, panik dan putus asa, bahwa virus Corona dapat membunuh jutaan jiwa di seantero AS.”

Artinya, memang ada peran media dalam memberikan efek lebay terhadap dampak kesehatan dan juga kematian yang akan dialami oleh seluruh warga AS akibat COVID-19, dengan cara menebarkan ketakutan dan kepanikan secara masif.

Pendapat Dr. Neuzil jelas nggak berlebihan. Coba kita lihat datanya.

Berdasarkan data COVID-19 terbaru yang dirilis oleh CDC per tanggal 23 Maret 2020 adalah sebanyak 33404 kasus dikonfirmasi, dengan total kematian 400 orang. Artinya, fatality rate-nya hanya sekitar 1,2%.

Dengan tingkat kematian yang masih relatif kecil, apa nggak berlebihan jika Trump kemudian memberlakukan status darurat bagi AS? Apa dasar Trump menerapkan kebijakan tersebut?

Berdasarkan informasi, ternyata Trump memberlakukan status tersebut setelah mendapatkan masukan dari think tank-nya yang bercokol di Washington yang memprediksi bahwa lebih dari satu juta orang Amerika akan mati jika Trump tidak segera ambil langkah antisipasi. Begitu kurleb laporan yang dirilis CNBC (16/1)

Tidak cukup sampai disini, CDC bahkan merilis laporannya bahwa akan ada sekitar 160-210 juta orang AS yang dapat tertular COVID-19 hanya dalam setahun, dengan angka kematian mencapai 200.000 hingga 1,7 juta manusia. (The Hill, 13/3)

Dengan kata lain, Trump nggak kerja sendirian, karena menerima masukan dari orang-orang terdekatnya sebelum ambil keputusan.

Masalahnya adalah: apakah datanya akurat?

Belum lagi fatality rate-nya yang masih debatable karena terbilang kecil.

Merujuk pada laporan WHO terkait COVID-19 di China (The Hill, 19/3), gejala yang paling sering dilaporkan adalah demam, batuk kering dan sesak napas. Namun mayoritas pasien (80%) mengalami mild illness alias gejala (penyakit) ringan. Sisanya: 15% mengalami severe illness dan 5 % critical illness.

Ditambahkan juga bahwa tingkat parahnya penyakit, ternyata berkaitan erat dengan umur yang sudah sepuh (lebih dari 60 tahun) alias lansia serta penyakit penyerta (co-morbid diseases) yang sudah ada pada diri pasien.

Data ini klop dengan laporan CDC yang menyatakan bahwa kematian tertinggi di AS akibat COVID-19 adalah mereka yang berusia lebih dari 70 tahun alias wis tuek.

Dengan sedikit nalar, yah wajar saja kalo manula sangat rentan terhadap kematian, bahkan tanpa COVID-19 sekalipun.

Satu hal yang media (terutama MSM) abaikan adalah, bahwa tingkat kesembuhan dari serangan COVID-19 hanya berkisar sekitar 2 mingguan. Nggak aneh, recovery di China demikian cepatnya, karena pasiennya mayoritas bukan manula serta gejala yang dialami cukup ringan.

Kalo demikian kejadiannya, maka hanya butuh sekitar 2 minggu atau paling banter 1 bulan saja tingkat recovery-nya di Amrik sana. Kenapa justru MSM kompak bersuara bahwa Amerika akan mengalami depresi berkepanjangan akibat COVID-19? Ada apa ini?

Belum lagi data yang disajikan CDC juga nggak akurat.

Bayangkan, sejak 21 Januari 2020, CDC memasukkan jumlah pasien yang dikonfirmasi positif (confirmed) dan yang masih diduga (presumptive) kedalam klasifikasi yang sama: terinfeksi. Nggak aneh kalo angka yang terpapar jadi demikian besar karena percampuran tadi.

Dan yang terakhir, secara resmi WHO dan CDC menyatakan bahwa coronavirus berasal dari China. Artinya semua kasus di AS, harusnya berasal dari China dong?

Sebagai gambaran, pada negara-negara lainnya, para pasien COVID-19 diberi nomor seri agar memudahkan dalam melacak asal sumber virus, tak terkecuali di Indonesia.

Lalu kenapa perlakuan yang dilberlakukan AS justru berbeda? Kenapa juga CDC selaku otoritas yang berwenang tidak pernah memberikan pernyataan ke publik, tentang berapa warga AS yang terpapar COVID-19 sehabis bepergian dari China?

Selidik punya selidik, ternyata menurut laporan The Hill (11/3) ada tekanan dari Gedung Putih terhadap semua instansi pemerintah (khususnya bidang kesehatan) untuk tidak menyebarkan dan menutup rapat semua informasi yang berkaitan dengan jumlah orang terinfeksi COVID-19 dari China.

Bukankah aneh, mengingat Trump mati-matian bilang kalo COVID-19 adalah virus China. Kenapa datanya justru nggak dibuka?

Ini perlu dibuka, karena dengan demikian AS akan bisa menelusuri jalur penyebaran COVID-19 di negaranya selain melakukan proses isolasi atau karantina bagi yang sudah positif terinfeksi.

Kedua akan diketahui juga strain COVID-19 yang menyerang AS apa memang benar berasal dari China. Ini perlu dilakukan mengingat banyak sekali strain dari COVID-19.

Timbul spekulasi: jangan-jangan alasan AS nggak mau membuka datanya adalah karena asal penyebaran COVID-19 di AS ternyata berasal dari sumber yang berbeda strain dari yang di China.

Setelah membuka data tentang COVID-19 di AS, kemana semua ini akan berujung?

Saya akan ulas pada bagian kedua nanti.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!