Kitalah Penyebabnya
Oleh: Ndaru Anugerah
Imam al Ghazali pernah mengatakan bahwa pada esensinya ada 4 jenis manusia.
Jenis manusia pertama: dia tahu dan dia tahu kalau dirinya tahu. Orang jenis ini adalah orang yang berusaha semaksimal mungkin agar ilmu yang dimilikinya bukan saja berguna bagi dirinya, namun juga orang bagi orang lain.
Jenis manusia kedua: dia tahu tapi dirinya tidak tahu kalau dirinya tahu. Orang jenis ini punya potensi, tapi nggak sadar akan potensi yang dimilikinya.
Jenis manusia ketiga: dia tidak tahu, tapi dia tahu kalau dia tidak tahu. Orang jenis ini sadar akan kekurangannya, mau introspeksi diri. Karenanya mau terima masukkan orang yang lebih tahu.
Dan jenis manusia keempat adalah: dia tidak tahu, tapi dirinya tidak tahu kalau dirinya tidak tahu. Menurut imam Ghozali, ini adalah golongan seburuk-buruknya manusia karena bebal dan susah untuk disadarkan. Merasa paling berilmu padahal sesungguhnya dia tidak tahu apa-apa.
Di Malaysia, pada tanggal 28 februari hingga 1 Maret yang lalu, diselenggarakan tabligh akbar. Acara ini sifatnya rutin tahunan. Jadi nggak ada yang aneh, karena ijinnya-pun konon sudah dikantongi dari pemerintah Malaysia.
“Kamu berbicara tentang pentingnya masjid di masyarakat dan bagaimana pria harus membuat masjid hidup,” demikian ungkap Akbar selaku jamaah yang mengikuti gelaran tersebut.
Yang tidak lazim adalah, event tersebut dihelat saat wabah virus Corona justru merebak di Asia Tenggara. Tak terkecuali di Malaysia.
Setelah acara yang dihadiri oleh sekitar 16000 peserta tersebut, Malaysia mengalami peningkatan secara drastis orang yang terinfeksi COVID-19. Hampir 6000 peserta dinyatakan positif COVID-19 dengan 4000 orang lainnya tak berhasil dilacak.
Merasa kecolongan, pemerintah Malaysia mulai memperketat aturan sejak kebijakan lockdown diberlakukan di negeri Jiran tersebut. Sasus beredar, pihak berwenang akan menggunakan kekuatan militer untuk sekedar menertibkan kelakuan warga Malaysia yang terkesan abai.
Di Italia, lain lagi ceritanya.
Walau pemerintah telah menetapkan status lockdown pada Italia bagian Utara, tapi masyarakat awalnya abai terhadap larangan pemerintah untuk menjaga social distancing.
Ketimbang duduk manis dirumah, eh orang masih subuk keliaran di jalan untuk sekedar ngobrol-ngobrol dengan teman atau para tetangga.
Akibatnya tidak digubrisnya anjuran pemerintah, lonjakan orang yang terinfeksi COVID-19 sempat terjadi. Sempat dalam sehari, terjadi 800 kematian sekaligus, dipicu oleh ketidaktaatan warganya.
Berdasarkan data Worldometers (22/3), Italia kini memiliki lebih dari 53 ribu kasus COVID-19 dengan tingkat kematian (fatality rate) sekitar 9% yang artinya sekitar 4825 orang tak berhasil diselamatkan.
Membaca statistika yang demikian mengerikan, pemerintah Italia melalui Institut Kesehatannya (ISS) meminta para penduduk terutama yang lanjut usia tetap berada di rumah sepanjang hari.
“Penduduk manula lebih rentan diterjang kematian akibat COVID-19,” demikian ungkap Silvio Brusaferro selaku ketua ISS.
Merujuk pada data, rata-rata penduduk Italia yang meregang nyawa akibat COVID-19 berusia 78,5 tahun. Hal ini diperburuk oleh manula yang punya kebiasaan kurang baik seperti merokok.
“Jika anda nggak mau ikutin aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, maka anda hanya akan mempersulit diri dan juga orang lain,” ungkap Giuseppe selaku ahli medis kondang di Italia.
Tidak cukup sampai disini, pemerintah Italia juga menerapkan aturan ketat, utamanya terhadap orang yang masih bebas berkeliaran di luar rumah tanpa alasan yang jelas. Pihak kepolisian didaulat untuk mengecek dokumen dan juga menerapkan sanksi denda pada warga yang masih ngeyel.
Bagaimana kalo mereka hendak berbelanja? Mereka diwajibkan untuk berbaris didepan toko dengan aturan social distancing, serta mengatur jumlah orang yang diperbolehkan untuk masuk agar tidak terjadi penumpukkan orang.
Untuk yang biasa berolahraga seperti jalan atau lari pagi, maka jarak yang biasa ditempuh terpaksa dipersingkat. Misalnya biasa lari 10 putaran, maka sekarang hanya 4 putaran harus balik kandang.
Bagi yang hobi jalan-jalan juga sama. Aturan ketat mengharuskan mereka untuk tetap dirumah kecuali hal yang sangat mendesak. Maklum, orang Italia hobi selfie-selfie kek orang Indonesia, terus di upload di jejaring sosial media.
Di Rusia, konon katanya lebih gila lagi, karena sasus beredar Putin menerapkan sanksi berupa penahanan kepada siapa saja yang berani mengabaikan aturan tegas yang dibuat pemerintah, tanpa ampun.
Bagaimana dengan negeri berflower?
Saat lockdown dan social distancing diterapkan secara ketat di luar sana, eh justru disini penduduknya malah masih nongki-nongki gaje plus hobi ngumpul-ngumpul bareng teman. Seolah ancaman wabah COVID-19 hanya sekedar dongeng pengantar tidur belaka.
Padahal pemerintahan Jokowi walaupun belum menerapkan lockdown, toh sudah memberlakukan work from home segala, agar mencegah interaksi antar manusia. “Kalo nggak perlu-perlu amat, jangan keluar rumah-lah.”
Yang gilanya lagi, justru kepala daerah yang hobi teriak-teriak soal social distancing, eh malah terkesan sengaja menciptakan kerumunan dengan membatasi jumlah transportasi umum yang biasa dipakai warga.
Selain itu, pakai menggelar penjualan sembako dengan harga murmer kepada warga. Lha gimana nggak diserbu warga kalo begitu ceritanya?
“Jangankan dengan iming-iming harga sembako murah, gegera beda gopek aja emak-emak siap antri berjam-jam.”
Kalo korban COVID-19 terus bertambah akibat ulah yang sengaja kita ciptakan, apakah lantas kita masih layak menyalahkan orang lain?
Semoga kita tidak menjadi orang jenis keempat seperti yang telah diungkapkan imam al Ghazali.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments