Rencana Pangan Berkelanjutan (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah
Apa yang saya suka dari genk Davos?
Mereka bukan pintar, tapi cerdas. Terutama dalam menggarap isu yang mereka rancang. Pemilihan diksi menjadi salah satu concern mereka.
Pernah dengar kata ‘keberlanjutan’?
Itu salah satu jargon yang mereka pakai untuk menggambarkan tatanan dunia baru yang mau mereka bentuk, selepas ambruknya kapitalisme yang juga mereka bentuk sebelumnya. (baca disini, disini dan disini)
Setelah mendengar kata ‘keberlanjutan’, adakah terbesit di kepala anda bahwa kata itu berkonotasi negatif? Kan nggak. Salahnya dimana dengan kata keberlanjutan?
Sungguh cerdas!
Pada tataran teknis, semua program yang berkaitan dengan agenda sang Ndoro, dikasih tag ‘berkelanjutan’. Pendidikan berkelanjutan, ekonomi berkelanjutan, pertanian berkelanjutan hingga pangan berkelanjutan.
Silakan anda lihat dengan cermat, 17 tujuan yang akan mereka sasar di tahun 2030 nanti. (https://sdgs.un.org/goals)
Demi mewujudkan rencana tersebut, maka pada Mei 2020 silam, Komisi Pertanian Uni Eropa membuat kesepakatan hijau yang berkelanjutan. Tema-nya nggak nanggung-nanggung: Farm to Fork, yang berarti dari pertanian hingga makanan jadi harus selaras dengan prinsip keseimbangan.
Apa tujuannya?
Membuat sistem pangan baru yang berkeadilan, sehat serta ramah lingkungan. (https://ec.europa.eu/food/horizontal-topics/farm-fork-strategy_en)
Sekali lagi, ini bukan rencana lepas karena semua saling berkaitan. Gambar besarnya adalah, sang Ndoro akan menciptakan tatanan dunia baru yang bebas emisi karbon pada 2050 mendatang.
Selaras dengan rencana induk tersebut, maka Sustainable Development Goals 2030 milik PBB, merupakan jembatannya.
Lantas apa yang jadi alasan utama diberlakukannya strategi Farm to Fork tersebut?
Tentu saja yang jadi kambing hitamnya adalah pemanasan global yang disebabkan emisi gas CO2 hasil dari aktivitas manusia.
Padahal, apa iya CO2 yang merupakan gas penting bagi proses fotosintesis tanaman, merupakan biang kerok pemanasan global? (baca disini, disini dan disini)
Kira-kira apa yang jadi target diberlakukannya kesepakatan hijau tersebut?
Hancurnya sistem pertanian di Eropa yang menjadi sentra produksi hasil pertanian terbesar kedua di dunia. (https://humboldt.global/top-agricultural-exporters/#:~:text=China%20is%20the%20largest%20agricultural%20producer%2C%20rice%20being%20the,agri%2Dfood%20which%20they%20produce.)
Kok bisa menghancurkan sistem pertanian?
Karena jika kesepakatan hijau tersebut diterapkan, bisa diprediksi akan menyebabkan penurunan hasil pertanian dan juga peternakan.
Ujung-ujungnya pola konsumsi yang selama ini dinilai nggak ramai lingkungan karena dihasilkan dari pertanian dan peternakan yang tidak berkelanjutan, akan otomatis dirubah.
Itu skenario yang akan dikembangkan.
Ini bukan hal yang mengada-ada, karena berkali-kali sang Ndoro berbicara tentang redesigning sistem pangan yang ditenggarai menyumbang hampir sepertiga dari emisi Gas Rumah Kaca (GRK) secara global dan mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati serta berdampak pada kesehatan manusia. (https://news.un.org/en/story/2021/03/1086822)
Jadi yang mau disasar sudah jelas. Perlunya penataan ulang.
Dan untuk menata ulang sistem yang usang, berarti sistem lama harus dihancurkan selain perlunya teknologi baru yang akan dikombinasikan dengan kesadaran publik akan permintaan pangan yang berkelanjutan.
Teknologi apa itu?
Tentang ini saya pernah mengulasnya pada tiga tulisan berseri. (baca disini, disini dan disini)
Nah terus, bagaimana membangun kesadaran publik akan pentingnya permintaan pangan yang berkelanjutan?
Nggak ada cara lain yaitu dengan menghancurkan sistem pertanian status quo. Kalo sistemnya hancur, maka produksi sudah pasti paralel. Dan jika hasil produksi mulai langka, maka agenda sang Ndoro bisa masuk. “Kenapa nggak pakai benih tanaman hasil laboratorium milik kami?”
Mulai-lah strategi marketing berjalan dengan memakai media mainstream sebagai corong propagandanya. Dikatakanlah bahwa benih hasil rekayasa genetik tersebut dapat memproduksi melebihi kapasitas benih tradisional, tahan hama dan penyakit, bebas pestisida sehingga dapat menciptakan sistem pangan yang berkelanjutan.
Ini mirip-mirip dengan promosi vaksin Big Pharma saat ini, bukan? Ya jelas aja, lha wong pelakunya DLDL.
Apakah benar benihnya seperti yang dipromosikan?
Tentang ini, sudah banyak kasusnya, bukan?
Sekali lagi, apa yang saya katakan bukan isapan jempol, apalagi halu.
Janusz Wojcjechowski selaku Komisaris UE untuk pertanian sudah mengatakan, “Sudah saatnya para petani di Eropa mengubah metode produksi secara radikal dengan memanfaatkan teknologi guna terciptanya sistem pertanian baru.” (https://portals.iucn.org/library/sites/library/files/documents/2020-017-En.pdf)
Selain itu, dokumen Farm to Fork dengan jelas menyebutkan bahwa Komisi Pertanian UE tengah mengembangkan teknik rekayasa genetik guna menjamin hasil pertanian yang berkelanjutan pada pasokan rantai makanan. (https://ec.europa.eu/info/sites/default/files/communication-annex-farm-fork-green-deal_en.pdf)
Kira-kira apa teknologi yang akan dikembangkan?
Pada bagian kedua saya akan mengulasnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments