Yang Kaya Makin Kaya
Oleh: Ndaru Anugerah
Kebijakan penutupan alias lockdown yang dipicu oleh hadirnya pandemi, mengakibatkan kebangrutan dan pengangguran secara global.
Namun anehnya, sejak Februari 2020, segelintir bilioner dunia justru meraup keuntungan dari krisis ini.
Antara April hingga Juli 2020, total kekayaan mereka bertumbuh dari USD 8 trilyun menjadi lebih dari USD 10 trilyun. (https://www.theguardian.com/business/2020/oct/07/covid-19-crisis-boosts-the-fortunes-of-worlds-billionaires)
Kok bisa begitu? Bagaimana redistribusi kekayaan bisa terjadi?
Menurut penelitian yang dilakukan IPS, ini dapat terjadi karena adanya kebijakan penutupan ekonomi secara global. (https://ips-dc.org/u-s-billionaire-wealth-up-850-billion/)
Ini selaras dengan laporan yang dibuat UBS yang menyatakan bahwa sekitar 2 ribu bilioner dunia-lah yang memegang kekayaan sekitar USD 10,2 trilyun tersebut. Dan itu mereka dapat saat kebijakan lockdown diterapkan di banyak negara. (https://www.ubs.com/content/dam/static/noindex/wealth-management/ubs-billionaires-report-2020-spread.pdf)
Lalu, dari sektor mana para bilioner tersebut memperoleh kekayaannya selama pandemi?
Ada dua bidang utama, pertama dari jalur farmasi secara khusus Big Pharma dan kedua melalui jaringan teknologi digital.
Dan merujuk pada laporan Forbes, para bilioner tersebut tumbuh secara bersamaan. Apakah ini terjadi secara kebetulan? (https://www.forbes.com/sites/oliverwilliams1/2020/10/06/billionaire-wealth-hits-10-trillion-for-first-time-ever-thanks-to-government-stimulous/?sh=a5b00f349ba8)
Terlalu naif kalo kita bilang bahwa itu terjadi secara kebetulan.
Mengutip pernyataan Warren Buffett, “Ini adalah senjata keuangan pemusnah massal yang didukung penuh dengan algoritma yang canggih.” (https://inlightofrecentevents.wordpress.com/derivatives-mother-of-all-bubbles-exploding/)
Jadi ini adalah skenario yang dibuat sebagai senjata pemusnah massal pada sektor ekonomi. Lalu bagaimana proses redistribusi terjadi? Melalui 3 tahap.
Pertama pada Februari 2020 silam, dimana krisis keuangan mulai terjadi. Ini ditandai dengan hutang yang diberikan oleh lembaga Bretton Woods kepada banyak negara yang terkena krisis. Sebaliknya, pada sektor swasta yang nggak menerima hutang, perusahaannya langsung kolaps.
Bahkan saking besarnya hutang, AS sendiri dipaksa berhutang hingga USD 3,1 trilyun pada 2020. Angka ini 3 kali lebih banyak dari hutang akibat krisis global yang terjadi pada 2009.
“Ini angka terbesar sepanjang sejarah AS bahkan dibandingkan untuk biaya PD II,” ungkap seorang pejabat di AS. (https://www.aljazeera.com/economy/2020/10/16/us-budget-deficit-hits-3-1-trillion-doubling-previous-record)
Dan dana hutangan tersebut selain untuk memberikan subsidi berupa jaring pengaman sosial yang bersifat temporal, tentu saja untuk ‘menolong’ keuangan perusahaan swasta yang terkait dengan bisnis milik para bilioner tadi. Ini pernah saya bahas. (baca disini)
Dengan skema ini, maka hanya perusahaan swasta yang tidak terkoneksi dengan para bilioner tersebut yang nasibnya langsung karam karena nggak dapat hutangan untuk menghidupi perusahaannya.
Sementara yang lain gulung tikar, perusahaan para bilioner malah dapat subsidi dari negara. Kurang enak apalagi, Choky?
Bukan itu saja, para bilioner tersebut bisa membeli perusahaan yang bangkrut dengan harga obral. Dan ini sudah pasti untung besar. (https://www.marketwatch.com/story/waiting-for-a-stock-market-bottom-is-folly-says-billionaire-howard-marks-if-somethings-cheapyou-should-buy-2020-04-07)
Fase kedua, dimana lockdown diterapkan, maka Big Pharma meraup untung setinggi langit. Tentu saja dengan melakukan test Kopit sana-sini memakai alat yang mereka produksi.
Bayangkan kalo misalnya 1 kali test PCR dikenakan biaya 1 juta rupiah, nah kalo ada puluhan juta manusia yang di test, berapa keuntungannya?
Itu baru alat test, belum lagi obat dan treatment yang harus diberikan pada orang yang dinyatakan positif Kopit.
Dan dampak sosialnya, orang mulai panik saat test dilakukan secara massal. Begitu dinyatakan positif, angka infeksi yang melonjak langsung disebar lewat media mainstream selama 24 jam.
Melihat kasus positif yang terus bertambah seiring dilakukannya test massal yang nggak punya gold standard tersebut, yang ada orang makin paranoid dalam menyikapi pandemi abal-abal ini. “Wah, gila men, angka yang positif makin banyak,” begitu kurleb-nya. (baca disini dan disini)
Dengan meningkatnya kasus positif, ini otomatis akan memicu gelombang kedua alias second wave yang tujuannya makin buat bangkrut perekonomian di banyak negara. Biar dramatis, maka narasi tentang mutasi Kopit mulai disebar melalui media mainstream. (baca disini)
Yang terjadi kemudian, pembelajaran online, mulai digelar secara serempak di banyak negara. Siapa yang meraup keuntungan kalo bukan perusahaan yang terkoneksi dengan jaringan internet, semisal Big Tech dan EdTech.
Dan keuntungan yang mereka dapatkan selama pandemi, mereka gunakan untuk membeli lebih banyak perusahaan raksasa yang mulai bangkrut dengan harga super murah.
Proses ini akan menuntun ke fase ketiga, dimana proses kebangkrutan massal diikuti oleh redistribusi atau lebih tepatnya pemusatan kekayaan kepada segelintir bilioner dapat terjadi secara masif. Bukan itu saja, pada tahap ini banyak industri menengah dan kecil yang akan terdampak.
Dan ini akan menambah panjang daftar kebangkrutan di seluruh dunia, yang menyasar sektor pariwisata hingga UKM.
Itu skenario yang sedang dan akan terjadi. Jadi jangan heran bin kaget jika anda melihat realitas yang ada. Kok banyak yang bangkrut? Kok pengangguran makin banyak? Ya karena itu memang skenario-nya. (baca disini)
Lantas, sampai kapan ini terjadi dan akan berakhir?
Itu pertanyaan retorik. Bukan begitu Rudolfo?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments