Meraup Untung dibalik Stimulus Bill


528

Meraup Untung dibalik Stimulus Bill

Oleh: Ndaru Anugerah

Event 201 yang digelar pada John Hopkins Center for Health Security di Baltimore, Maryland AS merupakan ajang prestius yang disokong penbuh oleh Bill and Melinda Gates Foundation, Big Pharma (GAVI) dan nggak ketinggalan World Economic Forum (WEF). (baca disini)

Apa isi ajang tersebut?

Simulasi latihan pandemi tingkat tinggi yang diberi kode nCov-2019. Simulasi tersebut menghasilkan 65 juta total kematian di seluruh dunia akibat virus Corona dan membuat pasar keuangan internasional ambles sekitar 15%.

Berbekal informasi terakhir tentang ambles-nya pasar keuangan internasional tersebut merupakan kode keras tersendiri bagi kalangan pebisnis di AS untuk segera hengkang dari pasar saham. Tak terkecuali para CEO di perusahaan-perusahaan raksasa yang ada di negeri Paman Sam tersebut.

Singkat kata, terjadilah eksodus besar-besaran para CEO tersebut menanggapi sinyal yang dikirim oleh Event 201 tersebut. Teknisnya mereka mengundurkan diri (resign) secara berjamaah dari perusahaan.

NBC News melaporkan pada November 2019 lalu, bahwa hingga Oktober lebih dari 1332 orang CEO telah mengajukan pengunduran diri. Padahal pendapatan (gaji) yang didapat dari perusahaan lumayan spektakuler angkanya. Selain itu, pasar saham belum menunjukkan tanda-tanda akan meredup.

Diantara mereka terdapat sederet nama beken, misalnya: Steve Easterbrook dari McDonald’s, Devin Wenig dari eBay, Art Peck dari Gap, Jesse Angelo dari New York Post, Mark Parker dari Nike, Kevin Tsujihara dari Warner Bros, dan yang lainnya.

Bahkan majalah Fortune mencatat, angkanya terus bertambah menjadi 1480 orang CEO pada akhir tahun 2019.

Gelombang ini makin memburuk seiring merebaknya kasus Wuhan.

Di tahun 2020 yang baru beberapa bulan, gelombang kedua pengunduran diri para CEO top di AS kembali terjadi. Ada 172 orang yang tercatat lberdasarkan laporan Challenger, Gray & Christmas.

Banyak nama kondang berada disana, seperti: Bob Iger dari Disney, Ginni Rometty dari IBM, Matt Levatich dari Harley Davidson, Jeff Weiner dari Linkedln, hingga Ajay Banga selaku CEO Mastercard.

Masalah tambah diperburuk, manakala mereka menjual saham-saham yang mereka miliki di perusahaan yang nilainya mencapai 9,2 milyar USD menurut laporan Wall Street Journal (24/3), tepat sebelum pasar saham benar-benar jeblok.

Dengan demikian mereka berhasil menyelamatkan aset pribadinya dari potensi kerugian senilai 1,9 milyar USD akibat indeks saham yang kemudian anjlok secara drastis.

Maklum, dalam pasar saham berlaku aturan bahwa anda akan dapat keuntungan bila anda berhasil keluar tepat waktu. Dan para elit perusahaan tersebut sepertinya memiliki presisi waktu yang sempurna.

Ternyata bukan hanya para CEO yang meneguk keuntungan. Para anggota Kongres juga melakukan langkah yang sama, sebelum pasar saham melorot kek celana kolor yang sudah putus tali kolornya.

Diantaranya adalah senator Dianne Feinstein dari California dan juga tiga rekan senatnya, yang berhasil mendapat untung dengan menjual saham senilai jutaan dollar tepat sebelum virus Corona menghantam bursa saham.

Begitu COVID-19 datang, pasar saham-pun langsung kena dampaknya dan serta merta anjlok. Bayang-bayang resesi-pun sudah didepan mata.

Ditengah-tengah pandemi, Trump mengajukan program yang bernama Stimulus Bill (SB) kepada Kongres. Tujuannya adalah memberikan dana talangan (bailout) bagi pemulihan ekonomi akibat terpaan virus Corona.

Pemungutan suara di Kongres-pun berlangsung, dengan hasil 96:0. Artinya SB tersebut disetujui dengan suara bulat, tanpa satupun yang menentangnya.

Dana yang digelontorkannya-pun lumayan fantastik. Angkanya USD 2 trilyun alias Rp. 32.525 trilyun. Ini didapat dari hasil hutang yang diberikan The Fed selaku bank sentral swasta AS. Dengan kata lain, AS berhutang pada The Fed, dimana rakyatlah yang kelak membayarnya lewat pajak.

Sebagai gambaran, hutang nasional AS pada The Fed mencapai 10 trilyun USD pada tahun 2008, lalu naik menjadi 19,6 trilyun USD pada tahun 2016, dan sekarang (2020) menjadi 23,6 trilyun USD.

Lalu dana talangan segede gaban tersebut, buat apa saja?

Macam-macam. Ada untuk perusahaan kecil, perusahaan besar, bantuan langsung tunai hingga kesehatan.

Tapi ada beberapa yang perlu dikritisi.

Pertama adalah dana untuk individual yang menyasar para pengangguran. Sebagai informasi, ada sekitar 3,3 juta pengangguran di AS saat ini. Teknisnya akan ada tambahan 600 USD per minggu buat mereka. Masalahnya, bantuan ini hanya cukup untuk 4 bulan saja.

Kalo April diberikan, maka pada Juli sudah nggak ada lagi bantuannya. Pertanyaannya: apa resesi di AS akan berhenti hanya dalam 4 bulan ke depan?

Kedua adalah dana yang diberikan bagi perusahaan besar. Angkanya nggak tanggung-tanggung, mencapai 500 milyar USD. Dari angka tersebut, 58 milyar USD diberikan sebagai dana hibah alias gratis kepada maskapai penerbangan, semisal Boeing.

Pertanyaannya: kenapa justru Boeing yang harus ditolong, mengingat kinerja perusahaan tersebut juga jeblok belakangan ini? Kenapa nggak maskapai penerbangan yang baik kinerjanya saja yang ditolong? Apa karena Boeing masuk kelompok jaringan Wallstreet?

Ketiga untuk bailout bagi sektor kesehatan sekitar 153,5 milyar USD. Dengan dana sebesar itu, maka sebagian akan dipakai untuk program vaksinasi global yang akan disediakan oleh negara terkait COVID-19. Atas desakan siapa, kitapun sudah ketahui bersama.

Satu yang pasti, walaupun UU stimulus tersebut sudah diteken, namun saham Negeri Paman Sam tetap nggak terkatrol di pasar dunia. Down Jones Industrial Average tercatat turun 4,1%, S&P juga merosot 3,4%, sedangkan saham Nasdaq anjlok 3,8% (CNN, 28/3).

Lalu siapa yang diuntungkan dengan stimulus bill tersebut? Ya jelas The Fed (dan kelompok Wallstreet), karena sudah berhasil kasih utangan berikut bunganya, eh dapat juga dana hibah dari sektor perusahaan besar yang dimilikinya dari dana talangan tersebut, yang harusnya diperuntukkan bagi warga AS.

Masalahnya, apakah perekonomian AS akan membaik setelah bailout diberikan?

Saya meragukannya. Karena hutang AS sudah demikian besarnya pada The Fed. Gimana bayarnya, coba? Belum lagi sikap AS yang mengemis pada China untuk menghapus hutang US Treasury-nya.

Akankah dollar lantas ambruk? Kalo memang iya, apa penggantinya kelak?

Sedikit kasih spoiler: pernah dengar XDR?

 

Salam Demokrasi!!

(*penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


2 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Bro, sebenernya wabah covid19 sekarang jadi sangat banyak di USA terutama negara bagian New York, apakah strategi memuluskan Trump lagi utk menang di US election 2020 ataukah untuk melengserkan Trump? Apakah ada analisa di balik ini? thanks

error: Content is protected !!