Alat Ukurnya Nggak Akurat


518

Alat Ukurnya Nggak Akurat

Oleh: Ndaru Anugerah

Apa salah satu instrumen permainan yang digunakan dalam scamdemic Kopit?

Nggak lain adalah alat ukur yang digunakan untuk mengetahui seseorang terinfeksi Kopit atau tidak. Sudah berkali-kali saya katakan bahwa alat ukur tersebut tidak dapat diandalkan keakuratannya. (baca disini, disini dan disini)

Ini yang bisa menjelaskan bagaimana tingkat infeksi Kopit menjadi berlipat secara eksponensial, karena hasil ujinya nggak memenuhi standar emas (gold standard), sehingga banyak menghasilkan positif palsu (false positive). (baca disini)

Dan baru-baru ini, lembaga kesehatan dunia (WHO) mengakui hal tersebut, bahwa tes PCR memang nggak akurat.

Saat pelantikan Biden (20/1), WHO merilis aturan baru tentang tes PCR yang digunakan secara luas untuk mendeteksi Kopit. (https://www.who.int/news/item/20-01-2021-who-information-notice-for-ivd-users-2020-05)

Kenapa perlu merilis aturan baru?

Ya karena aturan yang telah diterapkan sebelumnya ‘melanggar’ aturan baku yang telah diterapkan dalam buku besar pemakaian PCR, dimana nilai CT nggak boleh lebih dari 30 siklus (putaran). (https://www.gene-quantification.de/miqe-bustin-et-al-clin-chem-2009.pdf)

Sekedar informasi, WHO patok nilai CT yang ditoleransi hingga 50 putaran (siklus). Jelas aja banyak yang positif dengan putaran sebanyak itu. (https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/real-time-rt-pcr-assays-for-the-detection-of-sars-cov-2-institut-pasteur-paris.pdf)

Dengan kata lain, makin banyak siklus (putaran) yang dilakukan saat pengujian dengan PCR, maka akan semakin banyak juga hasil positif palsu yang dilaporkan.

Belum lagi kita tahu, bahwa tes PCR nggak dirancang untuk alat diagnostik bagi seorang yang terinfeksi, mengingat alat ini nggak bisa membedakan antara virus aktif dan virus yang tidak aktif.

Ini bisa terjadi mengingat yang diamplifikasi hanya fragmen virus yang diambil dari tubuh seseorang, dan bukan virusnya. (https://childrenshealthdefense.org/defender_category/covid/)

Lalu bagaimana aturan WHO yang baru?

WHO menurunkan ambang batas putaran (siklus) yang digunakan dalam tes PCR, dimana CT yang digunakan berbanding terbalik dengan viral load yang ditemukan dalam tubuh pasien. (https://www.who.int/news/item/20-01-2021-who-information-notice-for-ivd-users-2020-05)

Bukan itu saja, WHO juga menegaskan bahwa ketika prevalensi penyakit menurun, maka otomatis kemungkinan hasil positif palsu akan meningkat.

Bahasa sederhananya, kalo kasus prevalensi (infeksi) Kopit menurun, maka hasil positif yang didapat bisa dianulir seiring dengan menurunnya kasus infeksi yang terjadi.

Dengan adanya pembaharuan yang dilakukan WHO tersebut, maka ambang batas putaran (siklus) bakal dikalibrasi ke tingkat yang lebih rendah. Akibatnya, jumlah kasus Kopit dijamin bakal turun secara drastis di seluruh dunia. (https://thevaccinereaction.org/2020/09/coronavirus-cases-plummet-when-pcr-tests-are-adjusted/)

Ini sudah saya prediksi jauh hari sebelumnya, bahwa WHO akan merevisi aturan penggunaan tes PCR. (baca disini)

Kenapa ini dilakukan WHO?

Karena untuk menegaskan kepada publik, bahwa vaksinasi yang dilakukan secara global dapat dikatakan berhasil, mengingat jumlah kasus infeksi menurun secara drastis. “Tuh lihat buktinya tes PCR nya menjadi lebih sedikit daripada sebelum vaksinasi, bukan?” begitu kurleb-nya.

Dan ini akan jadi pembenaran untuk melakukan vaksinasi global secara lebih intens.

Bukankah begitu permainannya, Rudolfo?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


2 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Bang,nnti PermenKes HK.01.07/MENKES/413/2020 utk diagnosis pake RT-PCR berdasarkan rekomendasi dari WHO bakal di revisi lagi dong ???

error: Content is protected !!