Udah Ngawur Diikutin


513

Udah Ngawur Diikutin

Oleh: Ndaru Anugerah

Baru-baru ini Republik Wakanda kembali buat kebijakan ‘spektakuler’ dengan meluncurkan rapid test antigen yang diklaim lebih akurat dengan rapid test antibody. Saking seriusnya, aturan test baru tersebut diberlakukan bagi mereka yang melakukan perjalanan di akhir tahun alias berlibur. (https://www.kompas.com/tren/read/2020/12/19/113200065/bagaimana-akurasi-rapid-test-antigen-dibanding-tes-covid-19-lainnya-?page=all)

Apa klaim tersebut benar?

Saya mau jawab pakai bahasa sederhana, sehingga anda bisa mengunyah informasi yang saya sajikan.

Pertanyaan sederhana, mana lebih akurat: rapid test antigen atau PCR test?

Dari besarnya harga test, kita tahu mana yang lebih akurat. Dan fakta bahwa harga test PCR jauh lebih mahal dari rapid test antigen, nggak bisa disangkal. (https://www.kompas.com/tren/read/2020/12/19/113200065/bagaimana-akurasi-rapid-test-antigen-dibanding-tes-covid-19-lainnya-?page=all)

Artinya, kalo PCR nggak akurat, sudah otomatis rapid test antigen bakal ngawur hasilnya.

Gimana tahunya kalo PCR nggak akurat?

WHO baru-baru ini buat pernyataan tertulis alias memo (14/12) bahwa ambang batas siklus tertinggi yang banyak dipakai dibanyak negara pada test PCR, menghasilkan kasus positif palsu. (https://www.who.int/news/item/14-12-2020-who-information-notice-for-ivd-users)

Tentang ini, saya sudah berbulan-builan yang lalu membahasnya. (baca disini dan disini)

Tapi mana berapa banyak sih yang percaya pada ulasan saya? Paling saya lagi-lagi dicap sebagai penganut teori konspirasi.

Nah kalo WHO sudah keluarin statement tertulis, kemana tudingan teori konspirasi pada badan dunia tersebut? Kenapa nggak ada yang bersuara?

Lantas, kenapa WHO bisa keluarin statement tersebut? Memang bagaimana sih cara kerja test PCR?

Cara kerja PCR didasarkan pada reaksi berantai polymerase. Dengan mengambil nukleotida sebagai bagian kecil dari DNA/RNA pada sampel, nah bagian kecil tersebut kemudian digandakan sehingga bisa menjadi sesuatu yang lebih besar untuk diidentifikasi.

Untuk menggandakannya, dibutuhkan putaran yang dinamakan siklus. Cycle Threshold (CT) atau ambang batas siklus, istilahnya.

Jadi CT menggandakan materi genetik yang diambil dari sampel. Semakin tinggi nilai CT, justru semakin kecil kemungkinan anda akan dapat mendeteksi sesuatu yang signifikan.

Memang berapa nilai CT yang diperbolehkan dalam test PCR?

Prof. Stephen A Bustin selaku ahli Pengobatan Molekuler yang dikenal luas sebagai pakar test PCR, bilang, “Angka ideal yang diperbolehkan adalah 20-30. Kalo di atas 35, sudah pasti hasil test-nya nggak berarti apa-apa dan nggak bisa dijadikan acuan pelaporan.” (https://www.gene-quantification.de/miqe-bustin-et-al-clin-chem-2009.pdf)

Memangnya berapa CT yang diberlakukan di hampir semua negara? Kalo WHO sudah keluarin memo tersebut, apa mungkin CT yang dipergunakan antara 20-30 alias sesuai anjuran buku besar yang dibuat Prof. Bustin? Nggak mungkin bukan?

Bahkan penemu PCR sendiri, Dr. Kary Mullis bilang, “Alat PCR itu nggak bisa dijadikan acuan sebagai alat diagnostik.” (https://youtu.be/WF37L_z0vwM)

Saking ngawurnya alat test tersebut, badan kesehatan Australia-pun mengakui bahwa test tersebut cacat. (https://www.tga.gov.au/covid-19-testing-australia-information-health-professionals)

Pemerintah Portugal juga punya pendapat yang kurleb sama. (http://www.dgsi.pt/jtrl.nsf/33182fc732316039802565fa00497eec/79d6ba338dcbe5e28025861f003e7b30)

Dan Dr. Fauci secara terbuka juga mengakui bahwa ambang batas siklus di atas 35 akan otomatis mendeteksi nukleotida mati dan bukan virus hidup. (https://twitter.com/jimgris/status/1326518250386063361)

Jadi anda paham sekarang, kenapa PCR nggak bisa diandalkan sebagai alat deteksi virus Kopit. Karena alat ujinya nggak akurat.

Lantas, kalo PCR nggak akurat sebagai alat ujinya, gimana lagi dengan rapid test antigen yang harga test-nya cuma seperempat harga test PCR?

“Lalu, kenapa baru sekarang WHO mempublikasi bahwa test PCR nggak akurat, bang?” tanya seorang netizen diujung sana.

Sederhana jawabannya. WHO sudah punya vaksin yang siap diedarkan dalam waktu dekat. Oleh karenanya, segala macam test, nggak lagi dibutuhkan manakala semua orang sudah punya persepsi yang sama bahwa mereka butuh divaksin.

Secara teknis, setelah semua orang divaksin, maka WHO akan keluarin aturan baru tentang test PCR dengan CT yang diperbolehkan 25-30 siklus dan bukan 35+++.

Jadi begitu di test PCR kembali abis divaksin, angka yang positif Kopit, bakalan turun drastis. “Tuh lihat, begitu divaksin, angka positifnya jadi mengecil, kan?” begitu kurleb-nya. Dengan kata lain, vaksin si Kopit bakalan diklaim mujarab dalam menekan kasus infeksi virus.

Dan ini akan jadi dasar pembenaran bagi suntikan kedua vaksin si Kopit.

Ngerti kan skenario-nya, Malih?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!