Tak Ada Hukuman Bagi Rejim Boneka


526

Tak Ada Hukuman Bagi Rejim Boneka

Oleh: Ndaru Anugerah

27 Oktober 1979. Presiden Park Chung Hee selaku presiden Korsel yang berkuasa lebih dari 18 tahun, ditembak mati oleh Kepala Korean Central Intelligence Agency Kim Jae-kyu pada jamuan makan malam di sebuah restauran. (https://www.nytimes.com/1979/10/27/archives/president-park-is-slain-in-korea-by-intelligence-chief-seoul-says.html)

Apa yang menyebabkan Kim Jae-kyu menembak sang presiden Korsel tersebut?

Menurut informasi resminya sih, Cha Ji-chul selaku komandan PPF, menuduh Kim Jae-kyu nggak becus dalam bekerja. Makian Cha Ji-chul tersebut memancing amarah Kim Jae-kyu dan kemudian cabut beceng dan menembak komandan PFF tersebut beserta presiden Park Chung Hee. (https://www.asianstudies.org/publications/eaa/archives/koreas-rough-road-to-democracy/)

Kalo anda cari informasi di media mainstream, itu yang akan anda dapatkan. Titik.

Namun, apa sesungguhnya yang menyebabkan Park Chung Hee ditembak mati?

Ada dua alasan utama. Pertama karena Park ketakutan bahwa AS bakalan meninggalkan Korsel pasca kekalahan di Perang Vietnam. (https://www.globalasia.org/v6no3/feature/park-chung-hee-the-cia-&-the-bomb_peter-hayes)

Ini nggak mengada-ada, karena sejak 26 Januari 1977, Presiden Jimmy Carter memerintahkan penarikan senjata nuklir dari Korsel berikut divisi infanteri ke-2 dari negeri Ginseng tersebut.

Dan kedua, Park Chung Hee yang panik, malah buat program nuklir bagi Korsel, diluar sepengetahuan AS. Dan ini sangat membuat marah kubu Washington dan menganggap Park mbalelo.

Jadi, aksi penembakan di restauran cuma kamuflase saja sifatnya. Karena memang AS ingin menyingkirkan Park Chung Hee.

Siapa penggantinya?

Mirip-mirip Soeharto, dialah Jenderal Chung Doo Hwan selaku pejabat militer binaan AS.

Pasca kematian Park, Choi Kyu-Hah dipilih sebagai penggantinya. Namun ini nggak berlangsung lama, karena pada 12 Desember 1979, Chung Doo Hwan mengkudeta Choi Kyu-Hah.

Peristiwa kudeta 12-12 tersebut sukses menghantar Chung Doo Hwan sebagai presiden Koresl hingga tahun 1988.

Namun, saat mulai berkuasa, kelompok prodem Korsel melakukan mobilisasi aksi demonstrasi dengan tuntutan menurunkan kekuasaan Chung Doo Hwan yang dianggap membawa Korsel ke alam otoritarian. Dan gerakan demonstrasi tersebut memuncak pada 18 Mei 1980 di kota Gwangju.

Alih-alih berlangsung damai, gerakan demonstrasi tersebut malah dibalas dengan represi militer ala Chung Doo-Hwan. Menurut estimasi lebih 200 orang tewas dan 1800 luka-luka. Peristiwa ini dikenal dengan nama pembataian Gwangju. (http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/752055.stm)

Apakah dalam melakukan gerakan represi militer, Chung memutuskannya sendiri?

Nggak juga.

Jurnalis senior Tim Shorrock melaporkan bahwa sebelum ‘pembantaian’ tersebut, Chung konsultasi dulu dengan pejabat Administrasi Carter perihal tindakan yang akan diambil pada para demonstran. Dan dampaknya kita bisa ketahui bersama. (http://timshorrock.com/?p=435)

Gimana pembantaian berlangsung?

Berdasarkan laporan yang dirilis oleh Komite Investigasi Kasus Gwangju yang dibentuk oleh Departemen Pertahanan Korsel menyatakan bahwa pada 21-27 Mei 1980, militer Korsel meluncurkan serangan senjata dengan menggunakan helikopter yang menyasar para demonstran. (https://www.koreatimes.co.kr/www/nation/2020/11/356_261748.html)

Kebayang nggak, gimana kejamnya perlakuan tersebut? Dan siapa yang punya otoritas mengendalikan kekuatan pemegang bedil saat itu untuk beraksi kecuali presiden Chung Doo-Hwan?

Namun di mata AS, apa yang dilakukan Chung Doo Hwan bukan kesalahan yang berarti. Presiden Barack Obama saat berkuasa bilang, “Kita perlu melihat ke depan daripada melihat ke belakang.” Artinya, apa yang diperbuat Chung, jangan dianggap sebagai sebuah kesalahan. (http://www.humblelibertarian.com/2011/08/bush-20-100-ways-barack-obama-is-just.html)

Ajigile. Orang diberondong pakai senjata cuma, terus aksi tersebut bukan dianggap sebagai sebuah kesalahan?

Gwangju massacre nggak bisa dilupakan oleh warga Korsel. Makanya setelah Chung Doo Hwan turun dari tampuk kepemimpinan, rakyat Korsel kembali menuntut sang mantan diktator tersebut ke pengadilan.

Pada tahun Agustus 1996, Chung Doo Hwan sebenarnya pernah dijatuhi hukuman mati. Namun keputusan tersebut direvisi menjadi penjara seumur hidup dan denda sebesar 220 milyar Won.

Tapi toh rakyat Korsel nggak puas dengan putusan pengadilan tersebut.

Akibatnya proses pengadilan marathon kembali digelar. Dan pada akhir November 2020 pengadilan tinggi Korsel menjatuhkan hukuman 8 bulan penjara dan hukuman percobaan 2 tahun, dengan tudingan pencemaran nama baik romo Katolik Cho Chul Hyun yang telah bersaksi tentang pembantaian Gwangju. (https://www.dw.com/en/former-south-korean-president-sentenced-to-prison/a-55779280)

Dan di usianya yang ke 89 tahun, hasil putusan tersebut merupakan kemenangan tersendiri. Wong tuntutannya pembantaian manusia kok putusan pengadilan malah bilang pencemaran nama baik. Apa nggak sakti Chung Doo Hwan? Sama aja dengan kang Harto, bukan?

Kasus Chung serupa dengan banyak mantan diktator binaan AS lainnya di Asia, yang begitu turun dari jabatannya nggak langsung dieksekusi dengan aksi massa. Kenapa? Karena mereka telah menjadi boneka yang ‘setia’ buat tuannya. Jadi biarlah dia mati menua dengan sendirinya.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!