Skenario Gelombang Kedua


517

Skenario Gelombang Kedua

Oleh: Ndaru Anugerah

Beberapa negara telah melakukan bukaan kembali (re-opening) dengan 2 tujuan. Pertama untuk menyelamatkan perekonomian yang sempat stagnan selama 3 bulan lebih. Dan kedua sebagai upaya untuk meratakan kurva kasus infeksi akibat si Kopit. (https://www.courierpress.com/story/news/local/2020/05/19/indiana-us-coronavirus-curve-update-see-spread-cases-live-during-reopening-reopen-flatten/5204539002/)

Itu wajar untuk dilakukan, karena memang si Kopit ternyata nggak menakutkan apalagi mematikan seperti yang selama ini didengung-dengungkan oleh media mainstream selaku kepanjangan tangan dari elite global.

Dan upaya bukaan kembali dapat membawa DAMPAK BURUK bagi rencana awal untuk vaksinasi global plus yang akan dibesut BG selaku aktor dibalik layar. “Orang si Kopit nggak mematikan, ngapain juga kita musti divaksin?” begitu kurleb pernyataan orang.

Karenanya, harus ada skenario cadangan yang akan dimainkan. Hal ini sudah saya bahas pada ulasan saya beberapa minggu yang lalu. (baca disini)

Apa itu? Memainkan skenario gelombang kedua (second wave) pada si Kopit, yang bertujuan untuk menggiring orang untuk kembali stay at home.

Ini nggak mengada-ada.

Tengok apa yang diturunkan Reuters dalam liputannya. “Risiko kuncian baru (new lockdown) meningkat seiring dengan gelombang kedua C19,” begitu bunyinya. Ini menanggapi bukaan kembali yang telah dilakukan oleh sejumlah negara bagian di Amrik sana. (https://www.reuters.com/article/us-health-coronavirus-secondwave/risk-of-new-lockdowns-rises-with-fear-of-second-covid-19-wave-idUSKBN23J187)

Lain lagi yang dilaporkan Marketwatch, “Kasus virus Corona yang dikonfirmasi telah meningkat drastis dan mencapai angka 2 digit dalam prosentase di 16 negara bagian, sejak pelonggaran pembatasan dilakukan.” (https://www.marketwatch.com/story/the-coronavirus-only-knows-one-thing-and-that-is-to-infect-another-host-why-america-should-brace-for-a-second-wave-2020-06-10)

Sejumlah outlet media mainstream bahkan menampilkan peningkatan pasien rawat inap C19 di beberapa negara bagian, yang dikaitkan dengan gelombang kedua tersebut.

“Pasien rawat inap untuk virus Corona baru telah meningkat di setidaknya 8 negara bagian. Para ahli dan pejabat mengatakan bahwa ini adalah akibat dari pembukaan kembali pada sektor ekonomi. Ini diperburuk oleh ulah beberapa orang yang mulai mengabaikan pedoman jarak sosial selain tidak menggunakan masker,” begitu ungkap ABC News. (https://abcnews.go.com/Health/states-coronavirus-hospitalizations-rise-experts-point-lack-social/story?id=71181103)

Bahkan, ada juga yang dengan bombastis menurunkan berita dengan data yang LEBAY.

“Jumlah pasien rumah sakit di Arkansas bagi pasien C19 meningkay drastis hingga 121% sejak Hari Peringatan,” begitu ungkap Washington Post. (13/6). (https://www.washingtonpost.com/nation/2020/06/13/coronavirus-live-updates-us/)

Kok banyak amat angkanya, sampai melewati 100%? Apakah si Kopit demikian menakutkan?

Tahunya setelah dicek, angka 121% itu merujuk pada penambahan pasien baru yang berjumlah 111 orang (dari semula hanya puluhan orang terinfeksi).

Kalo angkanya cuma ratusan, ngapain juga pakai prosentase, kok bukan mengungkapkan angka yang sesungguhnya?

“Ya BIAR LEBIH DRAMATIS DAN MENAKUTKAN, Bray…” Itu alasan utamanya.

Ada banyak lagi headline media mainstream dengan tema sejenis. Cari aja di search engine, dan anda dengan mudah menemukannya.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi, yang cenderung ‘menghilangkan fakta’ yang sesungguhnya.

Mengenai lonjakan pasien baru C19, misalnya. Ini bisa terjadi karena pemerintah AS telah menambah kapasitas pengujian si Kopit menjadi 3,4 juta selama sepekan terakhir alias 40% lebih banyak dari angka bulan lalu. Dengan adanya treatment ini, jelas aja jumlah orang yang dinyatakan positif menjadi lebih banyak dari sebelumnya. (https://covidtracking.com/data/us-daily/)

Logikanya, kalo tadinya di wilayah anda nggak ada pengujian, lalu tiba-tiba pihak kelurahan misalnya mengadakan test si Kopit, pakai logika aja SUDAH PASTI LONJAKAN PASIEN BARU AKAN BERTAMBAH SEIRING DILAKUKANNYA PENGUJIAN.

Nyatanya, dengan merujuk data pada worldometers misalnya, jumlah pasien yang baru terinfeksi secara nasional TETAP RATA, meskipun beberapa negara bagian telah melakukan bukaan kembali. (https://www.worldometers.info/coronavirus/country/us/)

Faktor lainnya yang menambah angka kematian akibat si Kopit adalah kaum manula. Bahkan ini hampir mencapai SETENGAH DARI KEMATIAN akibat si Kopit, yang banyak terjadi di panti jompo dan fasilitas yang butuh perawatan, khusus di Amrik sana. (https://www.forbes.com/sites/theapothecary/2020/05/26/nursing-homes-assisted-living-facilities-0-6-of-the-u-s-population-43-of-u-s-covid-19-deaths/)

Sekedar informasi, ada sekitar 2,1 juta orang warga Amrik (setara dengan 0,62% populasi) adalah kaum manula yang banyak meninggal akibat si Kopit. Wajar saja, mengingat usia uzur plus penyakit penyerta (komorbiditas), bahkan tanpa si Kopit sekalipun, sudah tentu paling besar risikonya untuk mati.

Setidaknya, analisis yang dilakukan oleh Foundation for Research on Equal Opportunity yang dilakukan pada 22 Mei 2020 silam pada 43 negara bagian di AS, mengamini alasan tersebut.

“42% dari kematian akibat si Kopit di Amrik, terjadi di panti jompo dan assisted living facilities,” demikian ungkap laporannya. (https://freopp.org/)

Satu hal lagi, bahwa naik pasien rawat inap dan angka kematian akibat si Kopit, bisa terjadi karena adanya MASA PENYESUAIAN. Apa maksudnya? Begitu reopening dilakukan (dengan salah satu tujuannya adalah untuk meratakan kurva), grafik fluktuatif WAJAR TERJADI. (https://medium.com/@tomaspueyo/coronavirus-the-hammer-and-the-dance-be9337092b56)

Dengan kata lain, ini hal yang lumrah dan nggak perlu disikapi dengan LEBAY BAY BAY….

Aliasnya, mayoritas narasi media mainstream tersebut umumnya bersifat: provokatif, tidak informatif dan pilihan katanya tidak kontekstual. Kalo media mau melakukan fungsi kontrolnya yang tidak memihak, judul beritanya harusnya afirmatif dan NGGAK NAKUT-NAKUTIN model gitu.

Misalnya? Reopening meraih sukses dengan tingkat infeksi yang menurun. Tingkat kematian berkurang drastis seiring dilakukannya upaya perataan kurva dan melakukan bukaan kembali.

Cerita model begitu yang harusnya diangkat oleh media mainstream (yang walaupun dapat mengakibatnya berkurangnya KLIK pada situs beritanya).

Tapi itu jelas nggak mungkin dilakukan oleh media mainstream, yang sudah pasti melayani kepentingan elite global sebagai pemiliknya.

Kecuali yang punya media mainstream adalah bang Thoyib.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 


3 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Sebenarnya apa keuntungan elit global membuat ekonomi dunia kolaps? Bukankah lebih untung bila ekonomi dunia tetap berjalan walaupun sembari menyebar virus dan merekayasa agar semua orang beli vaksin? Saya sampai sekarang gagal paham.

error: Content is protected !!