Kenapa Sekarang Beda?


514

Kenapa Sekarang Beda?

Oleh: Ndaru Anugerah

“Bang, pernahkah dunia mengalami pandemi hebat dengan tingkat kematian tinggi, tapi nggak memberlakukan lockdown atau pembatasan sana-sini seperti saat ini?” tanya seorang netizen.

“Ada,” jawabku singkat.

“Yang pertama pandemi Spanish Flu pada 1918 (baca disini) dan yang kedua pandemi Flu Asia pada 1957.” Dan dua-duanya merupakan pandemi hebat dan nggak pakai kebijakan lockdown atau pembatasan sana sini untuk mengatasinya.

Mungkin anda sedikit awam dengan Flu Asia yang terjadi pada 1957-1958. Saya akan coba ulas dengan secara sederhana.

Berdasarkan data, flu Asia membunuh hingga 1,1 juta manusia diseluruh dunia hanya dalam waktu satu tahun. Sementara di Amrik sendiri korban meninggal mencapai 116 ribu manusia. (https://www.aier.org/article/elvis-was-king-ike-was-president-and-116000-americans-died-in-a-pandemic/)

Kalo dibandingkan dengan Kopit, terutama jika dihitung dengan statistika standar yang mengukur kematian per kapita penduduk, Flu Asia lebih mematikan. Yang buat flu Asia mematikan adalah korban yang menyasar kaum muda (kurang dari 65 tahun) sekitar 40%. (https://www.seattletimes.com/seattle-news/health/lessons-to-be-learned-from-1957-pandemic/)

Sebenarnya para pakar kesehatan masyarakat saat itu berencana melakukan lockdown, namun akhirnya dibatalkan.

Alasannya: pertama virusnya sudah menyebar dengan cepat sehingga kalo di ambil tindakan lockdown dan sejenisnya hanya akan menambah runyamnya masalah.

Setidaknya epidemiologis kawakan Prof. Donald A. Henderson dari Universitas John Hopkins mendokumentasikannya dengan apik. “Nggak ada keputusan untuk memberlakukan lockdown dalam menangani virus yang menyebar dengan pesat,” begitu kurleb-nya. (http://www.upmc-biosecurity.org/website/resources/publications/2009/2009-08-05-public_health_medical_responses_1957.html)

Dengan kata lain, sistem pengendalian yang mengembangkan kekebalan kawanan (herd-immunity) alami diterapkan sebagai kebijakan untuk menanggulangi pandemi.

Dan saat itu, badan kesehatan masyarakat yang paling berpengaruh di AS adalah ASTHO (Association of State and Territorial Health Office) dan bukan NIAID pimpinan Dr. Anthony Fauci yang menjadi jongos sang Ndoro besar.

“Penutupan sekolah atau pembubaran pertemuan publik yang berkaitan dengan penyebaran penyakit ini, tidak akan membawa keuntungan praktis,” ungkap ASTHO.

Lalu, apakah penanganan flu Asia menggunakan vaksin sebagai ‘obat’ mujarab menghentikan pandemi?

Waktu itu vaksin belum ada alias masih dalam tahap pengembangan, sehingga Prof. Henderson bilang, “Vaksin nggak memberikan pengaruh yang berarti pada trend pandemi.”

Karena penyebarannya cepat, maka jutaan orang terpapar virus flu Asia. Dan uniknya mereka yang terinfeksi akhirnya mengembangkan antibodi sehingga bisa melanjutkan kehidupan mereka. Jadi nggak ada treatment lebay seperti pakai masker dan penerapan social distancing.

Beberapa point penting menjadi sorotan Prof. Henderson terhadap flu Asia tersebut.

Pertama bahwa penyebaran virus flu Asia sangat cepat sehingga upaya apapun yang dilakukan untuk menghentikan penyebarannya menjadi percuma alias sia-sia.

Kedua, yang paling mungkin dilakukan adalah menyediakan layanan medis terkait Flu Asia tersebut. Namun inipun hanya preventif saja sifatnya, mengingat jumlah orang yang harus dirawat inap akibat flu tersebut, proporsinya terbilang kecil alias nggak signifikan.

Kok bisa? Karena kekebalan kawanan telah terbentuk saat mereka terinfeksi virus.

Yang ketiga, sekolah harus tetap dibuka dengan alasan tingkat penularan di sekolah relatif singkat karena hanya berlangsung dalam hitungan hari saja. Jadi saat anak tertular ketika bersekolah, anak tersebut akan otomatis mengembangkan sistem kekebalan yang mumpuni atas virus flu tersebut.

Hal yang sama juga berlaku pada dunia industri, dimana layanan industri tetap dibuka seperti biasa agar tidak terjadi gangguan pada rantai pasokan. Ini akan berdampak langsung pada kondisi ekonomi nasional yang relatif stabil selama pandemi berlangsung.

Dan karena virus menyebar dengan cepat ke seluruh negeri dalam kurun waktu hanya 3 bulan, secara otomatis banyak yang tertular dan akhirnya berhasil survive karena mengembangkan kekebalan kawanan secara nasional. Dengan demikian pengembangan vaksin menjadi lebih lambat dari terbentuknya herd-immunity.

Itu baru sains, karena menghitung secara cermat dampak dari pandemi. Jadi nggak asal main lockdown atau pembatasan sana-sini yang berdampak sistemik bagi hancurnya perekonomian nasional. Karena pada hakikatnya, kesehatan dan sosial-ekonomi saling bergantung satu sama lain.

Memangnya virus tersebut nggak bermutasi?

Yang namanya virus flu, pasti bermutasi. Tak terkecuali virus flu Asia. Tapi itu bukan jadi alasan untuk menakut-nakuti masyarakat tentang mutasi virus tersebut. (https://www.aier.org/article/woodstock-occurred-in-the-middle-of-a-pandemic/)

Tapi satu yang perlu jadi tekanan. Bahwa ketenangan dalam mengambil suatu kebijakan mutlak diperlukan agar tidak merugikan sektor sosial-ekonomi pada masyarakat. Bukan malah pakai kebijakan brutal ala lockdown dan pembatasan sana-sini yang nggak berdampak apa-apa terhadap pandemi.

Yang ada, pandemi-nya nggak hilang, justru ekonomi dan kehidupan masyarakat jadi hancur berantakan sebagai dampaknya. (https://www.aier.org/article/twelve-principles-of-public-health/)

Sejarah telah mengajari kita banyak hal. Kenapa sekarang kebijakannya beda?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!