Kemana Perginya Otopsi?


516

Kemana Perginya Otopsi?

Oleh: Ndaru Anugerah

Bagaimana kita tahu penyebab kematian seseorang? Salah satunya prosedur standar yaitu dengan menjalankan otopsi, sehingga ketahuan apa yang memicu kematian pada orang tersebut. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6410379/)

Namun, semasa plandemi ini, anehnya semua yang berkaitan dengan Kopit dilarang untuk dilakukan otopsi. Semua korban meninggal langsung dikubur tanpa pemeriksaan lebih lanjut, dengan alasan Kopit.

Bukan hanya keanehan tersebut yang terjadi. Bahkan orang yang meninggal setelah menerima suntikan vaksin si Kopit, juga ‘dipersulit’ untuk dilakukan otopsi. Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa vaksinnya aman sehingga nggak mungkin kejadian meninggalnya diakibatkan vaksin.

Menanggapi situasi ini, Dr. Jane Orient selaku Direktur Eksekutif Asosiasi Dokter dan Ahli Bedah AS, menanyakan hal tersebut.

“Otopsi diperlukan guna menginformasikan kebijakan atas kesehatan masyarakat dan membantu orang memutuskan apakah program injeksi vaksin tersebut perlu dilanjutkan atau tidak,” demikian ungkapnya. (https://www.wnd.com/2021/07/dying-post-vaccine-otopsies/)

Upaya yang dilakukan Dr. Orient bukan tanpa alasan, mengingat korban tewas yang dilaporkan VAERS meningkat terus tiap harinya. Apakah penyebabnya vaksin ataukah faktor lainnya (komplikasi, salah treatment, dll)? Dan ini tanda tanya yang perlu dibuka datanya.

Sangat logis dan masuk akal, mengingat otopsi akan dapat mengungkap dengan gamblang penyebab kematian seseorang, karena otopsi bersifat diagnosis. (https://medicine.yale.edu/pathology/clinical/autopsy/reasons/)

Namun sudah 8 bulan vaksinasi berlangsung di AS, dan angka meninggal yang berkaitan dengan vaksin telah mencapai 12 ribu orang, otopsi tidak juga dilakukan. Ada apa ini? (https://www.openvaers.com/covid-data)

Sebaliknya, orang hanya berpaku pada sertifikat kematian yang diterbitkan oleh instansi kesehatan yang berwenang.

Apakah sertifikat ini valid?

Nyatanya, penelitian yang dibuat oleh Dr. Keyvan Ravakah pada 2006 silam, ada kesenjangan yang cukup jauh antara sertifikat kematian yang dikeluarkan pihak rumkit dengan informasi yang didapat melalui otopsi. (https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/16866055/)

Jadi apa rekomendasi penelitian yang dibuat Dr. Ravakah?

Pertama, hasil yang dirilis oleh sertifikat kematian harus dianulir karena datanya nggak cocok dengan hasil otopsi. Dan kedua otopsi harus dilakukan guna mendapatkan statistika kematian yang lebih representatif dalam bidang kedokteran.

Itu masa sebelum si Kopit datang. Nah apalagi dimasa plandemi ini, dimana semua serba dikopitkan? (baca disini)

Nggak percaya?

Coba lihat apa yang dikatakan CDC tentang sertifikat kematian, “Ketika seorang meninggal, kematiannya disertakan dengan sertifikat yang diberikan oleh dokter, tenaga medis atau coroner yang melakukannya. Dan jika diagnosis definitif tidak dapat dilakukan, maka pemberi sertifikat dapat memasukkan istilah kemungkinan atau diduga dalam pernyataan penyebab kematian.” (https://www.cdc.gov/nchs/data/nvss/coronavirus/cause-of-death-data-quality.pdf)

Jadi, kalo anda diduga Kopit, menjadi sah kalo sertifikat kematiannya menyatakan bahwa anda meninggal karena si Kopit. Meskipun itu hanya dugaan. Ajigile!

Ini jelas akal-akalan. Mana ada ceritanya laporan yang sifatnya ilmiah kok malah memasukkan unsur subyektif berupa dugaan/kemungkinan?

Kembali ke laptop.

Lalu apa penyebab kematian setelah seseorang disuntik vaksin?

Dr. Orient menyatakan bahwa kebanyakan pasien meninggal karena pembekuan darah selain penggunaan ventilator yang dapat membuat runyam masalahnya. Penelitian di Jerman menjustifikasi pernyataan tersebut. (https://www.cidrap.umn.edu/news-perspective/2020/05/otopsies-covid-19-patients-reveal-clotting-concerns)

“Ventilasi mekanis dapat dengan mudah merusak jaringan paru-paru karena memaksa udara  masuk ke paru-paru. Dan pasien yang diberikan treatment ventilator memiliki peluang bertahan hidup hanya 50%,” begitu kurlebnya. (https://www.reuters.com/article/us-health-coronavirus-ventilators-specia/special-report-as-virus-advances-doctors-rethink-rush-to-ventilate-idUSKCN2251PE)

Ini paralel dengan penelitian yang dilakukan di China, bahwa mereka yang menggunakan ventilator, 86% tidak akan selamat dari perawatan. Penelitian di New York bahwa menyatakan angka 88% bagi mereka yang menggunakan ventilator.

Dengan semua ini, kita jadi bertanya-tanya apakah vaksinasi bisa mengatasi plandemi, atau vaksinasi malah membuat plandemi-nya makin kusut?

Apalagi banyak penelitian yang menyatakan bahwa vaksinasi malah dapat menimbulkan masalah yang lebih pelik ketimbang si Kopit itu sendiri. (baca disini dan disini)

By the way, itu yang terjadi di AS sana, dimana informasi bisa ‘disimpan’ dengan baik agar publik tidak bisa mendapatkannya. Setidaknya orang masih bisa mempertanyakan ke pemerintah.

Gimana dengan Wakanda, dimana menanyakan hal diluar narasi resmi adalah bentuk ‘kejahatan’ yang tidak boleh dilakukan?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


2 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Di indo sebenarnya sudah dilakukan autopsi mas, hanya hasinya tidak dipublikasi (Dr. Siswo a.k.a dr. Chicho) https://www.instagram.com/tv/CR0oLrND4wo/?utm_source=ig_web_copy_link
    .
    Korban vaksin yang diautopsi dan hasilnya disampaikan ke publik/keluarga almarhum : https://www.merdeka.com/peristiwa/keluarga-ungkap-hasil-autopsi-trio-tak-ada-komorbid-tapi-ada-flek-hitam-di-paru.html,
    Tapi hasil yang disampaikan pun tidak transparan dan ngambang.
    .
    Luar biasa mas

error: Content is protected !!