Ini Bedanya
Oleh: Ndaru Anugerah
“Vaksin Sputnik pakai adenovirus sama halnya vaksin AstraZeneca, tapi kok masalahnya beda begitu disuntikkan ke orang?” begitu pertanyaan seorang netizen kepada saya.
Tentang vaksin Sputnik, saya pernah ulas pada awal-awal peluncurannya. Setelah itu saya pantau dan memang sesuai prediksi nggak bermasalah vaksinnya. Faktor geopolitik yang saya jadikan acuan utama dalam menganalisa. (baca disini dan disini)
Bahkan telah dinyatakan sebagai satu-satunya vaksin yang telah lulus uji klinis tahap 3 serta hasilnya telah dipublikasi di jurnal ilmiah internasional (The Lancet) setelah melewati tahap peer-review. Singkatnya, vaksinnya aman untuk dipakai. (baca disini)
Lalu bagaimana dengan vaksin AZ?
Kalo anda cari informasinya melalui media mainstream, sampai lebaran monyet informasinya nggak akan mungkin anda dapatkan. Itulah fungsi kami sebagai media alternatif yang memberikan informasi berimbang yang bisa anda gunakan sebagai bahan pertimbangan.
Saya coba membahasnya agar anda paham duduk masalahnya.
Satu hal yang perlu ditekankan bahwa vaksin Big Pharma (farmasi besar) yang kini banyak digunakan, merupakan vaksin percobaan karena uji klinisnya belum lengkap. Jangan heran kalo laporannya nggak lengkap. (https://www.ema.europa.eu/en/human-regulatory/overview/public-health-threats/coronavirus-disease-covid-19/treatments-vaccines/covid-19-vaccines)
Mau lihat buktinya?
Ambil contoh vaksin buatan Moderna dengan teknologi berbasis m-RNA, tidak akan selesai uji klinisnya hingga Oktober 2022 mendatang. (https://www.clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT04470427)
Vaksin buatan Johnson&Johnson juga tidak akan selesai uji coba klinisnya, hingga Mei 2023 mendatang. (https://www.clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT04614948?term=NCT04614948&draw=2&rank=1)
Hanya dua vaksin yang disetujui oleh EMA (European Medicines Agency) untuk digunakan dengan kondisi darurat yaitu vaksin AstraZeneca yang diberi nama AZD1222 dan vaksin Pfizer/BioNTech yang dikasih nama BNT162b2.
Perlu diingat bahwa kedua vaksin tersebut juga belum menyelesaikan uji coba klinisnya. Makanya dikasih istilah Comirnaty oleh EMA.
Memang ‘comirnaty’ tuh apa?
Vaksin yang mengandung molekul khusus untuk kasih instruksi tubuh manusia untuk menghasilkan protein dari SARS-CoV-2, tapi tidak mengadung bahan virus itu sendiri. (https://www.ema.europa.eu/en/medicines/human/EPAR/comirnaty)
Dengan kata lain, vaksin Comirnaty bukanlah vaksin tradisional yang dikembangkan dari virus Kopit.
Kalo dikembangkan bukan dari virus Kopit, lalu dari apa?
Sebelumnya anda harus tahu, apa itu vaksin tradisional?
Secara definitif, vaksin tradisional adalah vaksin patogen utuh yang bekerja dengan memasukkan patogen tersebut baik dalam kondisi mati atau lemah ke dalam tubuh manusia, yang bertujuan merangsang respons imunologis langsung. (https://www.niaid.nih.gov/research/vaccine-types)
Baik vaksin Sputnik dan Sinovac, memenuhi kriteria ini. Jadi mereka masuk kategori vaksin tradisional. Makanya saya pernah bilang: relatif aman untuk digunakan. (relatif lho ya..)
Gimana dengan vaksin Pfizer dan AstraZeneca?
Vaksin berteknologi m-RNA dikenal juga sebagai vaksin asam nukleat. Sedangkan vaksin AZ dikenal dengan vaksin vektor rekombinan.
Keduanya bekerja dengan prinsip yang berbeda dengan vaksin tradisional, dimana mereka memperkenalkan materi genetik untuk menyandikan produksi seluler dari respons antigen, tanpa terpapar patogen target.
Singkatnya, keduanya merupakan vaksin berbasis gen yang bersifat eksperimental alias coba-coba. Makanya saya pernah bilang bahwa itu bukan vaksin, tetapi terapi gen. (baca disini dan disini)
Tentang Pfizer saya pernah bahas dengan lengkap. Bagaimana dengan AstraZeneca?
Seperti saya ungkap di atas, bahwa vaksin AZ adalah vaksin rekombinan gen yang dikembangkan dari adenovirus simpanse yang dimodifikasi secara genetik untuk membawa protein lonjakan SARS-CoV-2 ke dalam sel yang kemudian dikenali oleh sistem kekebalan tubuh manusia. (https://timesofindia.indiatimes.com/india/this-is-how-the-oxford-vaccine-works/articleshow/77101858.cms)
Apakah ini nggak berbahaya? Justru sebaliknya.
Nggak aneh vaksinnya sudah buat masalah saat dipakai. Banyaknya angka kematian dan efek samping lainnya yang dapat dijadikan rujukan akan bahaya vaksin eksperimental tersebut.
Akibatnya sejumlah dokter dan ilmuwab terkemuka di Eropa yang tergabung dalam Doctors for Covid Ethics melayangkan surat terbuka kepada EMA selaku otoritas di Eropa yang kasih ijin penggunaan vaksin tersebut (28/2). (https://doctors4covidethics.medium.com/urgent-open-letter-from-doctors-and-scientists-to-the-european-medicines-agency-regarding-covid-19-f6e17c311595)
Pertanyaan mereka sederhana: kenapa kalo dibilang vaksinnya memiliki tingkat efikasi tinggi, kok nyatanya banyak yang mati saat divaksin?
Sayangnya, EMA nggak menggubris pertanyaan yang diajukan komunitas dokter dan ilmuwan tersebut.
Kesimpulan yang dibuat komunitas dokter tersebut adalah bahwa vaksin tersebut berpotensi merusak sel endotel yang membentuk penghalang antara pembuluh darah dan jaringan, termasuk perintang darah di otak.
Nggak aneh jika kemudian setelah disuntik, orang dapat terkena blood cloth alias pembekuan darah, karena memang vaksinnya bersifat merusak. Setidaknya Prof. Sucharit Bhakdi menyatakan hal tersebut. (https://bit.ly/3rGIRgD)
“EMA terlalu sembrono mengijinkan pemakaian vaksin tersebut karena bersifat eksperimental sehingga datanya nggak lengkap. Ini merupakan uji coba pada manusia dan dengan jelas melanggar Kode Nuremberg,” ungkap komunitas tersebut.
Semoga anda paham duduk masalahnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments