Hajat Besar di Tanduk Afrika? (*Bagian 2)


534

Hajat Besar di Tanduk Afrika? (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian pertama tulisan saya telah mengulas tentang bertemunya three musketeers yang merupakan pemain lama pada konflik di Timur Tengah, yang kini dipersatukan kembali pada kawasan Tanduk Afrika. (baca disini)

Pertanyaannya sederhana: apakah Feltman, Volker dan McGurk dipersatukan hanya karena faktor kebetulan semata, atau memang ada ‘rencana’ yang tengah dipersiapkan?

Kalo hanya kebetulan, logis nggak sih kalo sekelas Feltman dan Volker yang pernah menggelar operasi hitam dalam menghancurkan Lebanon dan juga Suriah, kemudian ujug-ujug ‘reunian’ di Afrika? Anda tentu sudah bisa menebaknya.

Lantas apa skenario yang akan dimainkan?

Menarik apa yang diungkapkan oleh Feltman, bahwa kawasan Tanduk Afrika berpotensi memicu eskalasi yang lebih luas lewat konflik yang terjadi di Tigray. (https://foreignpolicy.com/2021/04/26/u-s-africa-envoy-ethiopia-crisis-tigray-jeffrey-feltman-biden-diplomacy-horn-of-africa/)

Tentang konflik di Tigray yang ada di Ethiopia, saya sudah mengulasnya pada tahun lalu dan juga beberapa bulan yang lalu. (baca disini dan disini)

“Harus ada perhatian khusus yang diberikan pada wilayah Tigray,” demikian ungkap Feltman. Kalo sekelas Feltman sudah kasih ‘kode keras’, maka percayalah bakal ada pesta besar pada wilayah yang telah disebutkannya tersebut.

Konflik di wilayah Tigray menjadi tambah kusut, karena ada campur tangan AS di dalamnya. Salah satunya dengan munculnya National Endowment for Democracy (NED) yang telah kasih dukungan untuk ‘demokratisasi’ di Ethiopia sejak 2018 silam. (https://www.ned.org/region/africa/ethiopia-2018/)

Menurut skenario di awal, Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) yang sejak 2012 silam telah memerintah dengan tangan besi, dipaksa lengser dan digantikan dengan Abiy Ahmed yang kebetulan dari suku mayoritas Oromo.

Akibatnya, koalisi baru yang bernama Front Demokratik Revolusioner Rakyat Ethiopia (EPRDF) terbentuk.

Namun skenario nggak berjalan mulus, karena Abiy kemudian mengganti koalisi EPRDF yang dikuasai TPLF, dengan Partai Sejahtera yang ada dibawah kendali dirinya. Dengan langkah tersebut, TPLF langsung tarik dukungan dan situasi makin memanas di Ethiopia.

Masalah tambah ruwet saat pihak TPLF menggelar pemilu ditengah plandemi di bulan September 2020 silam, guna memilih kepala daerahnya. “Abiy bukanlah pemimpin kami,” demikian kurleb-nya. (https://qz.com/africa/1902614/ethiopia-tigray-tplf-party-wins-controversial-election/)

Akibatnya, Abiy terpaksa pakai kekuatan senjata guna meredam upaya ‘pemisahan’ diri yang digelar oleh TPLF di Tigray. Rakyat Ethiopia di wilayah tersebut akhirnya dipaksa eksodus ke negara Sudan. (https://www.nytimes.com/2020/11/05/world/africa/ethiopia-tigray-conflict-explained.html)

Itu baru satu masalah di Ethiopia.

Memangnya apa masalah lainnya?

Menurut Feltman, masalah lainnya adalah konflik perbatasan antara Ethiopia dan Sudan yang telah terjadi sejak November 2020 silam, atas wilayah al-Fashaga yang terletak dipersimpangan antara kedua negara tersebut. (https://issafrica.org/iss-today/ethiopia-sudan-border-tensions-must-be-de-escalated)

Mungkin kalo hanya sekedar konflik perbatasan, negosiasi bisa dilakukan. Namun masalah jadi runyam karena menyangkut proyek ambisius Abiy yang dinamakan GERD alias Grand Ethiopian Renaissance Dam, yang akan dibangun. (https://www.voanews.com/africa/massive-nile-dam-hits-first-filling-target-says-ethiopias-prime-minister)

Apa motivasi Abiy menggelar proyek bendungan besar tersebut?

Tentu saja kebutuhan listrik bagi Ethiopia, selain upaya Abiy untuk mempersatukan Ethiopia dibawah kepemimpinannya.

Berdasarkan data, GERD bakal memakai aliran Sungai Nil sebagai sumber utama pasokan airnya. (https://www.brookings.edu/blog/africa-in-focus/2020/08/05/the-controversy-over-the-grand-ethiopian-renaissance-dam/)

Dan kalo ini terjadi, maka secara nggak langsung akan memotong aliran air Sungai Nil yang juga mengarah ke Sudan dan Mesir.

Gimana nggak kacau?

Padahal lebih dari 90% air yang ada di Mesir, sumbernya adalah Sungai Nil tersebut. Nah kalo semua aliran air dibendung dalam bendungan besar milik Ethiopia, Mesir bakal dapat air dari mana? (https://apnews.com/f2c30802d80247efa6872d5852882057/Dam-upstream-leaves-Egypt-fearing-for-its-lifeline,-the-Nile)

Dan ini dapat digunakan sebagai entry point untuk mematik konflik yang lebih besar.

Kenapa Abiy demikian nekat mewujudkan proyek mercusuarnya tersebut?

Karena Abiy punya backing yang cukup kuat, minimal dari segi pendanaan, yaitu China. Kredit sebesar lebih dari USD 1,8 miliar telah digelontorkan Beijing guna menggarap proyek GERD. (https://www.max-security.com/reports/strategic-analysis-reprecussions-of-chinese-investments-in-the-nile-river-basin/)

“Masa iya proyek raksasa dibiarkan terbengkalai gegara Ethiopia dibuat kalah dalam perang?” mungkin begitu pikir Abiy.

Dan China sangat punya kepentingan terhadap wilayah Ethiopia, secara khusus kawasan Tanduk Afrika. Makanya pinjaman jumbo diberikan, karena China juga bakal dapat keuntungan atas pinjaman itu.

Setidaknya 2 hal. Pertama SDA dan kedua konektivitas jalur BRI-nya.

Contoh saat China memberi bantuan guna membangun pelabuhan Massawa yang ada di Eritrea, ini bukan semata-mata Tiongkok ingin membantu Eritrea, karena dengan adanya pelabuhan tersebut, China jadi mudah mengirim tembaga dan emas yang dikeduk dari negara tersebut. (http://country.eiu.com/article.aspx?articleid=813096265&Country=Eritrea&topic=Economy&subtopic=Fo_6)

Di Sudan juga sama dimana bantuan China diberikan secara besar-besaran, mengingat China mengincar cadangan minyak yang ada di negara tersebut guna menopang industrinya. (https://thediplomat.com/2019/02/how-china-came-to-dominate-south-sudans-oil/)

Hal yang sama juga terjadi di Mesir, dimana bantuan jumbo diberikan karena ada kepentingan bisnis China pada Terusan Suez. (https://www.reuters.com/article/us-egypt-china-financing-idUSKCN12328A)

Karena sudah banyak kasih bantuan ke kawasan Tanduk Afrika, China cukup pede mengoperasikan pangkalan militer luar negeri pertamanya di dunia, yang ada di Djibouti pada 2017 silam. (https://jamestown.org/program/chinas-overseas-military-base-djibouti-features-motivations-policy-implications/)

Yang buat kocak, pangkalan militer China tersebut, letaknya nggak jauh dari pangkalan AL AS yang ada di Camp Lemonnier yang juga ada di Djibouti. Ini apa maksudnya, coba?

Kalo kemudian 3 sekawan kembali ditugaskan ke wilayah Tanduk Afrika, tentunya nggak sulit untuk menebak apa hajat besar yang bakal digelar disana, bukan?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!