Hajat Besar di Tanduk Afrika? (*Bagian 1)


534

Hajat Besar di Tanduk Afrika? (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

Belakangan, negara-negara di Afrika seperti Ethiopia, Eritrea, Djibouti dan Somalia dilanda destabilisasi politik yang kian hari makin meningkat eskalasinya. (https://www.theafricareport.com/81417/ethiopia-eritrea-somalia-djibouti-the-constant-instability-in-the-horn-of-africa/)

Kok bisa? Apa yang melatar belakanginya?

Perlu anda tahu bahwa keempat negara tersebut merupakan kelompok negara Tanduk Afrika (The Horn of Africa) yang sudah pasti punya nilai strategis secara geopolitik. Beberapa pengamat bahkan memasukan Sudan, Sudan Selatan, Kenya dan Uganda pada kategori tersebut.

Teluk Alden, Sungai Nil dan Laut Merah, ada pada wilayah tersebut. Setidaknya Tanduk Afrika merupakan kawasan terpenting di Afrika yang menjadi pintu gerbang jalur pelayaran utama dunia melalui Laut Merah dan Terusan Suez ke wilayah Mediterania.

Bagaimana kita tahu bahwa kawasan Tanduk Afrika punya arti yang strategis?

Sangat mudah membuktikannya.

Anda ingat saat kapal container Ever Given yang sempat memblokir Terusan Suez selama berhari-hari pada beberapa bulan yang lalu.

Kalo nggak penting sebagai jalur perdagangan dunia, nggak akan mungkin kerugian akibat sumbatan pada Tanduk Afrika tersebut menjadi demikian besarnya, bahkan mencapai ratusan juta dollar dalam tiap jamnya. (https://www.cnbc.com/2021/03/25/suez-canal-blockage-is-delaying-an-estimated-400-million-an-hour-in-goods.html)

Masih banyak yang perlu disebutkan tentang arti penting kawasan Tanduk Afrika. Pada lain kesempatan saya akan mengulasnya.

Menariknya, Deplu AS menunjuk seorang diplomat karir sebagai Utusan Khusus untuk kawasan Tanduk Afrika. Jeffrey Feltman, namanya. (https://www.state.gov/travel-by-u-s-special-envoy-for-the-horn-of-africa-jeffrey-feltman/)

Sekilas nggak ada yang salah dengan penunjukan tersebut. Namun bagi banyak analis geopolitik, sosok Feltman jelas kontroversial dan punya catatan ‘khusus’ dalam menyulut perang, khususnya di Timur Tengah.

Anda tahu pembunuhan mantan PM Rafic Hariri yang terjadi di Lebanon pada 2005, yang kemudian memicu Revolusi Cedar. Adalah Feltman yang ditenggarai sebagai aktor intelektual atas pembunuhan tersebut yang saat itu jadi dubes AS untuk Lebanon. (https://www.voltairenet.org/article190102.html)

Apa tujuannya?

Tentu saja untuk memisahkan Lebanon dari Suriah, yang awalnya berkongsi.

Dengan adanya kejadian tersebut, maka nggak lama pihak militer Suriah dipaksa angkat kaki untuk meninggalkan Lebanon yang telah lama menjadi sekutunya, karena dituduh terlibat dalam pembunuhan Hariri. (https://www.latimes.com/archives/la-xpm-2005-apr-27-fg-lebanon27-story.html)

Ada juga jejak berdarah Feltman pada operasi perubahan rezim di Timur Tengah, yang biasa dikenal dengan Arab Springs. Salah satu yang jadi target operasi Feltman adalah penggulingan seorang Bashar Assad di Suriah pada 2011 silam. (https://www.jadaliyya.com/Details/26062)

Tentu saja dengan menggandeng Turki, Arab Saudi dan Qatar dalam menjalankan misinya. Nggak aneh jika pasukan Ikhwanul Muslimin bisa terlibat dalam aksi penggulingan Assad, karena ada ‘arahan’ dari Erdogan. (https://www.ekathimerini.com/news/228490/erdogan-linked-to-muslim-brotherhood-syrias-assad-tells-k/)

Selain itu, Fetman juga bekerjasama dengan Volker Perthes yang saat itu selaku utusan PBB untuk Suriah, dalam mengorganisir oposisi Suriah serta dukungan keuangan untuk merekrut ISIS dan Al-Qaeda dari LN untuk menghancurkan rezim Assad, dengan bantuan Turki. (https://www.govinfo.gov/content/pkg/CHRG-114hhrg25270/pdf/CHRG-114hhrg25270.pdf)

Bahkan saat pasukan AS menemui kegagalan dalam upaya menggulingkan Assad (karena didukung oleh Rusia), lagi-lagi Feltman (selaku pejabat Sekjen PBB) kasih instruksi rahasia kepada Uni Eropa untuk memberi sanksi kepada setiap orang atau perusahaan yang membantu upaya rekonstruksi Suriah pasca perang di tahun 2017. (https://www.voltairenet.org/IMG/pdf/UN-Assistance-in-Syria-_Feltman_October_2017_.pdf)

Dan kini, ibarat déjà vu, Feltman bertemu kembali dengan rekan lawasnya di Suriah, Volker Perthes yang kini menjabat sebagai Wakil Khusus Sekjen PBB untuk Sudan, yang juga ada di Tanduk Afrika. (https://www.dw.com/en/un-appoints-german-professor-to-head-sudan-mission/a-56168771)

Formasi belum lengkap tanpa hadirnya orang ketiga yang sama-sama terlibat pada revolusi warna yang ada di Timur Tengah.

Orang itu adalah Brett McGurk yang kini menjabat sebagai kepala Dewan Keamanan Nasional untuk Timur Tengah dan Afrika Utara pada pemerintahan Biden. (https://news.stanford.edu/thedish/2021/01/11/biden-picks-brett-mcgurk-for-middle-east-role-at-the-national-security-council/)

Memang apa peran McGurk pada Arab Springs?

McGurk pernah bekerja untuk Jenderal David Petraeus dan John Negroponte di tahun 2004, yang punya proyek untuk menyulut konflik sektarian berupa perang saudara Sunni-Syiah yang ada di Irak yang bermuara pada terbentuknya ISIS dikemudian hari. Dan Daesh adalah senjata penggulingan rezim yang sangat efektif. (https://www.voltairenet.org/article190282.html)

Selaku diplomat, McGurk sangat paham bagaimana sebuah entitas dapat dipecah belah dengan membangkitkan sentimen sektarian. Selain itu, jam terbangnya cukup tinggi.

Jadi, dengan bertemunya para pemain lama di Timur Tengah pada wilayah di Tanduk Afrika, menimbulkan spekulasi adanya ‘hajat besar’ yang kelak digelar pada wilayah tersebut.

Apa kira-kira skenario apa yang bakal dikembangkan?

Pada bagian kedua tulisan saya akan mengulasnya.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!