Gembosnya Gerombolan Kadal Gurun


525

Oleh: Ndaru Anugerah

Menjelang pengumuman siapa calon pendamping Jokowi digelaran pilpres 2019 tempo hari, terjadi ketegangan. Seharusnya ticket to ride jatuh ke pihak Mahfud MD.

Namun NU mendesak, “Jangan salahkan kami kalo kami tidak mendukung pemerintahan yang terpilih kelak, jika ngotot pak MD sebagai pendampingnya.”

Singkatnya, NU ngotot capres-nya harus dari kalangan Nahdliyin. Dan akhir cerita kita tahu bersama, Kyai Ma’ruf Amin yang kemudian dijadikan pendamping pakde.

Banyak suara kecewa, terutama para Ahokers. “Lha nih orang bukannya yang keluarkan fatwa penistaan buat Ahok? Kenapa dia yang dipilih?” Tapi bola terus bergulir.

Saat itu, sekilas kita melihat seorang Jokowi yang tengah digencet kepentingan, lemah tak berdaya. Tapi belakangan, kita tahu bersama, bahwa pemilihan MA sebagai pendampingnya bukan tanpa perhitungan. Justru penuh perhitungan. Maksudnya?

Pernah dengar istilah teori moderasi?

Menurut teori ini, jika ada kelompok yang berpotensi melawan terhadap kepemimpinan kita, baiknya orang tersebut dimoderasi dan jangan dilawan secara frontal. Apa yang bisa memoderasi? Banyak hal. Dari mulai uang hingga jabatan. Dan Jokowi sangat mahfum akan hal ini.

Dengan menjatuhkan pilihan pada seorang MA, maka beban berat dari kepemimpinan Jokowi minimal bisa direduksi.

Dulu, seiring dengan ramainya kasus penistaan yang dialamatkan ke Ahok, kalo kita menyinggung pemerintahan Jokowi, apa yang terbesit dibenak kaum muslimin? Nggak lain, ya pemerintah dzolim hingga rezim anti Islam. Seolah ada penggiringan opini publik dalam hal ini.

Situasi ini jelas tidak menguntungkan. “Bakal jadi bulan-bulanan terus kalo begini. Nah kapan kerjanya?”

Lalu, seiring dengan naiknya MA sebagai wapres, apa yang kemudian terjadi?

“Coba lihat track record seorang MA yang awalnya cenderung anti terhadap kaum minoritas. Dari mulai keluarnya fatwa haram terhadap kelompok Ahmadiyah, LGBT hingga fatwa penistaan agama yang dilakukan Ahok, semua tak lepas dari peran seorang MA,” demikian ungkap seseorang.

Namun kini, sikap seorang MA pun mulai mengalami moderasi. Dukungan totalnya kepada Pancasila, penolakannya pada konsep Khilafah hingga aksi memberikan ucapan selamat Natal pada kaum Nasrani di 2018 lalu, jelas hal spektakuler yang tak terbayangkan sebelumnya.

Tebak siapa yang paling diuntungkan dalam hal ini? Yah pemerintahan Jokowi.

“Saat ini, apa mudah memberikan stigma bahwa pemerintahan Jokowi adalah rezim dzolim atau rezim anti Islam?” Kalaupun ada, ya paling itu berasal dari golongan oposisi yang nggak kebagian apa-apa dari pemerintahan yang berkuasa saat ini.

Otomatis basis legitimasi pemerintahan Jokowi kian hari kian menguat.

Jangan heran ditataran operasional, para menteri sebagai kepanjangan tangan Jokowi tak segan-segan melontarkan pernyataan yang kerap menyerang kelompok 212, yang dulunya sangat ditabukan. Ya, karna itu tadi.

Tinggallah kelompok 212 yang kini kelimpungan. Mau pegangan ke siapa, coba?

5 tahun Jokowi berkuasa membuat mereka kering dan cenderung sepi order. Ditambah sekarang penyokong dana gerakan mereka yang banyak bercokol di BUMN-BUMN plat merah, kini siap menunggu ajal dengan adanya rencana litsus yang akan digelar oleh pemerintah. (baca disini)

“Jangankan mau niat ngumpulin duit, lha wong mau reunian aja, jadi apa nggak-nya belum jelas juntrungannya,” demikian keluh seorang anggota laskar.

Disini kita bisa simpulkan. Bisakah sukses gerombolan 212 mendulang lautan massa kembali? Sepertinya, itu hanya mimpi di siang hari bersama Poppy sang pujaan hati.

Prok-prok-prok, tolong dibantu pak Tarno…

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!