Kode Operasi: Panik Global


519

Kode Operasi: Panik Global

Oleh: Ndaru Anugerah

Banyak pihak meneriakkan lockdown di Indonesia. Dan yang paling kencang memainkan adalah media mainstream di tanah air yang berfungsi dalam membentuk opini publik.

Ada apa ini?

Sejak dikeluarkan status darurat (PHEIC) oleh Tedros selaku Dirjen WHO pada 30 Januari 2020 yang lalu, situasi dunia mulai tidak kondusif. Panik dan suasana mencekam menjadi pemandangan yang lumrah setelah itu.

Dan yang paling nggak masuk akal adalah alasan kenapa status darurat kesehatan tersebut dikeluarkan. Dasarnya apa?

Sebagai gambaran, saat itu (30/1) hanya ada 150 kasus COVID-19 yang dikonfirmasi di luar China. Pertanyaannya: dengan penduduk dunia yang berjumlah 7,8 milyar manusia, masuk akal gak sih kalo status darurat kesehatan ujug-ujug dikeluarkan gegara 150 orang terpapar COVID-19?

Maklumlah, karena Tedros sang whistle blower sebagai jongos hanya sekedar menjalankan perintah dari tuannya. (baca disini)

Lewat WHO juga Tedros menekan sejumlah negara untuk menerapkan status lockdown. Tak terkecuali Indonesia. Sayang, Indonesia dibawah kepemimpinan Jokowi nggak gampang untuk ditundukkan. (baca disini)

Apa yang mungkin terjadi saat lockdown diterapkan?

PM India – Narendra Modi – pada Selasa lalu (24/3) menerapkan status lockdown secara nasional. Apa akibatnya?

Sungguh dahsyat.

Begitu pengumuman lockdown dikeluarkan, panic buying langsung terjadi. Dan orang-orang kelas menengah jelas pihak yang diuntungkan karena mereka punya uang. Bagaimana dengan kaum misqueen yang boro-boro mau ngeborong? Wong buat makan sehari-hari aja sulit..

Berikutnya, terjadi eksodus besar-besaran dari kota-kota besar seperti Delhi, Kolkata dan Mumbai, ke daerah pedesaan dengan skema mudik. Masalahnya, pemerintah India nggak antisipatif. Jumlah kendaraan umum untuk mudik sangat terbatas.

Akibatnya banyak yang nggak terangkut dan mereka terpaksa jalan kaki. Bahkan ada yang berjalan sejauh 270 km. Walhasil, banyak yang mati ditengah jalan mengingat jauhnya jarak tempu menuju kampung halaman.

Dengan jumlah armada transportasi yang terbatas, penumpang dipaksa berjubel dalam angkutan. Bahkan ada yang naik di atas atap bis. Akibatnya, social distancing yang harusnya diterapkan, menjadi nggak efektif.

Penularan virus secara masif akhirnya menemukan jalannya karena orang saling senggol. Orang menjadi lebih banyak yang terinfeksi.

Dan akhirnya, bagi kaum misqueen, bukan COVID-19 yang kemudian membunuh mereka, tapi kondisi kelaparan yang sudah terbayang di depan mata. Gimana mau survive, wong stok makanan tidak mereka punya.

Itu pengalaman lockdown di India yang sukses menciptakan chaos. Bagimana dengan negara berflower?

Tekanan paling keras dimainkan oleh media dengan framing-nya, untuk sekedar menggiring opini publik guna menekan pemerintahan Jokowi menerapkan status lockdown.

Ada Tempe, Tirta, i-Ngus, Republiken, dan nggak ketinggalan Ce Een serta masih banyak lagi media-media kecil rekanannya. Framing dimainkan dengan sangat masif. Contoh yang paling gampang: pernyataan IDI dalam pers rilis yang kemudian diplintir oleh media mainstream tersebut.

“Setiap tenaga kesehatan berisiko untuk tertular Covid-19. Maka, kami meminta terjaminnya Alat Perlindungan Diri (APD) yang sesuai….. Bila hal ini tidak terpenuhi …. untuk sementara tidak ikut melakukan perawatan penanganan pasien Covid-19…..,” begitu pernyataan resmi IDI.

Lalu apa yang muncul di headline media?

“Ikatan Dokter Indonesia Ancam Mogok Tangani Pasien Corona.” Cape dehh.. Beritanya nggak sinkron sama apa yang diungkapkan nara sumbernya.

Apakah ini kebetulan? Kebetulan gigi lu gendut…

Maklumlah, pemilik media mainstream adalah proxy Mamarika di Indonesia. Nggak aneh lah kalo isi beritanya kayak gitu. Karena memang grand design-nya status lockdown harus diberlakukan. Tak terkecuali di Indonesia. Untuk apa? Jualan vaksin milik tuannya, diakhir cerita. (baca disini)

Kenapaa harus main pakai jalur framing media?

Karena kelas menengah ke atas lah yang paling gampang dipicu panik. Kalo wong misqueen mah nggak takut sama Corona.

Coba tanyakan ke mereka: takut kena Corona atau takut nggak makan? Pasti makanlah yang ditakuti, bukan justru Corona-nya.

Makanya berkali-kali saya katakan, ngapain juga harus panik? COVID-19 akan segera berakhir begitu musim panas/kemarau tiba. Itu saya pernah ulas. Kenapa? Karena Corona adalah sejenis virus flu yang akan mati begitu kena matahari di daerah tropis.

Namun satu yang pasti.

Tekanan banyak pihak kepada Jokowi untuk menerapkan status lockdown, belakangan makin tidak efektif. Terbukti dengan Pepo yang akhirnya justru bersepakat sama pakde untuk tidak menetapkan status lockdown. “Tugas Jokowi berat namun mulia.” (23/3)

Dengan kata lain soliditas para penggonggong ternyata tak seperti yang dibayangkan.

Beberapa catatan saya buat pakde.

Mohon para pekerja medis diperlengkapi APD yang layak, karena itu modal dasar mereka untuk bekerja secara aman.

Lalu dalam menyajikan data COVID-19, sebaiknya dipilah secara spesifik agar publik bisa membacanya secara komprehensif dan tidak mudah panik.

Misalkan jumlah orang yang mati, usianya berapa saja? Adakah penyakit penyerta (komorbid) yang menyertainya?

Jangan sampai seseorang ada riwayat penyakit jantung, lalu kena Corona, eh dinyatakan mati karena Corona. Atau mungkin usianya sudah mencapai 70 tahun, lalu terinfeksi COVID-19, eh dinyatakan mati karena Corona.

Pemetaan ini perlu dilakukan, agar publik tahu secara pasti apa penyebab kematian. Jangan sedikit-sedikit yang disalahkan Corona.

Dan yang terakhir, tolong para aparat diturunkan dengan instruksi lakukan tindakan tegas bila diperlukan. Begitu ada yang berkerumun, langsung bubarkan. Kalo perlu pakai tembakan peringatan untuk membubarkannya.

Anyway, saya harap badai ini akan segera berakhir.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!