Bukan Cerita Dongeng


513

Bukan Cerita Dongeng

Oleh: Ndaru Anugerah

Pertemuan virtual para pemimpin G-20 (26/3) menghasilkan beberapa butir kesepakatan untuk membatasi penyebaran pandemi COVID-19 yang berpotensi mematikan manusia.

Pada tataran teknis, rencananya akan digelontorkan dana patungan sebesar 5 trilyun USD sebagai pembiayaan dalam penanggulangan pandemi.

Namun, bukan itu sorot berita internasional atas kongko-kongko online tersebut.

Setelah virtual meeting tersebut, Trump dan Xi Jinping ber-tele conference membahas pandemi COVID-19. Selain itu mereka bersepakat meredakan ketegangan antara keduanya, dan berjanji untuk bekerjasama lebih erat dalam penanggulangannya.

Maklum, Trump sebelumya sempat melontarkan ujaran rasis dengan mengatakan virus Corona adalah virus China. Kepada Fox News (24/3) Trump menyatakan: “Saya tidak menyesal telah menggunakan istilah tersebut, tapi saya tidak akan memperbesar masalah (dengan China).”

Setelah pertemuan tersebut, Trump kemudian mencuit lewat akun twitter-nya (27/3): “Saya memiliki percakapan yang sangat baik dengan Xi dan China telah melalui banyak hal serta telah mengembangkan pemahaman yang kuat tentang virus (Corona).”

“Kami (akan) bekerjasama dengan erat. Salam hormat,” demikian tambahnya.

Pihak China mengatakan bahwa selama ini Beijing telah bersikap transparan dan kooperatif atas semua informasi yang berkaitan dengan epidemi tersebut.

Dan diakhir cerita Xi siap menawarkan bantuan kepada AS yang kini justru mengalami peak season akibat pandemi COVID-19 tersebut.

Pemimpin China itu juga mengatakan bersedia meningkatkan koordinasi kebijakan makro-ekonomi dengan Washington dalam menstabilkan pasar dan menopang pertumbuhan di tengah pandemi global.

Apakah ini pertanda akhir cerita pandemi COVID-19? Akankah AS bersedia menerima bantuan China dalam penanggulangan wabah COVID-19 di negaranya?

Lewat tulisan ini saya coba mengulasnya, mengingat banyak yang sudah bertanya.

Pertama kali yang saya perlu luruskan adalah kondisi panik yang extraordinary di AS sana. Kenapa harus panik, lha wong di tahun 2018 saja, tingkat kematian di AS akibat influenza telah mencapai angka 80.000 menurut CDC.

Kini, dengan angka kematian yang hanya 1500 orang (akibat COVID-19), kok justru malah panik nggak karu-karuan. Pertanyaannya: ada apa? Tentang ini saya pernah mengulasnya (baca disini)

Lalu yang kedua, terkait validitas data yang dipublikasi oleh CDC. Bayangkan, sejak 21 Januari 2020, CDC memasukkan jumlah pasien yang dikonfirmasi positif (confirmed) dan yang masih diduga (presumptive) kedalam klasifikasi yang sama: terinfeksi.

Padahal klasifikasi yang dilakukan oleh WHO, misalnya, mereka tidak memasukkan angka pasien yang masih dugaan (presumptive) ke dalam golongan orang yang positif terinfeksi. Untuk mengetahui apakah seseorang diduga telah terinfeksi atau tidaknya, harus melalui uji lab.

“Lewat analisis kimia, sebuah sampel akan bisa ditetapkan positif atau tidak, lewat hadirnya suatu ‘zat asing’ pada diri orang tersebut,” demikian ungkap seorang dokter.

Hasil tes-nya kemudian dikirim ke laboratorium kesehatan yang telah terakreditasi untuk mendapatkan validasi. Jadi nggak asal-asalan.

Masalahnya, untuk melakukan tes tersebut mayoritas masyarakat AS tergolong nggak mampu, karena biaya yang mahal. Di Florida saja, tarif untuk tes COVID-19 pada awal Februari lalu, harganya dibandrol 3000 USD. Iya kalo orang tersebut ikut asuransi, nah kalo nggak?

Sekarang, walaupun biayanya turun, harganya dibandrol 100-250 USD. Tetap aja mahal. Apalagi orang yang kerjanya di sektor informal atau mungkin jobless. Saat semuanya nggak berjalan normal, duitnya dari mana?

Nggak aneh, data yang diungkap oleh CDC ngawur adanya.

Kembali ke laptop.

Jika China akan membantu AS, itu mungkin-mungkin saja. Mengingat China perlu publikasi internasional untuk bisa dikenal sebagai sosok sosialis yang humanis. Maklum, orang akan mempunyai stigma negatif kalo sudah dengar negara sosialis. Apalagi kalo dengar nama Kim Jong Un.. Aduh!

Masalahnya, akankah AS menerimanya? Ini sangat diragukan. Dengan menerima bantuan China masuk ke AS, sama aja kasih panggung ke China. Kebayang donk, Trump yang selama ini mati-matian menyerang China, justru diakhir cerita malah dibantu oleh pihak yang diserangnya?

Apa kata dunia, Choky…

Lantas, dengan adanya komunikasi virtual tersebut, masalah kedua negara langsung clear dan AS akan menggandeng China sebagai rekan strategis dalam menangani COVID-19?

Kalo itu terjadi, artinya investasi besar yang digelontorkan Bill Gates lewat Big Pharma yang rencananya akan menyediakan vaksin COVID-19 lewat agenda vaksinasi global, akan sia-sia gitu?

Eh Malih…sejak kapan seorang presiden AS bisa lebih berkuasa dibanding tokoh deep state sekelas Bill Gates?

Sebagai informasi, untuk menjadi seorang presiden AS, maka polanya harus mendapatkan restu dari kelompok tersebut, selain dukungan dana (baca disini). Syaratnya, saat berkuasa ya dia harus mau diatur oleh mereka, bukan malah sebaliknya. Nggak terkecuali Trump.

Aliasnya, agenda vaksinasi global akan terus jalan sesuai rencana semula.

Terus, apa agenda dibalik percakapan virtual tersebut?

Yang paling mungkin, Trump hanya akan menarik simpati publik AS bahwa dirinya juga punya sisi humanis. Bukankah sebentar lagi akan pilpres di AS sana? Jadi pencitraan harus dilakukan.

Selain itu, Trump coba memposisikan bahwa situasi di AS kala ini memang cukup genting. Makanya atas desakan warga AS dia coba menjalin diplomasi dengan China yang telah berhasil keluar dari lubang maut COVID-19.

Gitu aja sih. Nggak lain cuma spik-spik doang…

Jadi yang berpikiran kalo AS dan China kemudian akan kerjasama bahu membahu dalam mengentaskan pandemi COVID-19 sehingga masalah akan terpecahkan, mimpinya kejauhan Bray.…

Karena itu hanya ada di negeri dongeng atau mungkin di republik Wakanda…

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!