Adu Kuat Jokowi – Trump


516

Adu Ngotot Jokowi – Trump

Oleh: Ndaru Anugerah

Awalnya lewat Tedros selaku Dirjen WHO, BG dan kelompok Big Pharma yang punya kepentingan untuk menjalankan agenda mereka yaitu vaksinasi global, menekan kepada semua negara untuk memberlakukan status darurat. Lockdown lah implementasinya. Tak terkecuali Indonesia.

Namun sayang, Jokowi bukan tipe pemimpin yang mudah ditekan oleh sekelas jongos, model Tedros. Tekanan untuk menetapkan status darurat, justru Jokowi tampik. Sebagai gantinya, Jokowi kemudian membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Corona yang diketuai Doni Monardo.

Padahal bukan itu yang diharapkan.

Sejak itu, tekanan beralih dengan menggunakan kekuatan para proxy AS di Indonesia yaitu media mainstream. Cara ini layak untuk dilakukan, mengingat kelas menengah-atas lah yang paling gampang dipicu panik lewat framing media besar.

Lagian nggak terlalu butuh banyak biaya dalam menjalankan skenario tersebut.

Tujuannya 1, agar Indonesia segera menerapkan status lockdown sesuai skenario panik global. Itu saja.

Jadi bukan chaos dan berujung pada kudeta, akhir semua framing media selama ini. Hanya butuh tunduknya seorang Jokowi atas maunya sang Ndoro besar yang berada dibalik sosok Tedros.

Apakah upaya yang dilakukan para proxy AS tersebut akan berhasil? Saya meragukannya. (baca disini)

Tekanan nggak berhenti sampai disini. Kembali AS memainkan kartu truf-nya. Kali ini dengan mengeluarkan anjuran perjalanan (travel advisory) bagi segenap warga AS untuk tidak bepergian ke Indonesia, terutama yang saat ini berada di negeri berflower tersebut.

Sebenarnya anjuran perjalanan (travel advisory) sah-sah saja untuk dikeluarkan oleh sebuah negara, karena beberapa alasan seperti: ancaman kesehatan, serangan terorisme, kriminalitas yang tinggi dan lain sebagainya.

Lalu apa alasan AS mengeluarkan travel advisory tersebut?

“Alasan kesehatan yaitu penyebaran COVID-19 di Indonesia yang demikian pesat, tapi tidak diimbangi fasilitas kesehatan yang memadai,” demikian alasan dari salah satu staf kedubes AS di Indonesia.

Apakah logis?

Mengacu pada kondisi terkini, AS memimpin klasemen di dunia dengan jumlah warga terbanyak yang terpapar COVID-19. Merujuk pada data yang dirilis oleh CDC (30/3), tercatat 122.653 orang terinfeksi, dengan angka kematian 2112 orang yang tersebar di 50 negara bagian.

Sementara di Indonesia, angka yang dirilis per hari ini (30/3) tercatat 1285 kasus dengan perincian: 1107 dirawat, 114 dinyatakan meninggal dan 64 orang telah sembuh.

Dengan kata lain, alasan kesehatan yang dirilis oleh AS jelas mengada-ada. Kenapa? Karena angka terinfeksi dan angka kematian di AS jauh lebih tinggi daripada di Indonesia.

Artinya dengan menyuruh warganya pulang kampung, sama saja dengan menyuruh mereka keluar dari sarang buaya dan masuk ke kandang Singa. Toh kondisi di AS nggak lebih baik keadaannya.

Bisa disimpulkan, travel advisory dikeluarkan karena ada kepentingan politisnya.

Nyatanya, travel advisory juga dilayangkan ke Filipina bagi segenap warga AS, setelah Duterte menendang keluar segenap pangkalan militer AS di negeri tersebut. Aliasnya, travel advisory dilayangkan dengan harapan Duterte mau memberikan tempat bagi pangkalan militer AS kembali bercokol di Filipina.

Lantas apa skenario lanjutan dari dikeluarkannya travel advisory tersebut?

Ada 2. Menciptakan instabilitas politik sekaligus memicu instabilitas ekonomi.

Secara politis ini perlu dilakukan, mengingat Indonesia sudah dikategorikan bukan lagi sebagai rekan strategis oleh AS. Kedekatan dengan China lah pemicunya.

Namun saat ini AS cukup realistik memandang Indonesia yang sangat sulit untuk dikudeta, apalagi lewat kepemimpinan seorang Jokowi. Kalaupun dikudeta, penggantinya siapa kecuali triumvirat. Dan kalopun triumvurat, anggotanya orang-orang Jokowi juga. Jadi sama aja boong.

Lagian, pihak militer saat ini berhasil di kendalikan penuh oleh Jokowi lewat ring-1 nya yang mayoritas merupakan mantan panglima angkatan bersenjata.

“Kalo mau dikudeta, demo berjilid-jilid tempo hari dimana GN selaku panglima TNI, jauh lebih memungkinkan. Mengingat GN kan juga punya ambisi. Toh nyatanya, nggak terjadi juga karena manajemen konflik yang dimainkan Jokowi terbilang efektif.”

Paling mungkin terjadi adalah penetapan status lockdown. Itu saja. Agar agenda jualan vaksin bisa berjalan sesuai rencana.

Bagaimana dengan instabilitas ekonomi?

Ini juga nggak kalah set, mengingat Indonesia yang sudah mengkiblat ke China dan masuk proyek BRI-nya.

Belum lagi AS yang mengalami defisit neraca perdagangan dengan Indonesia pada tahun-tahun belakangan. Inilah yang memicu dihapusnya status Indonesia dari Negara Berkembang ke Negera Maju melalui lembaga US Trade Representative.

“Apalagi dengan rencana Indonesia untuk membeli pesawat tempur dan misil dari Rusia. Ini makin membuat AS meradang,” demikian ungkap seorang narsum.

Langkah paling mungkin yang akan diterapkan AS ke depan adalah sanksi ekonomi. Itupun kalo Indonesia masih tetap ‘membandel’ terhadap kebijakan AS. Menurut saya Jokowi nggak mungkin mengambil langkah seekstrim Duterte.

Makin menarik mengamati situasi politik di negeri +62 ini, ditengah wabah COVID-19 yang kini melanda.

Akankah pakde tunduk pada tekanan AS untuk segara menetapkan status lockdown?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!