Guruku Sayang, Guruku Malang


521

Oleh: Ndaru Anugerah

Pidato yang dibacakan oleh Mendikbud berdarah milenial, Nadiem Makarim pada peringatan Hari Guru yang berlangsung hari ini (25/11) mendadak viral. Apa sebabnya? Pidatonya ringkas dan padat, namun isinya sungguh mengena. Menyoal tentang nasib guru jaman now.

Sebenarnya ini bukan hal yang baru, kalo soal derita guru yang selalu terkendala aturan birokrasi dan administrasi dalam menjalankan tugas mengajarnya. Tapi jadi fresh manakala seorang menteri menyuarakannya. Baru pertama kali ini. Menteri Pendidikan yang dulu-dulu, ntah pada kemana?

Seakan ada pembenaran dari seorang Nadiem setelah melihat realitas, bahwa tugas guru yang utamanya malah administratif dan bukan mengajar apalagi mendidik. Dan itu justru ironi-nya. Gimana mau optimal ngajar kalo terus dibebani hal yang sifatnya remeh temeh?

Lewat seorang Nadiem, kini publik bisa berharap. Akan ada perubahan yang signifikan dalam dunia pendidikan yang kini dinahkodainya. Dan ini jadi selaras saat pembangunan SDM yang tengah didengung-dengungkan kini jadi tumpuan pemerintah Jokowi di periode keduanya.

Apa salah? Tentu tidak. Namun yang namanya harapan kadang harus disesuaikan dengan realitasnya.

Pertanyaannya sederhana: apa Kemendikbud punya wewenang dalam mengatur para guru?

Disini saja, sudah timbul masalah. Yang punya kewenangan dalam mengatur para guru justru ada di Kemenag dan Dinas Pendidikan milik Pemda. Bukan Kemendikbud. Kemenag mengatur para guru madrasah, sementara Disdik Pemda mengatur para guru di sekolah umum dan vokasi.

Walhasil, jika Kemendikbud mengeluarkan suatu kebijakan, sah-sah saja kalo dibatalin oleh Disdik Pemda secara sepihak. Karena apa? Kemendikbud nggak punya wewenang dalam mengatur guru.

Sebaliknya, perintah Disdik adalah titah Baginda bagi para guru.

Ibarat kata, antara kepala dan badannya nggak menyatu alias terpisah. Yang satu kemana, yang lain kemana.

Inilah yang kemudian menyebabkan nasib guru jadi tragis. Pertama jadi sapi perah para pejabat Disdik di tiap pemerintah daerah. Dan kedua, nasibnya disamain dengan petugas kelurahan.

Dikit-dikit yang dicecar apalagi selain hal yang berbau adminsitrasi. Ngajar, administrasi. Buat kegiatan, administrasi. Mungkin untuk sekedar makan di warteg juga bakal ditagih administrasinya. Sehingga lupa kodrat sejatinya sebagai seorang guru bukan petugas Kelurahan.

“Belum lagi kalo akhir tahun kek gini bang. Para guru bakal diarahin buat acara yang tujuannya sekedar ngabisin anggaran. Mau nggak nurut, ‘surat cinta’ bakal meluncur,” begitu ungkap seorang narsum.

Setidaknya, kalo Nadiem mau serius benahi pendidikan, masalah ini kudu diberesin dulu. Sehingga nggak ada lagi dualisme dalam menangani persoalan kewenangan guru.

Berikutnya apa?

Beri payung kesejahteraan dan juga payung hukum bagi para guru dalam menjalankan tugasnya mendidik dan mengajar.

Anggapan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa sebenarnya konsep jadul yang sudah nggak relevan lagi. Ungkapan inilah yang kemudian menjadi pembenaran bahwa dibayar berapa-pun, seorang guru harus ikhlas. Jadi naif. Seakan guru nggak butuh uang untuk hidup.

Uang memang bukan segala-galanya. Tapi kan segala-galanya butuh uang.

Singkatnya, pikirkanlah kesejahteraan para guru, terutama guru-guru yang ada di daerah pelosok yang minim fasilitas tapi kaya dedikasi. Jaman sudah milennium, kok jadi Oemar Bakri mlulu.

Tentang payung hukum juga nggak kalah penting.

Kebayang nggak, sudah capek-capek mengajar siswa biar bisa tokcer otaknya, bukan ucapan terima kasih yang didapat para guru malahan makian, hujatan, aksi bullying dan juga tuntutan di meja hijau dari para peserta didiknya gegara nilainya dikasih merah.

Dan ini bukan satu dua kasus, melainkan seabreg kasus yang menimpa para pahlawan pendidikan tersebut. Nggak berlebihan kalo payung hukum juga wajib dimiliki oleh para pendidik, bukan hanya monopoli peserta didik.

Kalo hal-hal tersebut bisa diatasi oleh seorang Nadiem, baru kita bisa berharap lebih tentang nasib pendidikan ke depannya bagi bangsa ber-flower ini.

Guru itu adalah faktor penentu pembangunan suatu bangsa. Apa yang diminta oleh seorang Kaisar Hirohito saat ditanya tentang strateginya membangun negara Jepang kembali setelah sukses di bom atom oleh sekutu?

“Beri aku guru!” pintanya. Dan permintaan itu tak berlebihan. Kita tahu gimana nasib Jepang kini.

Anyway, selamat Hari Guru. Tanpamu apa jadinya aku..

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!