Antara Minneapolis dan Palestina


525

Antara Minneapolis dan Palestina

Oleh: Ndaru Anugerah

Saat itu, ada seorang Afro-Amerika bernama George Floyd ditangkap polisi kulit putih Minneapolis bernama Derek Chauvin beserta 3 orang rekan polisi lainnya, gegara mencoba menggunakan uang palsu pecahan USD 20 untuk beli rokok di sebuah toko. (https://www.usatoday.com/story/news/nation/2020/06/03/what-we-know-fake-currency-and-george-floyds-death-minneapolis-counterfeit-police/3137162001/)

Selanjutnya George Floyd meregang nyawa karena nggak bisa nafas akibat taktik Knee On Neck yang diterapkan officer Chauvin pada dirinya.

Tak pelak, ini memicu kekacauan (chaos), penjarahan dan kekerasan sipil yang dapat dijadikan PEMBENARAN bagi negara untuk menerapkan skenario darurat militer di seantero Amrik.

Kasus Floyd hanyalah pematik, mirip kasus Trisakti di 1998 yang diperlukan untuk memicu ekskalasi yang lebih besar lagi demi sebuah RENCANA BESAR. Itu yang saya ulas pada analisa saya yang lalu. (baca disini)

“Teknik Knee On Neck yang dipakai pada George Floyd adalah teknik lama yang digunakan oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dan Shin Bet selama beberapa dekade untuk menindas rakyat Palestina.” (https://www.middleeastmonitor.com/20200528-it-is-time-for-the-us-to-end-its-deadly-exchange-programmes-with-israel/)

“Ribuan penegak hukum di AS telah berlatig di Israel dengan polisi Israel dan Shin Bet sebagai trainer-nya sejak 2002 silam. Padahal teknik penangan yang telah diterapkan tersebut telah melanggar hak-hak sipil, menerapkan rasisme selain bersifat mematikan,” demikian laporan yang dikeluarkan Jewish Voice for Peace (2018). (https://jewishvoiceforpeace.org/deadlyexchangereport/)

Jelas mematikan, dan George Floyd adalah contoh yang paling gamblang.

Selain itu, artikel tersebut juga menyoroti protokol penggunaan ‘skunk’ dalam penanganan aksi unjuk rasa. Skunk adalah cairan yang biasa disemprotkan kepada demonstran dengan tekanan tinggi, yang dapat memicu reaksi mual-mual selama berhari-hari.

Skunk pertama kali dikembangkan oleh polisi Israel dan diproduksi oleh perusahaan Israel Odortec. Di Amrik, Skunk didistribusi ke kepolisian seantero AS oleh perusahaan Mistral Security.

Skunk pertama kali digunakan di AS pada para pengunjuk rasa di Ferguson, Missouri di tahun 2014. (https://www.nytimes.com/interactive/2014/08/13/us/ferguson-missouri-town-under-siege-after-police-shooting.html)

Menanggapi program kerjasama tersebut, Researching the American-Israeli Alliance dan Jewish Voice for Peace mengeluarkan laporan bersama yang berjudul Deadly Exchange, yang intinya terdapat konsekuensi BERBAHAYA dari program pelatihan para aparat penegak hukum AS di Israel. (https://deadlyexchange.org/deadly-exchange-research-report/)

Masa iya penanganan krimimalitas menggunakan metode kontra terorisme ala Israel?

“Program tersebut mengharuskan metode penyempurnaan berdasarkan profil (diferensiasi) ras secara sistematis, layaknya sistem apartheid,” tambah laporan tadi.

Jangan heran kalo kasus rasial yang menimpa Floyd bisa terjadi, karena memang ada cetak birunya.

Sehingga taktik yang biasa dipakai di Israel terhadap rakyat Palestina, mendapatkan legitimasi untuk diterapkan pada seluruh warga AS oleh petugas keamanan.

Tentu saja ini memicu pelanggaran HAM dan hak sipil yang (-katanya) sangat dijunjung tinggi eksistensinya di Amrik sana.

Ini jelas nggak mengada-ada, karena Amnesti Internasional menerbitkan laporan pelanggaran HAM di Baltimore, AS pada Agustus 2016 silam.

“Tetapi (disini) yang belum mendapat perhatian adalah darimana kepolisian Baltimore mendapatkan pelatihan pengendalian massa, penggunaan kekuatan dan pengawasan.” (https://gvwire.com/2020/06/01/with-whom-are-many-us-police-departments-training-with-a-chronic-human-rights-violator-israel/)

Ya darimana lagi? Masa dari Garut, sih?

Lalu, darimana pendanaan berasal dalam menjalankan program ini?

Ada yang dibiayai negara, ada juga yang keluar dari kocek sendiri dan ada juga yang berasal dari tiga lembaga yang berafiliasi ke gerakan zionis (the Anti-Defamation League, the American Jewish Committee’s Project Interchange and the Jewish Institute for National Security Affairs). (https://thecrimereport.org/2014/09/19/2014-09-hundreds-of-us-police-officials-have-trained-in-isra/)

Singkatnya, pembunuhan biadab yang menyasar George Floyd bukan terjadi secara kebetulan karena memang sudah ada blueprint-nya. Teknik yang sama yang digunakan oleh negara Israel dalam menindas rakyat Palestina selama bertahun-tahun.

Kenapa diterapkan pada warga kulit hitam? Ya untuk memancing reaksi amuk massa yang ‘di-skenariokan’ ada perlakukan diskriminasi terhadap warga minoritas AS. “Bayangkan jika kasus itu menimpa warga kulit putih, apa laku dijual di media mainstream untuk ngomporin massa?”

Sampai sini clear ya?

Lantas bagaimana dengan operator lapang-nya?

Tentang Occupy Wall Street, nggak usah saya ulas lah ya. Kan udah, kemarin.

Black Lives Matter secara khusus telah mendapatkan suntikan dana jumbo dari beberapa elite global, antara lain Ford Foundation, Borealis Philanthropy (sekitar USD 100 juta) selain tambahan dari George Soros melalui Open Society Foundation-nya (sekitar USD 33 juta), dan juga hibah dari Center for American Progress yang dipimpin oleh John Pondesta Jr selaku staf Gedung Putih di era Obama). (https://www.washingtontimes.com/news/2016/aug/16/black-lives-matter-cashes-100-million-liberal-foun/)

Dan semua aksi (yang berujung rusuh) ini akan mengarah pada pemberlakuan darurat militer yang membuka jalan bagi vaksinasi wajib di AS. Percayalah.

Nggak ada yang kebetulan dalam politik. Karena kalo-pun kebetulan, percayalah bahwa itu sebenarnya juga sudah diatur. Termasuk kasus rusuh di Minnesota.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 


One Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Bang cb bhs yg bossman mardigu koar2in di youtube sendiri sm youtube om deddy corbu apa valit spt itu?

error: Content is protected !!