Upaya Pecah Kongsi


511

“Pada akhir ulasan abang yang lalu, kesuksesan aksi 28 Juni nanti bergantung pada soliditas TNI-POLRI. Apa maksudnya, bang?” tanya seorang melalui kanal Telegram. Ditengah kesibukkan saya dalam mengerjakan tugas-tugas klien, saya akan coba menjawab pertanyaan tersebut.

Pertanyaan mendasar, apakah TNI-POLRI solid?

Dalam beberapa kali ulasan, saya kerap mengulang bahwa hubungan TNI-POLRI sekarang ini sedang dalam kondisi yang paling harmonis. Boleh dibilang mereka sedang bulan madu. Tapi yang namanya hubungan, toh nggak selamanya langgeng.

Bukan tak mungkin hubungan itu dirusak oleh oknum-oknum tertentu. Coba bayangkan, anda bersama pasangan sedang mesra-mesranya, tiba-tiba ada orang ketiga yang mengusik kebahagiaan hubungan anda berdua. Apa nggak mungkin hubungan anda akan karam?

Itu baru hubungan yang sifatnya umum. Bagaimana jika hubungan yang memasuki ranah politik? Intrik pasti akan kencang karena memang ada ‘permainan intelijen’ didalamnya. Dan saya menganalisa, ada kemungkinan ke arah sana.

Maksudnya?

Merujuk pada laporan TEMPO, bahwa Soenarko sengaja memesan senapan dari Aceh. Prosesnya sangat rumit, khas intelijen. Tujuannya apa? Agar tidak mudah terdeteksi oleh publik apalagi BIN. Namun sayangnya, intelijen negara jauh lebih canggih, sehingga mampu mengendus upaya penyeludupan senjata tersebut.

Satu yang pasti, bahwa ada keterlibatan aparat aktif berpangkat sersan mayor disana (ZN), saat penggerebekkan terjadi. Nggak heran kalo Markas Besar TNI enggan mengomentari dugaan keterlibatan sejumlah prajuritnya dalam pengiriman senjata untuk Soenarko.

“Saya tak mau memberikan informasi yang dapat mempengaruhi proses hukum,” ujar Kapuspen TNI Mayjen Sisriadi.

Pernyataan tersebut mengimplikasi bahwa benar ada ‘keterlibatan’ anggota TNI karenanya pihak Mabes enggan memberikan klarifikasi yang dapat mempengaruhi proses hukum. Apa yang terjadi bila aparat TNI diperiksa oleh pihak kepolisian? Apakah pihak polri leluasa bergerak?

Bukan itu saja, kabar ditangkapnya Soenarko, konon membuat korps baret merah ‘meradang’. Maklum, selain Prabowo, Soenarko adalah sosok pimpinan yang lumayan disegani oleh para anggota Kopassus. Sehingga walaupun tidak lagi menjabat sebagai Danjen Kopassus, kharismanya tidak serta merta hilang dimata mantan anak buahnya.

Kalo korps baret merah bergolak, urusan sederhana bisa jadi kusut. Demi memastikan suasana kondusif, maka Pangdam Jaya Mayjen Eko Margiyono yang pernah menjabat sebagai Danjen Kopassus terpaksa dipanggil dalam rapat di kantor Menkopolhukam. Tujuannya untuk memastikan suasana aman. “

“Kopassus solid,” demikian laporannya. Tak puas dengan satu laporan, Danjen Kopassus Mayjen I Nyoman Cantiasa terpaksa mengeluarkan maklumat, “Tak boleh ada satu pun prajurit yang bertindak atas inisiatif pribadi, kelompok ataupun pihak di luar garis komando.”

Tak cukup sekedar komando, apel siagapun digelar pada segenap pasukan baret merah tersebut. Bahkan 5 kali dalam sehari untuk sekedar mengecek kelengkapan anggota dan senjata, tentunya. Selain itu, rencana awal untuk menerjunkan anggota Kopassus pada penanganan aksi 225, urung dilakukan.

Kalo ditarik benang merahnya, ada benih perpecahan yang bisa diperbesar ekskalasinya. Mungkin awalnya keterlibatan oknum aparat. Tapi isu bila dimanajemen oleh pihak-pihak yang sengaja menginginkan pihak TNI terpecah, bukan nggak mungkin langkah ini bisa membesar.

“Coba perhatikan, apa yang kerap digaungkan oleh para perusuh di media sosial? TNI sahabat rakyat, POLRI musuh rakyat. Artinya memang ada skenario pecah kongsi antara TNI dan Polri. Selain itu, penangkapan mantan Jenderal oleh kepolisian, mengkatalis proses ini,” demikian uangkap sebuah narsum.

Memang serba salah bagi kepolisian jika harus ‘mengandangkan’ mantan perwira TNI. Walaupun tidak lagi menyandang status aktif, tapi ujung-ujungnya selalu ada provokasi dari pihak-pihak tertentu yang menyatakan bahwa kepolisian telah bertindak kurang ajar terhadap TNI. Bayangkan jika provokasi ini sampai pada prajurit aktif dibawahnya.

“Apakah prajurit bisa terima kalo misalnya mantan Komandannya ditangkap oleh pihak kepolisian? Dengan sedikit provokasi dari pihak-pihak tertentu, bukan nggak mungkin ketidakpuasan tersebut bisa dijadikan entry point untuk mengadakan gerakan angkat senjata,” demikian ungkap seorang pengamat militer.

Demi mengatasi upaya pecah kongsi yang dirajut oleh pihak tertentu yang sengaja mengadu domba kepolisian dan pihak TNI utamanya matra Darat, maka kewenangan penahanan dilimpahkan ke pihak Polisi Militer. Padahal seyognyanya, mantan perwira sekalipun, statusnya bukan lagi militer, melainkan sipil.

Tapi langkah ini sudah tepat, menurut saya. Meskipun aneh bin ajaib.

Pihak istana-pun menanggapi gejolak yang mungkin terjadi dilapangan, dengan mengadakan pertemuan bersama para mantan perwira dari ketiga matra pada 31 Mei yang lalu. Tujuannya: agar para mantan perwira bulat mendukung tampuk kepemimpinan nasional, selain sosialisasi soliditas TNI-Polri.

Merujuk pada langkah antisipasi yang dilakukan Jokowi, sangat sulit untuk melakukan langkah pecah kongsi ditubuh angkatan bersenjata. Dan kalo ini gagal dilakukan para kampret, maka aksi 28 Juni mendatang hanyalah aksi editansil semata. Rusuh yang tercipta bukan aksi kudeta.

Selain itu, sasus beredar bahwa pihak KC terlalu pelit dalam menggelontorkan dana. Padahal uang adalah bahan bakar utama untuk penggalangan massa. “Masa iya mo pake sniper bayarannya cuma 150 jeti. Itu sniper apa mandor bangunan?”

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!