Utak Atik Gatuk


508

Gerakan percobaan penggulingan kekuasaan Jokowi berakhir dengan anti klimaks seperti yang sudah saya prediksi sebelumnya. Penyebabnya karena kurangnya perencanaan yang matang. Walaupun menurut laporan Tempo, bahwa beberapa pemain ‘profesional’ sudah dilibatkan dalam aksinya, tapi toh tetap nggak membuahkan hasil.

Saat suatu isu dikarbit untuk dijadikan aksi, disinilah masalah bermula.

“Isu itu ibarat buah. Biarkan dia matang secara alamiah. Kalo masih mentah terus dikarbit, hasilnya akan berbeda karena tingkat kematangannya tidak alami,” demikian sebuah narsum berkata.

Dimana letak nyambungnya antara isu dan aksi? Isu yang dihembuskan pemilu curang, kok aksinya jadi menolak Jokowi sebagai pemenang capres? Bukankah ada lembaga sekelas MK yang bisa digunakan sebagai kanal urusan gugat menggugat bila ditenggarai ada kecurangan?

Belum lagi masalah ekonomi yang tidak disuarakan pada isu tersebut. Apakah harga-harga sudah melambung tinggi sehingga susu tak terbeli, misalnya? Kan nggak juga. Padahal sekarang memasuki masa lebaran, dimana harga-harga biasanya merangsek naik oleh permainan mafia pangan.

Toh Jokowi bisa mengatasi gejolak harga-harga kebutuhan pokok di pasaran dengan aman terkendali. Lantas apa yang akan diharapkan dari partisipasi rakyat untuk ikutan gerakan massa 225? Nggak ada sama sekali. “Isunya terlalu mengawang-awang alias jaka sembung bawa golok…”

Lantas, apakah gerakan ini akan terhenti?

Mengamati gerakan Prabowo yang berangkat ke Dubai (UEA) terus berlanjut ke Vienna (Austria), sungguh menarik untuk disimak. Pertanyaannya, ngapain dia dan rombongan pergi ke sana?

Kalo merujuk pada keterangan Riza Patria, kepergian Prabowo tak lain adalah untuk bertemu kolega bisnis selain masalah check-up kesehatan.

Jika anda merasa puas dan percaya 100% dengan jawaban normatif tersebut, yah ngapain juga baca analisa saya. Iya, kan?

Nah, sebelum menjawab teka-teki tersebut, ada baiknya kita tahu beberapa faktor penting. Kemana sesungguhnya gerakan liar ala Prabowo akan bermuara? Tak lain dan tak bukan adalah putusan MK yang akan digelar pada 28 Juni mendatang. Pertanyaannya, berapa kans Prabowo akan memenangkan gugatan MK?

Sangat kecil, bahkan hampir nggak ada. Penyebabnya karena faktor kurangnya bukti. Dalam kredo hukum, semua harus evidence-based. Jadi jangan pakai asumsi, link berita di internet apalagi petunjuk dukun. Bakal ditolak mentah-mentah. Dan itu yang sekarang terjadi.

Apakah kubu Prabowo tidak mengetahui kemungkinan kekalahan yang akan didapatnya?

Tahu, pakai binggits bahkan. Karenanya skema menyusun mas BW sebagai kuasa hukumnya tak lain dan tak bukan untuk membentuk opini publik bahwa ada kecurangan TSM yang dilakukan pemerintahan Jokowi, bahkan sampai ditingkat MK.

“Kalo gugatan Prabowo tidak digubris MK, artinya ada kecurangan.” begitu narasi yang dikembangkan. Kesimpulannya: menang atau perang.

Diharapkan, ketidakpuasan ‘publik’ bisa digelembungkan menjadi kekuatan massa alias people power. Pola gerakan 225 kembali dimainkan, cuma dalam skenario yang lebih rapih. Untuk itulah Om Wowo perlu terbang ke Vienna. Apa tujuannya?

Pertama untuk mengamankan aset Cendana yang tersimpan disana. Dengan adanya rencana MLA yang digelar pihak Jokowi dalam waktu dekat, bukan tidak mungkin uang yang sudah ditumpuk selama berpuluh-puluh tahun selama Soeharto berkuasa, akan bisa kembali ke bumi pertiwi. Contoh sukses MLA di Filipina dan Zaire adalah rujukannya.

Untuk itu, lobi-lobi dengan pihak bank yang ada di Swiss dan Austria, mutlak diperlukan. Minimal, uang gagal ditarik pulang. Yah, kalopun terjadi, ya mbok disisain dikit…Jadi nggak rugi-rugi amat.

Yang kedua, tentu kepergian ke Austria adalah untuk mengamankan aset Cendana yang ada di perusahaan-perusahaan raksasa yang ada di Swiss. Tentu saja yang berafiliasi dengan klan Rothschild. Saya pernah bahas tentang hal ini pada ulasan saya sebelumnya.

Apa yang harus dilakukan agar aset-aset Cendana pada giant corporate tersebut bisa ‘aman’ dan tidak dibekukan? Sebab kalo langkah ambil alih saham oleh pemerintah Indonesia terjadi, maka kondisi kolaps pada perusahaan-perusahaan tersebut terbuka lebar akibat skandal ini. Dan ini tidak boleh terjadi.

Dan yang terakhir, sekali lagi rombongan Kertanegara tersebut merampungkan langkah politik yang akan diambil saat penetapan hasil gugatan oleh MK pada 28 Juni mendatang, bersama dengan konsultan politik mereka NED, tentunya.

Di sisi ini, kondisi Om Wowo cukup diuntungkan, karena ramadhan effect tidak terjadi lagi di 28 Juni nanti. Aliasnya, gerakan mereka akan bisa lebih liar lagi dari aksi 225. Tinggal ‘amunisi’ yang harus dipersiapkan dengan matang untuk mendanai aksi tersebut, ditambah peran media mainstream.

Apa maksudnya peran media mainstream?

Pada setiap konflik berskala besar, maka peran media mainstream sebagai public relation, mutlak diperlukan. Coba lihat, apakah perang di Suriah bisa membesar tanpa adanya keterlibatan media sekelas Al-Jazeera, CNN, Guardian dll sebagai PR-nya?

Untuk di Indonesia, Al Jazeera (26/5) sudah memulainya dengan mengulas aksi 225 dan mem-framing polisi yang dinilai telah bertindak brutal dalam penanganan aksi tersebut. Bukan itu saja, mereka mendesak untuk dilibatkannya pihak Amnesti Internasional untuk menyelidiki masalah tersebut.

Akankah, aksi 28 Juni menuai hasil sesuai dengan rencana?

Disinilah soliditas TNI dan Polri kembali diuji. Sebab upaya kudeta akan percuma tanpa ada keberpihakkan pihak pemegang bedil. Jangan heran kalo para kampret intens menyuarakan
“TNI adalah teman rakyat dan Polri adalah musuh rakyat.” Yah, demi alasan itu.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!