Swedia Sudah Kasih Jawabannya


522

Swedia Sudah Kasih Jawabannya

Oleh: Ndaru Anugerah

Tiba-tiba angka kematian langsung menukik tajam, menjadi tidak lebih dari 2 kematian per hari selama minggu terakhir. Dan semua mata dunia mulai melihat ke negara tersebut.

Ini bukan cuplikan adegan film. Ini nyata, dan terjadi di Swedia sana. Dengan angka kematian sekitar 0-2 orang per hari (pada minggu-minggu terakhir ini), Swedia jelas bikin heboh dunia. (https://www.businessinsider.com/sweden-coronavirus-cases-deaths-fall-not-mean-lockdown-plan-worked-2020-7)

Saat mula-mula menolak untuk menerapkan lockdown di negaranya (sesuai arahan WHO), Swedia langsung dikecam publik internasional. Narasi mulai dimainkan untuk membunuh karakter Swedia sebagai sebuah bangsa.

Jangankan Swedia. Saya aja yang kasih analisa tentang negara tersebut, banyak dapat ‘sambutan meriah’ dari netizen di negeri berflower. “Pakai otak. Lu pikir Swedia bakal berhasil tanpa lockdown?” begitu kurleb sambutan yang saya dapatkan.

Tentang kasus Kopit di Swedia, sudah banyak saya ulas. Bahkan saya sudah kasih masukkan ke pak presiden untuk meniru pola di Swedia. (baca disini, disini, disini dan disini)

Apa alasan saya memberikan saran tersebut ke presiden? Karena orang Indonesia itu lebih kebal tertular penyakit dari orang Swedia. Saya pernah punya teman bule orang Finlandia. Saat bermain di Indonesia, dia memaksa saya untuk bisa menyantap makanan yang ada di pinggir jalan. Lalu saya ajak dia makan pecel lele.

Besoknya, dia berki-berki dan terpaksa di opname karena lemas setelah buang-buang air.

Kok saya nggak? Mengapa kita bisa sedemikian kebalnya?

Karena saban hari, kita biasa ‘diracun’. Gak percaya? Makan gorengan yang pake minyak jelantah berwarna hitam, dipinggir jalan pulak, plus lalat yang nempel sana-sini. Toh so far kita baik-baik saja. Ya minimal nggak di opname kek bule Finlandia tadi.

Coba kalo misalnya orang Jepang suruh makan gorengan tersebut, apa nggak langsung masuk UGD?

Swedia saja bisa ambil kebijakan anti-lockdown secara murni, kenapa kita nggak tiru?

Lalu, kenapa Swedia begitu banyak dikecam?

Pertama karena model Swedia jelas menentang rencana elite global yang menyatakan bahwa lockdown merupakan cara efektif dalam penanggulangan C19. Dan kedua, Swedia justru memberikan solusi alternatif untuk menentang lockdown, dengan menjalankan aktivitas normal seperti biasanya. Istilahnya: hidup berdamai dengan Corona.

Semua dibuka, tanpa ada yang ditutup, termasuk restauran, bioskop hingga gedung sekolah dan perkantoran. Dan ini bukan tanpa perencanaan yang matang. Para ahli kesehatan di Swedia, justru menjalankan strategi yang realistis, berkelanjutan dan berbasis sains.

Mereka sadar bahwa virus jangan pernah dilawan. Sebaliknya yang berusia muda sengaja dibuat tertular virus, dan yang tua dan rentan dibiarkan untuk tetap tinggal di rumah. Dan seiring berjalannnya waktu, si Kopit kehabisan orang untuk diinfeksi karena kaum mudanya sudah mengembangkan antibodi bagi si virus.

Saat itulah HIT (Herd Immunity Threshold) alias ambang batas kekebalan kawanan, bisa tercapai. Itu ilmiah. Itu ada ilmunya. Jadi bukan kata mbah dukun.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Toronto dan Universitas Texas terhadap kasus-kasus C19 di 50 negara, menyatakan bahwa lockdown hanya membuat sedikit perbedaan pada jumlah orang yang mati karena virus Corona.

Apakah suatu negara di lockdown atau tidak, nggak ada kaitannya dengan jumlah kematian yang diderita akibat C19,” begitu kurlebnya. (https://www.standard.co.uk/news/uk/lockdown-deaths-difference-coronavirus-study-a4507216.html)

Paling banter, elite global dan antek-anteknya cuma bisa ngomong, bahwa angka kematian di Swedia jauh lebih tinggi daripada tetangganya di Norwegia dan Denmark. Tapi mereka lupa, bahwa Swedia memiliki angka kematian yang lebih rendah dari Belgia, Italia, Perancis, Inggris dan Spanyol.

Yang tepat Swedia bukan berada di posisi tertinggi, tapi di tengah-tengah. Kalo mau bandingkan, coba dengan negara bagian yang ada di AS (dengan penduduk yang kurleb sama banyaknya), tapi pakai lockdown.

Swedia yang punya penduduk sekitar 10,2 juta orang. Angka kematiannya 5700. (https://www.worldometers.info/coronavirus/country/sweden/)

Sementara New York yang berpenduduk 8,3 juta jiwa, angka kematiannya 32.708 alias 5 kali lebih banyak dari Swedia. (https://www.worldometers.info/coronavirus/usa/new-york/)

Massachusetts yang berpenduduk 6,9 juta jiwa (3 juta lebih sedikit dari Swedia), angka kematiannya justru mencapai 8.536 alias lebih banyak dari Swedia. (https://www.worldometers.info/coronavirus/usa/massachusetts/)

Bukan itu saja. Sebuah laporan dari Capital Economics menyatakan, “Ekonomi di Swedia adalah yang paling tidak dirugikan di seantero Eropa.” Dan ini dibutikan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang positif pada kuartal pertama, bahkan satu-satunya di Eropa. (https://www.businessinsider.com/sweden-coronavirus-economy-relaxed-lockdown-stronger-rest-of-europe-2020-7)

Jadi klaim Jacob F. Kirkegaard dari Institut Peterson untuk Ekonomi Internasional di Washington, yang menyatakan bahwa Swedia tidak memiliki keuntungan ekonomi sama sekali akibat menolak lockdown, jelas lebay. (https://www.nytimes.com/2020/07/07/business/sweden-economy-coronavirus.html)

Kalo mau dicela karena kegagalannya, ya jangan Swedia yang jadi sasaran, tapi negara-negara bagian di AS sana yang hingga saat ini masih bergulat dengan lockdown yang terus diperpanjang. Udah gitu, ekonominya juga terjun bebas nggak jelas rimbanya. (https://www.cnbc.com/2020/06/25/us-gdp-q1-2020-final-reading.html)

Mau tahu yang jadi bagian terbaiknya?

Pakar penyakit menular asal Swedia, Dr. Johan Giesecke memperingatkan para pemimpin di negara-negara yang menerapkan lockdown atau karantina, “Begitu karantina atau lockdown dicabut, maka kasus infeksi dan kematian langsung akan meningkat tajam.” (https://www.dailymail.co.uk/news/article-8300631/Swedish-Covid-19-expert-says-lockdown-merely-delaying-inevitable.html)

Kelar deh hidup lu.

Disisi yang lain, Dr. Anders Tegnell selaku arsitek anti-lockdown di Swedia menyatakan, “Penurunan yang cepat dalam penyebaran virus, menunjukkan satu hal. Bahwa kami telah mencapai tingkat kekebalan kawanan (herd immunity).”

Dr. Tegnell cuma mau bilang, bahwa kebijakan yang telah mereka ambil, terbukti benar. (https://www.reuters.com/article/us-health-coronavirus-sweden-strategy/swedish-epidemiology-boss-says-questioned-covid-19-strategy-seems-to-be-working-idUSKCN24M25L)

Apakah masih ada risiko untuk orang Swedia terinfeksi ulang dan menularkan penyakit kepada orang lain? Dr. Tegnell bilang, “Kemungkinan itu bisa dikatakan nol, karena level HIT yang kami telah capai.”

Jadi analisa saya kembali terbukti benar. Meskipun banyak sambutan meriah diawal cerita. Masih mau ngeyel sama analisa saya?

Kebayang kalo dulu Swedia ikutin apa kata media mainstream atau WHO, apa nggak hancur mina saat ini?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!