Swedia Punya Jawabannya (*Bagian 2)


528

Swedia Punya Jawabannya (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian 1, saya sudah bahas tentang kajian historis yang merupakan dasar pijakan pemerintah Swedia untuk tidak menerapkan kebijakan lockdown yang justru SANGAT DIANJURKAN OLEH WHO. (baca disini)

Akibatnya, para proxy elite global dikerahkan guna mendelegitimasi kebijakan tersebut, lewat media mainstream tentunya.

Jadi Swedia dikritik habis-habisan oleh media mainstream gegara mereka menolak untuk mengadopsi kebijakan yang diusung oleh elite global, yang secara psikologis membuat orang takut dan bersikap pasrah atas apa yang menimpa mereka saat ini.

Bukan itu saja. Kebijakan ala Swedia merupakan ancaman skenario yang tengah dimainkan oleh elite global.

Bayangkan kalo Swedia berhasil mengembangkan kekebalan kawanan (herd immunity) yang bersifat alami serta tidak mengorbankan kehidupan ekonomi mereka. Apa langkah tersebut nggak akan dicopas oleh negara-negara lainnya? Dan ini nggak boleh terjadi.

Satu yang paling banyak diserang adalah menyoal banyaknya angka kematian akibat si Kopit di negara tersebut, yang faktanya banyak menyerang manula berusia diatas 70 tahun. “Kebijakan ala Swedia akan membuat angka kematian bertambah lebih banyak lagi,” demikian kurleb isi makiannya.

Bahwa Swedia gagal melindungi kaum manula, itu benar adanya. Tapi nggak serta merta kita bisa katakan bahwa kebijakan ala Swedia gagal total. Kenapa?

Pertama Swedia telah mengevaluasi kesalahan implementasi kebijakan yang menyasar pada kematian kaum manula. Wilayah Malmo (di Swedia) adalah contoh keberhasilannya, dimana sedikit kematian pada manula terjadi di sana dengan cara memproteksi kaum berusia uzur tersebut. (14/6). (https://www.telegraph.co.uk/news/2020/06/14/inside-swedish-city-may-prove-countrys-strategy-right-along/)

Kebijakan yang sukses tersebut, amat mudah untuk diterapkan pada daerah lain, bukan?

Kedua, karena Swedia tengah mengembangkan KEBIJAKAN BERKELANJUTAN (sustainable policy) yang bercirikan ekonomi terus berjalan, suasana tetap normal serta mengekspos kaum mudanya yang berisiko rendah terhadap infeksi Kopit untuk terus beraktivitas.

Tujuan akhir dari kebijakan berkelanjutan tersebut nggak lain adalah mendekatkan populasi pada fase yang disebut KEKEBALAN KAWANAN (herd immunity), dimana mayoritas populasi telah mengembangkan antibodi secara alami guna menangkis infeksi si Kopit di masa depan.

Dan ini sudah jelas NGGAK MEMERLUKAN VAKSIN yang bakal dijual oleh elite global.

“Kami mengerti bahwa satu-satunya cara untuk mengalahkan pandemi C19 adalah dengan membuat populasi Swedia mencapai ambang batas kekebalan kawanan (herd immunity threshold),” begitu ungkap Menkes Swedia. (https://www.thestreet.com/mishtalk/economics/swedens-covid-experiment-is-now-a-certified-failure)

Pada tataran konsep, Herd Immunity Threshold (HIT) merupakan kondisi dimana suatu komunitas mulai secara otomatis mengembangkan sistem kekebalan yang digunakan dalam melawan pandemi yang sedang berkembang.

Pada awal-awal disaat Swedia menolak lockdown, banyak orang berspekulasi bahwa HIT akan tercapai saat sekitar 70% populasi telah mengalami infeksi. Beberapa berspekulasi diangka 60%.

Pada prinsipnya, makin rendah nilai HIT-nya, maka makin TIDAK MENULAR si Kopit tersebut.

Lantas, berapa estimasi HIT yang sesungguhnya?

Para ilmuwan dari Oxford, Virginia Tech dan Liverpool School of Tropical Medicine baru-baru ini menjelaskan konsep HIT pada C19. “Kekebalan alami yang diperoleh pada SARS-CoV-2 setidaknya 10-20% dari individu yang kebal,” begitu kurlebnya. (https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.04.27.20081893v3)

Bahkan seorang anggota paling vocal dari komunitas ilmiah yang kerap menyuarakan HIT C19 adalah pemenang Nobel asal Universitas Stanford – Dr. Michael Levitt (4/5). “Saya menganjurkan untuk menerapkan pendekatan ala Swedia, sehingga C19 bisa menyebar secara alami ke semua komunitas hingga terbentuknya HIT.”

Lalu, kapan HIT itu akan tercapai?

“Bila angka kematian di Swedia telah mencapai 5000 hingga 6000 orang yang berarti negara tersebut telah mencapai HIT dan kebijakan penguncian apapun tidak lagi dibutuhkan saat itu,” tambah Dr. Levitt. (https://www.stanforddaily.com/2020/05/04/qa-nobel-laureate-says-covid-19-curve-could-be-naturally-self-flattening/)

Dr. Levitt bukanlah pakar kaleng-kaleng. Kalo dia sudah sebut angka tertentu, pasti ada perhitungannya alias nggak asal njeplak.

Sampai saat ini, 10 minggu setelah prediksi Dr. Levitt tersebut, angka kematian di Swedia telah mencapai 5575 orang. (https://www.worldometers.info/coronavirus/country/sweden/)

Artinya apa?

Swedia telah mendekati endgame dari permainan berjudul C19 tersebut.

Bukan itu saja. Swedia juga berhasil mempertahankan martabat dan kebebasan mereka dengan tetap beraktivitas normal, sementara di seluruh dunia lebih memilih bersembunyi di dalam rumah selama berbulan-bulan alias manut-manut saja sama anjuran WHO. (https://off-guardian.org/2020/07/07/second-wave-not-even-close/)

Kalo begitu, asumsi orang yang mengatakan bahwa HIT ada dikisaran 70%, bukan saja nggak mendasar tapi juga mempunyai pretensi untuk MENAKUT-NAKUTI ORANG. Lebay.com! Kenapa? Karena kekebalan lebih dahulu terbentuk SEBELUM orang sempat terinfeksi virus.

Coba buka lagi ingatan kita pada pandemi mematikan yang bernama Flu Spanyol (Spanish Influenza).

Ada berapa orang yang mati? Kan hanya sekitar 3%. Sementara rasio kematian pada orang yang terinfeksi hanya 10-20%. Dan yang terpenting, apa yang menyebabkan pandemi tersebut berlalu? (baca disini)

Pertinyiinnyi: apa iya si Kopit lebih mematikan daripada flu Spanyol tersebut?

Yang bokir…

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!