Rencana Bukaan Sekolah dan Skenario Memperpanjang Masa Karantina
Oleh: Ndaru Anugerah
Ceritanya si Trump berencana membuka sekolah di AS sana. Bukan itu saja. Trump juga mengancam akan menggunakan kekuatan pemerintah federal untuk memaksa pembukaan sekolah kembali. (https://www.politico.com/news/2020/07/10/trump-schools-backlash-coronavirus-356721)
Rencana Trump tersebut langsung mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan. Salah satunya adalah kolumnis senior dari Washington Post – Jonathan Capehart, yang muncul pada PBS News Hour.
Saat ditanya pendapatnya tentang rencana Trump untuk membuka sekolah kembali, Capehart bilang, “Gagasan untuk membuka sekolah dan memaksa sekolah untuk kembali dibuka, sementara belum ada vaksin untuk meredam pandemi, menurut saya itu tidak bijak.”
Caperhart menambahkan, “Saya mengerti bahwa para orang tua khawatir tentang pendidikan anak-anak mereka. Tapi mengirim anak-anak ke sekolah ditengah pandemi tanpa strategi nasional, saya pikir mengkhawatirkan.” (https://www.pbs.org/newshour/show/david-brooks-and-jonathan-capehart-on-trumps-school-pressure-bidens-economic-plan)
Dan banyak klaim serupa, seperti yang dikemukakan Capehart, yang intinya menolak pembukaan sekolah kembali di negara tersebut.
Padahal itu nggak ada dasar pijakannya. Penelitian di Islandia, setidaknya membantah asumsi yang dikemukakan Capehart tentang rencana pembukaan sekolah.
Menurut penelitian tersebut, bukan saja anak-anak cenderung kebal terhadap infeksi virus, tapi terlebih lagi, anak-anak bukanlah carrier kepada orang yang lebih tua. (https://www.nationalreview.com/corner/icelandic-study-we-have-not-found-a-single-instance-of-a-child-infecting-parents/)
Dengan kata lain, pernyataan Capehart merupakan skenario media mainstream untuk menyebarkan disinformasi dan ketakutan bahwa rencana pembukaan sekolah dapat menimbulkan ancaman bagi keselamatan anak-anak.
Itu sama sekali nggak didasarkan pada fakta atau sains, tetapi niatan politis. Apa tujuannya? Untuk memperpanjang skenario lockdown, meningkatkan kecemasan publik dan ujungnya adalah merusak prospek pemilihan kembali Trump pada pemilu di November 2020 nanti.
Nggak percaya? Saya kasih buktinya.
Washington Post sendiri, mereka sempat menerbitkan laporan tentang pembukaan sekolah kembali di Eropa dan Asia, walaupun mereka juga cemas terhadap wabah Corona. (https://www.washingtonpost.com/world/europe/schools-reopening-coronavirus/2020/07/10/865fb3e6-c122-11ea-8908-68a2b9eae9e0_story.html)
“Para pejabat kesehatan masyarakat dan para peneliti mengatakan bahwa di kalangan mahasiswa (pelajar) tidak banyak terjadi penularan C19 atau lonjakan yang signifikan sebagai akibat pembukaan tempat persekolahan,” ungkap Washington Post.
Washington Post juga menyebutkan bahwa di Finlandia saja, para peneliti menemukan bahkan anak-anak yang berusia di bawah 16 tahun bukanlah faktor penyebar infeksi virus di sekolah. Faktanya, infeksi virus yang terjadi pada anak-anak usia sekolah di Finlandia, bisa dikatakan nggak signifikan.
Otto Helve selaku pejabat di Institut Kesehatan dan Kesejahteraan Finlandia mengatakan, “Kami menemukan fakta bahwa risiko penularan dan jumlah wabah yang menyasar anak, sangat rendah. Dan ini tampaknya berlaku dimana-mana.”
Bahkan, Camilla Stoltenberg selaku Dirjen Institut Kesehatan Masyarakat Norwegia mengamini pernyataan Helve. “Bukti ilmiah untuk menutup sekolah sangan lemah,” ungkapnya.
“Saat ini kami melihat, bahwa setelah sekolah kembali dibuka, kami tidak mendapati tambahan kasus baru,” ungkap Stoltenberg.
Dengan kata lain, rencana pembelajaran online dengan menutup sekolah, merupakan kebijakan yang salah alamat dan anak-anak akan bayar mahal atas kebijakan tersebut di masa mendatang. Kenapa? Karena mereka nggak mendapatkan apa-apa lewat pembelajaran online tersebut.
Wajar kalo Trump nge-tweet, “Joe Biden dan Dems tidak mau membuka sekolah di musim gugur karena alasan politik dan bukan karena alasan kesehatan. Mereka pikir itu akan membantu mereka pada pemilu di November mendatang. Salah, karena orang-orang sudah tahu skenario mereka.” (https://www.dailymail.co.uk/news/article-8495951/Trump-demands-SCHOOLS-OPEN-FALL.html)
Bahkan sekelas Dr. Anthony Fauci (yang walaupun dengan malu-malu) mengakui (30/6), “Saya rasa kita perlu melakukan apapun untuk mengembalikan anak-anak ke sekolah. Saya pikir kita sepakat sepenuhnya tentang hal tersebut.” (https://www.courier-journal.com/story/news/politics/2020/06/30/rand-paul-and-fauci-senator-attacks-coronavirus-expert-again/5350309002/)
Ini sangat wajar, mengingat pembelajaran di rumah (home learning) memang bukan pengganti pendidikan langsung tetapi justru menghasilkan perasaan depresi, kecemasan dan keterasingan dalam diri anak, yang harusnya bersosialisasi di sekolah bersama temannya.
Dr. Nick Coatsworth selaku Wakil Kepala Pejabat Medis Australia menyatakan, “C19 bukanlah flu. Jauh lebih sedikit anak-anak yang terkena C19, dan jumlah penularan dari anak-anak ke teman sebayanya, atau anak-anak ke orang dewasa, jauh lebih sedikit.”
Dr. Coatsworth menambahkan, “Sebagai pakar penyakit menular, saya telah memeriksa semua bukti yang ada di Australia dan di dunia, bahwa pembelajaran di kelas tidak berkaitan dengan upaya pengendalian C19. Justru pengajaran tatap muka aman untuk dilakukan.” (https://www.health.gov.au/news/getting-our-kids-back-to-school-a-matter-of-trust)
Dan Robert Redfield selaku Direktur CDC menyatakan, “CDC mendorong semua sekolah untuk melakukan upaya pembukaan kembali. Dan panduan yang kami keluarkan bisa dijadikan rujukan untuk sekolah manapun untuk melakukan re-opening.” (https://www.politico.com/news/2020/07/07/white-house-cdc-pediatricians-reopening-schools-350655)
Dengan banyaknya pendapat yang dikeluarkan para ahli kesehatan dunia yang justru menyarankan untuk pembukaan sekolah kembali, kenapa kok pemerintah AS memperpanjang upaya karantina?
Ya karena, ini memang bukan bicara soal kesehatan tetapi bicara soal politik. Tujuannya jelas, karantina diperpanjang sampai vaksin plus dari Big Pharma siap untuk dijual. Dan kedua mendegrasi kepemimpinan Trump pada pemilu mendatang.
Dan sebagai analis, saya pikir ini tidak hanya berlaku di AS sana, tapi juga di seluruh dunia, dan anak-anaklah yang jadi korban dalam hal ini. Hak-hak mereka untuk bisa bersekolah dirampas demi kepentingan politik.
Masih punya nuranikah, kita?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments