Skenario Baru di Ukraina
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada Desember silam saya telah memprediksi akan munculnya Perang Dingin baru yang menyasar Rusia dan juga China pasca terpilihnya Joe Biden. (baca disini dan disini)
Beberapa sudah menemukan pembuktiannya berupa kebijakan turunan. Ambil contoh bangkitnya kekuatan proxy jihadis yang kerap dipakai AS dalam menghantam musuh-musuh Washington. Di Mosambik salah satunya. (https://www.bbc.com/news/world-africa-56563539)
Selain itu rencana AS dalam mengaktivasi Perang Dingin 2.0 kembali dimulai.
Maksudnya?
Baru-baru ini, sebuah kapal cargo AS Ocean Glory, mengirimkan sekitar 350 ton peralatan militer ke pelabuhan Odessa, Ukraina. (https://dumskaya.net/news/v-odesskiy-port-pribyl-amerikanskiy-suhogruz-s-a-139671/)
Ini dilakukan AS setelah Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky berencana menandatangani Dekrit No. 117/2021, yang intinya akan merebut kembali wilayah Krimea dan kota Sevastopol ke pangkuan Ukraina dari tangan Rusia. (https://www.ukrinform.net/rubric-polytics/3214479-zelensky-enacts-strategy-for-deoccupation-and-reintegration-of-crimea.html)
Kalo begini ceritanya, apa mungkin nggak ada skenario lanjutan?
Lantas kenapa Ukraina dipaksa ‘berkonflik’ dengan Rusia?
Setidaknya ada 3 alasan utama.
Pertama, AS memang punya rencana untuk memasukkan Ukraina ke dalam blok NATO. Ini penting untuk dilakukan mengingat ada kepentingan WEF dalam memperluas wilayah di Uni Eropa, secara khusus dalam mengepung pengaruh Rusia di Eropa. (https://emerging-europe.com/news/natos-future-includes-georgia/)
Jika ini terlaksana, maka akan sulit mengintegrasikan Eurasia yang telah menjadi rencana besar Putin dalam menaikkan posisi tawar Rusia di panggung dunia. (https://www.theguardian.com/world/shortcuts/2014/feb/18/brief-primer-vladimir-putin-eurasian-union-trade)
Lalu kenapa Sevastopol akan menjadi sasaran perang?
Karena di kota tersebut, berdiri Jembatan Selat Kerch (Jembatan Krimea) yang dibangun oleh Rusia sepanjang 19 km. Jembatan itu menghubungkan Semenanjung Taman dan Semenanjung Kerch di Krimea berupa lalu lintas jalan raya dan kereta api. (https://www.dw.com/en/russia-crimea-bridge-opened-by-vladimir-putin/a-43787576)
Kalo mau Ukraina mau ambil alih Krimea, maka Ukraina harus mau ambil kota Sevastopol yang ada dalam genggaman Rusia. Dengan skenario ini, maka ‘perang’ akan jadi satu-satunya menu yang tersedia bagi Rusia.
Apa alasan kedua?
Ini berkaitan dengan proyek pipa gas alam Nord Stream 2. (baca disini dan disini)
Seperti yang saya pernah ulas, bahwa AS sangat berkepentingan agar proyek Gazprom tersebut dibekukan. Wajar jika kemudian Gazprom memperingatkan investornya bahwa proyek NS 2 bisa ditangguhkan karena adanya tekanan politik di awal tahun ini. (https://oilprice.com/Latest-Energy-News/World-News/Gazprom-Admits-Nord-Stream-2-At-Risk-Due-To-Political-Pressure.html)
Namun kenyataannya, Viktor Zubkov menegaskan bahwa proyek itu akan rampung pada tahun ini dan tidak dibekukan sesuai rencana awal, meskipun tekanan AS pada Jerman terus meningkat. (https://www.reuters.com/article/us-russia-nord-stream-2-completion-idUSKBN2BI1G7)
Pakai nalar anda, kenapa Rusia tetap nekat merampungkan proyek NS 2 kalo nggak ada kemungkinan untuk meraup keuntungan?
Jika ini rampung, maka gas alam Rusia akan bisa dibawa ke Eropa melalui Jerman. Dari sana, maka negara-negara Uni Eropa bakal berebut gas alam tersebut, karena harganya relatif murah. (https://www.nord-stream2.com/)
Sebagai gambaran, Gazprom telah memasok gas ke Uni Eropa dan Turki sebesar 162 milyar meter kubik, termasuk Ukraina yang memakai sekitar 86 milyar meter kubik. Jika ini dihentikan, maka apa yang terjadi selain krisis energi di negara-negara tersebut? Apa Uni Eropa mau ambil peluang tersebut? (https://www.arabnews.com/news/585806)
“Bukankah AS bisa menyediakan energi gas alam bagi Uni Eropa?”
Bicara bisa, tentu bisa. Cuma karena pipa-pipa yang dipakai berukuran kecil, maka otomatis output-nya pun kecil. Akibatnya nggak bisa menyediakan gas alam sesuai kebutuhan bagi warga Eropa.
Ini dapat memicu kelangkaan stok, sehingga harga otomatis naik. Dan ini jauh lebih mahal ketimbang pakai gas alam asal Rusia. (https://wiiw.ac.at/oil-and-gas-dependence-of-eu-15-countries-dlp-451.pdf)
Alasan terakhir, AS menyadari bahwa kebijakan yang dibesut oleh Rusia pada Ukraina, akan menarik negara tersebut mendekat dengan China secara perlahan. Dan ini akan menciptakan banyak masalah jangka panjang bagi kebijakan LN AS. (https://ecfr.eu/scorecard/2015/china/48)
Daripada nyusahin ke depannya, mending diaborsi diawal.
Lantas kenapa Presiden Volodymyr Zelensky mau-mau saja menjadi jongos AS?
Karena Ukraina butuh dana segar untuk menjalankan negaranya. Asal tahu saja bahwa Ukraina diambang kebangkrutan saat ini, akibat korupsi berjamaah yang dilakukan oleh para birokratnya. (https://rusbankrot.ru/en/bankruptcy-and-liquidation/ukraine-is-on-the-brink-of-bankruptcy/)
Dan siapa yang bisa bantu keuangan negara, selain lembaga Bretton Woods milik sang Ndoro besar?
Ironis, mengingat kandungan migas di Ukraina lumayan banyak. Kenapa jatuh-jatuhnya mengharapkan hutang dari sang Ndoro besar? (https://www.naftogaz.com/naftogaz_galuz_en)
Masalahnya, Zelensky nggak realitik.
Masa mau perang melawan Rusia, tentara yang direkrut adalah warga negara yang berusia hingga 60 tahun, sih? Kalo usia segitu dikasih pelatihan militer secanggih apapun selama 1 bulan, terus dikirim perang, bagaimana kemungkinan menangnya? (http://abcnews.go.com/International/draft-dodging-growing-concern-ukraine-ongoing-russia-conflict/story?id=28893759)
Ini sama saja mengirim orang ke neraka, bukan?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments