Sesuai Prediksinya
Oleh: Ndaru Anugerah
Saat Rusia melakukan opsus di Ukraina, AS (dan sekutunya) langsung memberikan sanksi ekonomi kepada Negeri Beruang Merah. Harapannya, dengan memberikan sanksi tersebut, sikap Rusia akan melunak terhadap Ukraina. (https://www.cnn.com/2022/02/22/business/sanctions-russia-ukraine/index.html)
Menanggapi hal itu, saya kasih ulasan sebelumnya, bahwa sanksi tersebut bersifat kontra-produktif.
Apa alasannya?
Selain Rusia dibawah kepemimpinan Putin cukup ‘matang’ dalam menjalankan papan catur geopolitiknya, yang paling sederhana adalah bahwa negara-negara Eropa sangat bergantung pada bahan bakar fosil dari Rusia.
“Alih-alih bikin sanksi, nanti malah jadi bumerang buat mereka yang menerapkan sanksi,” begitu saya katakan pada analisa saya. (baca disini)
Apakah prediksi saya benar adanya?
Sekarang kita lihat bersama, bahwa harga bahan bakar fosil (baik bensin maupun gas) di dunia, meroket secara gila-gilaan. (https://www.rt.com/business/551391-gas-europe-historic-high/)
Gas, misalnya, harganya di Eropa telah mencapai lebih dari USD 3.900 per 1.000 meter kubik. Angka yang spektakuler dan baru pertama kalinya terjadi dalam sejarah harga gas di Benua Biru.
Belum lagi, lebih dari 40% kebutuhan gas Eropa berasal dari pasokan gas asal Rusia yang sangat ramah di kantong. (https://www.npr.org/2022/02/09/1079338002/russia-ukraine-europe-gas-nordstream2-energy)
Dengan harga gas yang sangat tinggi tersebut, menjadi masuk akan jika harga listrik menjadi melonjak karena gas digunakan sebagai bahan bakar penghasil listrik. Di Belanda saja, harga listrik untuk rumah tangga, tarifnya menjadi USD 374 per megawatt per jam-nya.
Minyak juga sama. Harganya telah mencapai lebih dari USD 130 per barel-nya.
Dengan harga yang demikian tinggi, sektor industri jelas terpukul. Mau terus produksi, tapi produknya jadi mahal harganya. Kalopun dipaksakan untuk produksi, ujung-ujungnya konsumen yang harus bayar ongkosnya. (https://www.forbes.com/sites/sergeiklebnikov/2022/03/07/dow-falls-300-points-oil-briefly-hits-130-per-barrel-with-no-end-in-sight-for-russias-invasion-of-ukraine/)
Masalahnya: apa konsumen mau beli dengan harga tinggi?
Kasus yang sama juga terjadi di AS, dengan naiknya harga migas yang spektakuler sejak krisis berlangsung. (https://www.foxbusiness.com/energy/biden-announces-release-strategic-petroleum-reserves-step-alleviate-rising-gas-prices)
Sekali lagi, siapa yang pertama kali terpukul dengan penerapan sanksi ekonomi pada Rusia, jika bukan AS dan sekutunya? Bukankah itu bumerang namanya?
Kondisi makin diperburuk dengan sikap AS yang terus menekan Jerman (dan juga Eropa) untuk tidak memakai gas alam dari Rusia. Padahal Rusia siap memasok kebutuhan gas ke Eropa dengan harga yang lebih murah ketimbang gas alam yang ditawarkan AS. (https://abcnews.go.com/Business/wireStory/europe-faces-pressure-join-boycott-russian-oil-gas-83340599)
Berbekal data-data yang ada, bisa disimpulkan bahwa krisis energi bukan saja bakal menghantam Eropa, tapi akan melebar ke belahan dunia lainnya.
Jika sebelum adanya kasus di Ukraina, krisis energi juga akan terjadi, namun proses ini dikatalisasi oleh konflik yang ‘dipaksakan’. (baca disini)
Apakah ini kebetulan?
Tentu saja tidak. Ini memang ada skenarionya dalam membangkrutkan ekonomi global. Anda harus ingat rumusnya: The Great Reset nggak akan bisa terwujud tanpa hancurnya ekonomi global. (baca disini, disini dan disini)
Singkatnya: situasi krisis di Ukraina, memang sengaja ‘diciptakan’ untuk mendorong ekonomi global ke jurang kehancuran.
Apa anda mau protes?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments