Saat Ambisi Mengalahkan Segalanya


526

Saat Ambisi Mengalahkan Segalanya

Oleh: Ndaru Anugerah

Kalo ditanya siapa pihak yang dibuat pusing oleh eksistensi China saat ini? Jawabannnya, Amrik. Sudah lama AS berniat menjatuhkan Tiongkok, namun hingga kini rencana tersebut nggak terwujud.

Dari mulai kasus Uyghur, dimana China dianggap menzolimi kasus minoritas Muslim di daerah Xin Jiang (https://thegrayzone.com/2019/12/21/china-detaining-millions-uyghurs-problems-claims-us-ngo-researcher/), hingga kasus perbatasan di Laut China Selatan (https://morningstaronline.co.uk/article/f/taiwan-is-the-key-to-understanding-chinas-claims-to-the-south-china-sea)

Dari tuduhan praktik perdagangan yang dinggap tidak fair (https://www.reuters.com/article/us-usa-trade-china-idUSKCN1NR0JK), hingga dukungan bagi para proxy-nya di Hong Kong yang kerap mengadakan demonstrasi menentang pemerintahan China Daratan. (https://fair.org/home/chinese-imperialism-in-hong-kong-concerns-us-media-puerto-rican-palestinian-colonies-not-so-much/)

Namun sialnya, China nggak juga tumbang seperti yang diharapkan.

Apa kunci sukses China dalam menangkal serangan bertubi-tubi yang dilancarkan AS?

Ada di 2 faktor utama. Pertama di bidang ekonomi, dan kedua di bidang kemiliteran.

Saya akan coba jelaskan.

Sudah rahasia umum kalo China berhasil menciptakan keajaiban ekonomi yang berhasil mengangkat setidaknya 850 juta rakyatnya keluar dari jurang kemiskinan. (https://www.bbc.com/news/business-49806247)

Tentang ini, saya pernah bahas. (baca disini dan disini)

Padahal awalnya, perusahaan-perusahaan hi-tech asal AS seperti Apple, lebih memilih untuk mempekerjakan outsourcing pekerja AS. Namun karena serikat pekerjanya banyak maunya ketimbang kerjanya, maka mereka beralih menggunakan TK asal China.

Singkat kata, Apple mulai melatih kontraktor dan insinyur China untuk bisa memproduksi produk-produk mereka. (https://www.apple.com/supplier-responsibility/pdf/Apple-Supplier-List.pdf)

Masalahnya China bukan bangsa yang bodoh seperti yang dianggap AS. Pekerja outsource dari China nyatanya bukan saja mengambil pekerjaan yang diberikan perusahaan AS, tapi juga menyerap teknologi dan keterampilan yang diajarkan oleh perusahaan AS tersebut.

Yang terjadi kemudian, bukan saja pekerjanya yang terampil tapi China juga berhasil menciptakan perusahaan-perusahaan raksasa dengan teknologi terbaru di dunia hasil alih teknologi AS. Bahkan saat ini banyak perusahaan mereka yang justru memimpin di dunia. (https://www.wipo.int/pressroom/en/articles/2020/article_0005.html)

Saya kasih contohnya.

Terlepas bahwa teknologi 5G bisa menyebabkan efek radiasi EMF yang bisa membahayakan kesehatan manusia, namun peluncuran seluler dengan teknologi tersebut oleh China, bisa dijadikan rujukan. (https://mdsafetech.org/2018/07/18/dr-leszczynski-sounds-warning-at-australian-meeting-precaution-with-5g/)

Coba lihat Huawei dan ZTE yang telah mengembangkan teknologi 5G tersebut. Mereka bukan saja mematenkan banyak infrastruktur kritis yang diperlukan bagi teknologi digital, lebih jauh lagi bahwa mereka telah meninggalkan jauh teknologi yang dikembangkan oleh Silicon Valley di Amrik sana. (https://www.independent.co.uk/news/world/americas/us-politics/5g-trump-william-barr-nokia-ericsson-huawei-uk-china-a9322686.html)

Padahal, mengacu pada rencana awal AS, bahwa teknologi 5G yang akan dikembangkan oleh perusahaan mereka semisal AT&T dan Verizon, rencananya akan digunakan oleh NSA untuk memata-matai semua orang di dunia. (https://www.bloomberg.com/opinion/articles/2016-09-13/u-s-spies-think-china-wants-to-read-your-e-mail)

Tapi semua rencana jadi berantakan saat Huawei dan ZTE justru yang pertama berhasil mengembangkan teknologi 5G tersebut ketimbang mereka. (https://asiatimes.com/2019/11/americas-misguided-war-on-chinese-technology/)

Dan di bidang ekonomi, yang paling buat AS meradang adalah saat China berhasil berinvestasi dalam infrastruktur di seluruh dunia dalam mega proyek Belt and Road Initiative. Pada Maret 2020 saja, sudah 138 negara bergabung dalam BRI yang rencananya menghubungkan Asia, Eropa dan Afrika lewat jalur darat dan laut. (https://green-bri.org/countries-of-the-belt-and-road-initiative-bri)

Bayangkan kalo rencana ini berhasil, apa yang terjadi pada sosok tua rentah yang bernama Amrik?

Lalu bagaimana dengan bidang kemiliteran?

Sejak pemerintaha Obama, AS telah menerapkan kebijakan yang berporos ke Asia. Apalagi tujuannya kalo nggak untuk menghadang China. Untuk alasan yang satu ini, AS keluar duit lumayan banyak. Apakah efektif kebijakan tersebut? Anda bisa menjawabnya, bukan? (https://thediplomat.com/2017/01/the-pivot-to-asia-was-obamas-biggest-mistake/)

Sementara AS mengeluarkan anggaran militernya sebesar USD 740 milyar guna mendukung 800 pangkalan militernya yang tersebar di seluruh dunia, China justru ambil langkah yang sebaliknya. (https://fpif.org/us-cold-war-china-policy-will-isolate-us-not-china/)

China hanya mengeluarkan biaya untuk militernya sekitar USD 261 milyar di tahun 2019 silam. (https://www.sipri.org/media/press-release/2020/global-military-expenditure-sees-largest-annual-increase-decade-says-sipri-reaching-1917-billion)

Kok anggarannya hanya sepertiganya AS?

Karena tujuan militer China bukan ofensif seperti AS, melainkan defensif alias didisain untuk perlindungan diri. Nggak aneh kalo yang diperlengkapi adalah sistem rudaj anti kapal dan anti pesawat canggih, bukan kapal induk untuk tujuan perang. Ya karena China nggak berniat perang. (https://www.codepink.org/us_cold_war_china_policy_will_isolate_the_us_not_china)

Satu yang pasti bahwa China telah memperlengkapi persenjataan mereka dengan sistem nuklir. Jadi kalo AS mau main-main, ibarat kata: lu jual, gue borong.

Apakah efektif?

Kalo nggak efektif, China sudah dilabrak jauh-jauh hari sama AS, Malih.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!