Rogan Menantang Mainstream


519

Rogan Menentang Mainstream

Oleh: Ndaru Anugerah

Apa yang unik dari rezim Biden?

Salah satunya adalah sikap represif yang dijalankannya sejak dirinya terpilih pada gelaran pilpres AS di 2020 silam.

Saking represifnya, pemerintahan Biden menerbitkan kebijakan kepada perusahaan media sosial untuk mengambil tindakan tegas kepada siapapun yang mencoba melawan narasi mainstream melalui platform mereka, utamanya yang dikembangkan pemerintah secara khusus saat plandemi Kopit melanda. (https://www.yahoo.com/video/white-house-says-social-media-202900243.html)

Korban kebijakan ini sudah banyak, dari politisi hingga dokter kenamaan.

Ambil contoh Alex Berenson yang kena cekal oleh twitter pada Agustus 2021 silam, akibat cuitannya tentang vaksin Kopit yang dikatakannya sebagai mekanisme ‘terapi’ gen. (https://thehill.com/homenews/media/569908-twitter-bans-conservative-author-Alex-Berenson)

Padahal, fakta berbicara, bahwa vaksin buatan Big Pharma, secara definitif bukan vaksin alias terapi gen. (baca disini dan disini)

Lantas salahnya dimana kalo seorang Berenson bilang vaksin Kopit yang dipakai di AS adalah bentuk dari terapi gen?

Ada lagi korban berikutnya yang merupakan praktisi kedokteran sekaligus penemu teknologi mRNA, Dr. Robert Malone. Kembali twitter menghentikan akun sang dokter, karena dinilai telah menyebarkan berita yang salah alias misinformasi seputar vaksin Kopit. (https://nypost.com/2022/01/08/twitter-ceo-parag-agrawal-has-brought-wave-of-high-profile-bans/)

Bisa anda bayangkan, penemu teknologi mRNA saja bisa ditendang keluar dari platform media sosial dan dianggap agen penyebar hoax. Gimana kita yang statusnya hanya rakyat jelantah?

Dan kini, kebijakan itu kembali menyasar podcaster kesayangan warga AS (dan juga dunia), Joe Rogan.

Kembali seorang Rogan di-framing oleh administrasi Biden sebagai agen penyebar disinformasi alias hoax karena konten podcast-nya dinilai berseberangan dengan agenda pemerintah, utamanya soal vaksinasi dan plandemi Kopit. (https://www.politico.com/news/2021/04/28/white-house-joe-rogan-podcast-vaccine-484891)

Apa sih yang menarik dari podcast yang digelar Rogan?

Keberaniannya dalam mengundang tokoh-tokoh yang dianggap banyak orang sebagai ‘kontroversial’. Padahal, dalam kaji jurnalistik, apa yang disajikan Rogan sebagai bintang tamu pada program podcast-nya, adalah hal yang lumrah. Nggak ada yang berlebihan.

Prinsipnya begini: kalo ada aliran mainstream, apa yang salah jika seseorang memanggil tokoh yang bertentangan dengan mainstream? Justru itu bisa menambah wawasan dan kasih pendidikan kepada orang lain, atas konten yang diungkapkannya.

Biarkan publik yang menilai, benar atau salahnya atas konten yang disampaikan. Toh kalo kelihatan nggak benarnya, publik bisa menilai itu semua.

Itu baru demokratis.

Singkatnya, upaya Rogan adalah menyajikan media alternatif bagi para pendengar setianya, sebelum ambil keputusan tentang segala sesuatu. Tentang vaksinasi dan plandemi Kopit, salah satunya.

Dan atas upaya ini, podcast yang diusungnya selalu dinanti oleh jutaan penggemar setianya di kolong jagat.

Nggak heran jika per episode podcast yang diluncurkannya, Rogan berhasil meraih rata-rata 11 juta pendengar. Luar biasa! (https://www.yahoo.com/amphtml/now/abcarian-big-spotify-desertion-joe-110049411.html#:~:text=Rogan%20has%20an%20estimated%2011,music%20off%20the%20streaming%20service.)

Terlebih saat Rogan mengundang Dr. Robert Malone dan Dr. Peter McCullough pada podcast-nya. Hasilnya lebih banyak lagi orang yang tertarik mendengar konten berbobot yang disampaikan para tokoh ‘kontroversial’ tersebut.

Kalo terus-terusan begini, bisa-bisa program Ndoro besar atas enjus massal global, bisa nggak laku di pasaran. Orang makin banyak yang terbuka matanya atas kebohongan demi kebohongan yang disajikan media mainstream, yang nggak lain bertugas sebagai corong propaganda Ndoro besar.

Atas hal ini, Gedung Putih kasih ultimatum ke Spotify selaku platform yang menjadi host podcast yang diusung Joe Rogan, untuk menyensor diskusi yang dilakukan Rogan dengan tamu istimewa-nya. (https://www.foxbusiness.com/politics/psaki-big-tech-should-censor-more-misinformation-but-we-believe-in-freedom-of-speech)

Bahkan media mainstream sekelas CNN, meminta lebih jauh lagi ke Spotify untuk menghentikan acara podcast yang digelar Rogan. (https://twitter.com/i/status/1490357546191888388)

Dan belakangan (5/2), Spotify (yang pada dasarnya nggak punya kebijakan intervensi pada para penggunanya) terpaksa melunak atas tekanan ini.

Ratusan podcast yang dibuat Rogan, terpaksa ditarik dari peredaran. (https://www.forbes.com/sites/lisakim/2022/02/05/spotify-pulls-more-than-110-episodes-of-joe-rogans-podcast/)

Asal tahu saja, Rogan bukan pertama kali dijadikan target operasi kartel sang Ndoro besar, dengan memakai tangan media mainstream dan juga administrasi Biden.

Tahun lalu, CNN bahkan melabel tindakan Rogan yang memakai Ivermectin sebagai obat penyembuh sakit Kopit yang dideritanya, sebagai obat cacing kuda, yang nggak layak dipakai manusia. (https://thehill.com/homenews/media/576723-gupta-tells-joe-rogan-cnn-shouldnt-have-called-ivermectin-horse-dewormer)

Bahkan saat Rogan mengalami Kopit, dibuatlah video rekayasa ala CNN yang mau kasih pesan kepada publik bahwa kondisi Rogan benar-benar tersiksa atas penyakitnya itu. Padahal itu hanya video hoax. (https://ijr.com/cnn-caught-deceptively-altering-video-of-joe-rogan-to-make-him-look-sicker-than-he-really-is/)

Apa yang bisa disimpulkan?

Bahwa kanal suara-suara kebenaran, pasti akan diberangus oleh sang Ndoro besar, apapun taruhannya. Termasuk kanal yang diusung sosok kondang sekelas Joe Rogan.

Kalo proyek plandemi hanya sekedar nyari ‘cuan’ bagi sang Ndoro, apa iya kebijakan main sikat perlu diterapkan demikian kerasnya?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!