Rencana Sudah Lama
Oleh: Ndaru Anugerah
Siapa nggak kenal istilah green passport alias paspor vaksin?
Ini rencananya bakal digunakan bagi mereka yang akan menempuh perjalanan by air.
Bahkan di beberapa negara, untuk bisa beraktivitas secara ‘normal’ seperti pergi belanja, makan di resto hingga nonton konser, mereka memberlakukan GP tersebut pada warga negaranya. (baca disini)
Apakah ini karena adanya Kopit?
Nggak juga. Nyatanya rencana GP memang sudah lama dirancang oleh politisi di Eropa, tepatnya 20 bulan sebelum pandemi Kopit menghantam secara global.
Secara resmi, Komisi Eropa pertama kali menerbitkan proposal untuk paspor vaksin pada 26 April 2018 silam. Namun, entah bagaimana kok dokumen itu nggak pernah diekspos oleh media mainstream. (https://ec.europa.eu/transparency/regdoc/rep/1/2018/EN/COM-2018-244-F1-EN-MAIN-PART-1.PDF)
Sebagai turunannya, maka roadmap akhirnya dibuat pada awal 2019 untuk bisa diterapkan di Eropa, setidaknya di tahun 2022 mendatang. (https://ec.europa.eu/health/sites/health/files/vaccination/docs/2019-2022_roadmap_en.pdf)
Menariknya, pada roadmap tersebut muncul istilah yang tidak lazim pada masa sebelum pandemi. Salah satunya istilah ‘keragu-raguan vaksin’.
Jadi roadmap tersebut secara nggak langsung mengulas tentang adanya pandemi sebagai wabah yang ‘tak terduga’ dan vaksin yang digunakan kemudian mendatangkan keraguan bagi banyak warganya.
Selain itu, roadmap juga membahas tentang peran penting bagi industri pembuat vaksin dalam menyediakan dosis suntikan bagi vaksinasi global yang bakal berlangsung pada September 2019.
Ajaibnya, KTT Vaksinasi Global diselenggarakan di Brussel, Belgia pada 12 September 2019, dengan kerjasama antara Komisi Eropa dengan WHO. Dan anehnya, KTT ini juga nggak banyak diliput oleh media mainstream. (https://ec.europa.eu/health/vaccination/ev_20190912_en)
Asal tahu saja, bahwa KTT tersebut hanya sebulan sebelum Event 201 yang berlangsung pada 18 Oktober 2019 di John Hopkins Bloomberg University. (https://www.centerforhealthsecurity.org/event201/about)
Lalu, siapa peserta KTT tersebut?
Ada perwakilan dari Big Pharma, CEO Global Vaccine Alliance, politisi, LSM hingga Direktur Pelaksana Bill & Melinda Gates Foundation.
Dan ‘kebetulan’ lagi, KTT tersebut juga membahas tentang rencana kesiapsiagaan menghadapi pandemi ‘influenza’. (https://ec.europa.eu/health/ph_threats/com/Influenza/influenza_key04_en.pdf)
Point penting lainnya yang ada pada dokumen KTT adalah tentang pentingnya kolaborasi antara industri farmasi dan pemerintah Uni Eropa dalam menghadapi pandemi global yang tak terhindarkan.
Merujuk pada temuan tersebut, apakah cuma kebetulan kalo sekarang ada yang namanya green-passport alias paspor vaksin?
Gampang menjawabnya.
Siapa yang paling berkepentingan terhadap rencana GP tersebut?
Tentu saja Big Pharma.
Dengan adanya program vaksinasi global dan juga obat-obatan lainnya yang dipakai selama pandemi, keuntungan mereka pada tahun ini diprediksi mencapai USD 1,5 trilyun. (https://www.worldpharmatoday.com/industry-reports/global-drug-market-will-reach-nearly-1-5-trillion-in-2021/)
Ini belum lagi adanya skenario ‘mutasi’ virus, yang berakibat pada rencana suntik tahunan yang sudah ada di depan mata. Otomatis keuntungan sudah bisa diprediksi. (https://www.voanews.com/covid-19-pandemic/covid-vaccine-will-likely-be-annual-shot)
Satu yang perlu anda catat, bahwa keuntungan dalam jumlah jumbo nggak akan mungkin bisa didapat tanpa adanya perencanaan yang matang.
Kesimpulannya, ada kolaborasi antara Big Pharma dan Uni Eropa dalam menggelar GP. Dan mereka berdua ada dalam kendali kartel Ndoro besar, bukan? (baca disini dan disini)
Kalo begitu, masih relevan nggak sih jika kita bilang program GP atau scamdemic Kopit hanya bersifat dadakan alias tanpa direncanakan sebelumnya?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments