Realita Bollywood


510

Realita Bollywood

Oleh: Ndaru Anugerah

Negara mana yang saat ini jadi sasaran bulan-bulanan media mainstream?

India, jawabannya.

Coba anda perhatikan narasi yang dikembangkan media mainstream tentang India. Digambarkan bahwa virus Kopit sedang menyebar ke seluruh negeri, orang-orang pada sekarat dan kasus-kasus yang diluar kendali sehingga rumkit nggak bisa mengatasinya.

Ini semua narasi yang coba dimainkan media. Ambil contoh, pada April lalu, New York Post menurunkan laput tentang lonjakan Kopit di India bahkan sampai ada foto orang tewas di jalanan akibat Kopit.

Nyatanya setelah dicek kebenarannya, itu foto wanita yang terbaring akibat kebocoran gas di Andhra Pradesh pada Mei 2020 dan bukan dikarenakan pandemi Kopit. (https://www.opindia.com/2021/04/nypost-fake-news-people-dying-streets-covid-19-india-retracts-funeral-pyre-details/)

Apa motivasi media mainstream? Tentu saja buat ketakutan semua warga dunia.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi di India?

Baru-baru ini, Yohan Tengra selaku seorang analis politik dan spesialis perawatan kesehatan yang berbasis di Mumbai mengulas tentang hal yang sebenarnya terjadi di India saat ini. (https://drive.google.com/file/d/15sCz8WpCNkEZGtrXV-nr4fwjwA34zc9g/view)

Dia mengatakan, “Kami nggak akan pernah tahu data pasti kasus di India, karena data tentang orang yang bergejala (Kopit) yang di test positif dengan 24 siklus (CT) atau kurang, nggak tersedia.”

Kenapa Tengra mengatakan hal tersebut?

Karena nyatanya mayoritas orang yang dinyatakan positif lewat test PCR, nyatanya nggak memiliki gejala sama sekali. “Di Mumbai, 85% nggak ada gejalanya, dan di Bangalore 95% kasus juga nggak bergejala. Sedangkan penularan pada orang yang asimtomatik, tidak signifikan,” ungkapnya.

Jadi, dengan skenario memperbanyak test, terutama menyasar orang-orang yang nggak punya gejala Kopit, sudah pasti bakal mendongkrak kenaikan kasus yang ada di India. Dan parahnya, orang yang nggak punya gejala tersebut, memenuhi rumkit yang ada disana.

Walhasil bisa ditebak, rumkit kehabisan tempat tidur dan menutup akses pada mereka yang benar-benar membutuhkan perawatan.

Lalu, bagaimana dengan tingkat kematian akibat Kopit yang ‘katanya’ kini terkerek naik?

Menurut Tengra, itu berlebihan mengingat tahun lalu (2020) IFR-nya lebih dari 3%, namun kini menurun dengan kurang dari 1,5%.

“Orang yang terinfeksi Kopit, kebanyakan dapat melawannya tanpa menimbulkan gejala, beberapa mengembangkan gejala ringan, hanya sejumlah kecil yang mengembangkan gejala serius dan dapat mengakibatkan kematian,” papar Tengra.

Dengan kata lain, narasi yang dikembangkan oleh media mainstream tentang adanya gelombang kedua, jelas lebay adanya.

Paralel dengan ada yang diungkapkan Yohan Tengra, analis India lainnya, Jo Nash juga mengungkapkan hal yang juga sama bahwa ada peran media dalam menyebarkan rasa takut dengan mengekspos kasus di India. (https://leftlockdownsceptics.com/2021/04/indias-current-covid-crisis-in-context/?doing_wp_cron=1619849661.3701040744781494140625&fbclid=IwAR3T6Ns3In0brFPgoqhP9EioI6xnE2vbB5yrAVnH63Fq2V31LXOIc9LI4cw)

Nyatanya, penyakit pernapasan seperti TBC dan pneumonia justru jauh lebih mematikan ketimbang Kopit. Namun nggak ada tuh gembar-gembor media mainstream yang mengekspos hal tersebut layaknya Kopit?

“Gelombang kedua bisa terjadi setelah diluncurkannya vaksinasi di India pada Januari 2021 lalu, dimana banyak orang yang jatuh sakit dan kemudian dinyatakan positif terkena Kopit,” ungkap Nash.

Banyak dari mereka kemudian dirawat di rumkit sehingga kapasitas tempat tidur jadi berkurang bagi orang yang benar-benar membutuhkan perawatan serius. Bisa ditebak, orang yang nggak mendapat perawatan di rumkit padahal mereka sekarat, akhirnya meregang nyawa.

Karena tahu situasi yang nggak menguntungkan bagi warga India, Tengra dan beberapa pengacara berencana menggugat pemerintah selaku pihak yang mengeluarkan gagasan penularan tanpa gejala dan pengujian orang sehat tanpa gejala Kopit.

Apakah Tengra sendirian dalam melawan narasi yang dikembangkan media mainstream?

Nggak juga.

Seorang ahli epidemiologi kondang di India, Prof. Amitay Banerjee mengatakan, “Ini bukan kasus virus yang mematikan, melainkan buruknya pelayanan kesehatan masyarakat yang disediakan pemerintah.” (https://www.nationalheraldindia.com/opinion/expert-view-the-pandemic-of-panic-caused-by-overwhelming-numbers-not-lethality-of-the-virus?fbclid=IwAR371cdw2_ClpwlnRWDsrv3q3TNLICBWrb_y2OxWqcLy31VSMAY9Fu-a7wg)

Bukan itu saja, Prof Banerjee juga mengatakan, “Kami memiliki vaksin TBC tapi itu nggak bisa menghentikan laju penyakit tersebut. Apalagi vaksinasi massal tanpa data yang mencukupi, karena itu hanya akan memicu strain mutan pada virus tersebut.”

Bisa disimpulkan bahwa narasi ketakutan yang tengah dibangun di India, memang sengaja diciptakan untuk satu tujuan: vaksinasi bisa berjalan dengan lancar.

Dan bener lagi kan, analisa saya sebelumnya. (baca disini)

Masih mau mengandalkan media mainstream sebagai sumber utama informasi anda?

Yang bokir…

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


4 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Terima kasih atas semua info2 nya Bang, zaman sekarang sangat sulit cari informasi yg jujur. semoga Sampean sekeluarga diberi limpahan kesehatan & kesuksesan Allah Ta’ala. Aamiin

    1. masalah di malaysia, kurleb-nya sama dengan wakanda. pemimpinnya pekok. jadi jongos cuma gak sadar status.

error: Content is protected !!