Menghajar Mister Vijay


515

Menghajar Mister Vijay

Oleh: Ndaru Anugerah

“Bang, bahas dong tentang status tsunami Kopit yang ada di India,” ungkap seorang netizen.

Beberapa hari belakangan saya mendapat pertanyaan yang sama dari banyak netizen. Maklum mereka nggak puas hanya membaca informasi yang disajikan oleh media mainstream dalam menanggapi masalah tersebut.

Saya meliihat ini sebagai sisi baik, karena mereka mulai sadar literasi, jadi nggak mudah diombang-ambing oleh skenario yang dimainkan oleh media.

Langsung aja kita ke TKP. Apa yang terjadi di India sana?

Dikatakan bahwa India telah mengalami ‘badai’ virus Kopit dengan mencetak rekor baru banyaknya orang yang terinfeksi dalam satu hari secara global, mencapai hingga 349.691 kasus.

Luar biasa.

Dengan banyaknya kasus infeksi tersebut, maka rumkit kehabisan stok tempat tidur dan oksigen akibatnya membludaknya jumlah pasien. Dampaknya bisa diduga, pertama angka kematian melonjak drastis dan kedua, lockdown yang semula telah dicabut, kembali diterapkan kembali guna menekan angka penyebaran infeksi.

Mengacu pada ‘prestasi’ yang diraihnya, India menjadi negara terburuk kedua setelah AS, yang terkena dampak Kopit. (https://www.rt.com/news/522063-india-modi-covid-crisis/)

Bukan itu saja. Di India tengah menghadapi penyebaran varian baru yang dikenal dengan B1617, yang menurut para ahli bersifat lebih ‘menular’ daripada jenis sebelumnya. (https://www.rt.com/news/521961-india-covid-global-daily-infections-record/)

Ditengah kalut yang dihadapinya, segelintir orang justru menyebar hoax secara masif di media sosial, yang mengekspos tentang kematian akibat Kopit yang dialami rakyat India.

Makin panik-lah warga India dibombardir berita bohong tersebut. (https://sputniknews.com/india/202104251082718819-india-urges-social-media-platforms-to-take-down-posts-spreading-fake-covid-19-info/)

Dan sebagai solusinya, PM. Modi mengajak segenap warga India yang jumlahnya 1,3 milyar tersebut, untuk mau mengikuti program vaksinasi massal.

Kalo anda baca informasi dari media, kurleb itu yang akan anda dapatkan. Dan anda nggak punya informasi pembanding untuk menilai suatu fenomena yang tengah digoreng media mainstream.

Pertanyaan sederhana, apa begitu situasinya?

Situasi pandemi di India agak beda menyangkut dua hal. Pertama tentang vaksin yang akan digunakan. Kedua tentang laju vaksinasi massal yang dilakukannya.

Maksudnya gimana?

Subject Expert Committee (SEC) India untuk vaksin Kopit, sangat selektif dalam memberikan ijin kepada industri farmasi untuk bisa menjual vaksinnya di negara Bombay tersebut. Jadi begitu banyak admininistrasi ketat yang harus dipenuhi, kalo mau suatu vaksin bisa dipakai disana.

Akibatnya hanya 2 vaksin yang disetujui untuk dipakai untuk penggunaan darurat, pada Januari 2021 silam.

Pertama Covaxin yang diproduksi oleh Bharat Biotech asal India. Dan kedua Covishield yang dibuat dari benih master Oxford AstraZeneca oleh Serum Institute of India. (https://qz.com/india/1977748/why-did-india-approve-covaxin-covishield-not-pfizer-sputnik-v/)

Jadi, keduanya buatan India. Sedangkan vaksin Pfizer, terpaksa tarik diri dengan adanya aturan yang dikeluarkan SEC. Begitupun dengan Sputnik V besutan Rusia. Padahal sebelumnya, India sudah berencana pakai vaksin Rusia buat warganya. (baca disini)

Lalu bagaimana dengan laju vaksinasi?

Dengan sedikitnya jumlah vaksin yang diijinkan untuk dipakai, India praktis ketinggalan jauh laju vaksinasinya dibanding negara lain di dunia. Pada 17 April 2021, Inggris telah sukses memvaksin 48,2% warganya, AS sekitar 38,2% dan Jerman mencapai 18,9%. Sedangkan India, baru 7,7% warganya. Dan ini jelas ketinggalan jauh.

Merujuk pada ketersediaan vaksin, artinya hingga April 2022 mayoritas warga India nggak bakalan dapat mengikuti vaksinasi massal. (https://thefederal.com/opinion/indias-failure-on-the-vaccine-front-and-what-needs-to-be-done-now/)

Bayangkan jika vaksinasi global tidak bergerak sesuai ‘rencana’ sang Ndoro besar. Apa bisa program The Great Reset dapat dijalankan sesuai skedul?

Aliasnya, harus ada terobosan yang bisa mengatasi 2 masalah tersebut. Dan jawaban atas problem tersebut, ada pada festival Kumb Mela.

Sebelum kasus Kopit melonjak secara drastis di India, penduduk setempat mengadakan perayaan Kumb Mela yang merupakan ritual terpenting bagi umat Hindu disana, guna menghapus dosa-dosa mereka.

Dengan jumlah yang nggak sedikit, mereka mulai ramai-ramai berpartisipasi untuk mengikuti ritual di kawasan Haridwar di Sungai Gangga dan sudah pasti nggak pakai prokes-prokesan.

Sebenarnya, Modi bisa saja menghentikan festival yang rencananya bakal digelar sebulan penuh tersebut. Namun dia harus tanggung konsekuensinya. Pertama, para pemuka agama akan mencemooh kebijakannya, dan kedua program ‘terselubung’ sang Ndoro nggak bakal bisa digelar.

Dan benar saja. Begitu kasus infeksi melonjak, Kumb Mela yang dijadikan ‘kambing hitam’-nya. “Coba nggak ada festival tersebut. Nggak akan mungkin ada lonjakan kasus, kan?” (https://www.reuters.com/world/india/super-spreader-erupts-devout-hindus-throng-indian-festival-2021-04-14/)

Darimana dapatnya kasus lonjakan kasus yang terjadi secara drastis tersebut?

Ya dari test yang digelar. Begitu festival Kumb Mela berlangsung, laju pengujian Kopit ditingkatkan secara besar-besaran.  Pada 25 Maret hingga 15 April 2021, pengujian yang dilakukan mencapai 15,4 juta yang artinya mencapai 700 ribu pengujian per harinya.

Dengan Russian Roulette yang digelar pakai PCR, jelas saja kasusnya melonjak drastis. Karena memang disitu skenario peningkatan kasus dimainkan guna membuat efek panik bagi warga India. (https://www.statista.com/statistics/1113465/india-coronavirus-covid-19-tests-cumulative/)

Padahal kehandalan alat test Kopit, sangat dipertanyakan mengingat nggak punya standar emas buat menyatakan seseorang positif Kopit atau nggak. (baca disini, disini, disini dan disini)

Kembali ke laptop.

Apakah India mengalami ‘tsunami’ Kopit?

Nggak juga.

Merujuk pada data di Worldometer, kasus di India mencapai 16,9 juta dengan tingkat kematian mencapai 192.311 jiwa. Artinya IFR-nya hanya 1,1% yang lebih rendah dari Indonesia yang mencapai 2,7%. Di Indonesia nggak ada tuh dibilang ‘badai’ Kopit? (https://www.worldometers.info/coronavirus/country/india/) (https://www.worldometers.info/coronavirus/country/indonesia/)

Jadi, isu tentang tsunami Kopit, jelas lebay.

Lantas gimana dengan mutasi virus yang dikatakan sebagai penyebab primer?

Virus hasil mutasi, memang cepat sekali menyebar, tapi nggak mematikan. Jadi kenapa harus ditakutkan? (baca disini dan disini)

Sampai sini clear, ya?

Sebagai penutup, setelah Modi mengumumkan vaksinasi massal dengan mengundang vaksin Big Pharma untuk bisa masuk tanpa pengawas ketat, maka berbondong-bondong mereka ngantri untuk bisa masuk India. (https://www.reuters.com/world/india/jj-covid-19-vaccine-expected-be-imported-india-by-july-report-2021-04-23/)

Cui bono?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!