Menuntut Antek Big Pharma


518

Menuntut Antek Big Pharma

Oleh: Ndaru Anugerah

Tentang hydroxychloroquine sebagai obat potensial bagi si Kopit, saya sudah banyak ulas. Tapi lucunya, di AS sana, FDA (Food and Drug Administration) justru membatasi akses warganya untuk mendapatkan obat tersebut.

Sontak, Asosiasi Dokter dan Ahli Bedah Amerika (AAPS) yang punya semboyan omnia pro aegroto alias segalanya untuk pasien, langsung melayangkan gugatan hukum atas FDA. “FDA jangan campur tangan terlalu jauh dengan membatasi penggunaan hydroxychloroquine bagi warga AS,” begitu kurlebnya. (https://aapsonline.org/hcqsuit/)

Padahal banyak negara seperti: China, India, Korsel, Kosta Rika, UEA hingga Turki telah menggunakan hydroxychloroquine sebagai pengobatan dini dan pencegahan terhadap si Kopit, Bahkan Trump-pun sempat melontarkan pernyataan senada. (https://edition.cnn.com/2020/05/27/americas/salvador-president-coronavirus-hydroxychloroquine-intl/index.html)

Lantas, kenapa peredarannnya oleh FDA malah dibatasi?

Sekedar informasi, 2 juta dosis hydroxychloroquine telah dikirim oleh pemerintahan AS ke Brazil untuk membantu para pekerja medis disana terhadap penyebaran virus. Tapi disaat yang sama, FDA justru memblokir akses orang Amrik ke obat tersebut. (https://www.whitehouse.gov/briefings-statements/joint-statement-united-states-america-federative-republic-brazil-regarding-health-cooperation/)

Direktur Eksekutif AAPS – Jane Orient – mengatakan, “Sangat mengejutkan bahwa para pekerja medis di Brazil memiliki akses ke hydroxychloroquine sebagai upaya pencegahan, sementara warga AS justru diblokir oleh FDA untuk mengakses obat yang sama, untuk tujuan yang sama.”

Bahkan Penasihat Umum AAPS, Andrew Schlafy, mengatakan, “Tidak ada dasar hukum bagi FDA untuk membatasi penggunaan hydroxychloroquine. Pembatasan tersebut akan berimplikasi hukum di pengadilan.”

“Dengan mencegah orang Amerika untuk menggunakan hydroxychloroquine sebagai profilaksis (pencegahan), FDA telah melanggar hak First Amendment warga negara, yang dijunjung tinggi oleh UU,” tambah Schlafy. (https://civilizedcaveman.com/health/association-of-american-physicians-surgeons-sues-the-corrupt-fda-from-blocking-physicians-use-of-hydroxychloroquine/)

Berbekal alasan tersebut, gugatan hukum terhadap FDA dilayangkan AAPS.

Padahal hydroxychloroquine telah disetujui oleh FDA selama 65 tahun, untuk bisa dikonsumsi secara bebas. Kenapa? Karena hydroxychloroquine memang aman untuk dikonsumsi. Bahkan CDC tidak memiliki batasan penggunaan hydroxychloroquine dalam pengobatan, utamanya malaria. (https://www.accessdata.fda.gov/scripts/cder/daf/index.cfm?event=reportsSearch.process&rptName=1&reportSelectMonth=4&reportSelectYear=1955&nav)

Saat ini, pemerintah AS memiliki cadangan 150 juta dosis hydroxychloroquine, sebagai stok nasional. Namun penggunaannya, harus melalui persetujuan FDA.

Nah masalahnya, FDA hanya membolehkan penggunaan hydroxychloroquine hanya bagi pasien yang dirawat di rumah sakit saja. Di pasaran, peredarannya dibatasi bahkan tidak tersedia. (https://www.nytimes.com/article/hydroxychloroquine-coronavirus.html)

Namun saat dikonfirmasi, Komisaris FDA – Stephen Hahn – menyatakan bahwa FDA tidak pernah menghalang-halangi para dokter di AS untuk meresepkan hydroxychloroquine. (https://www.prnewswire.com/news-releases/association-of-american-physicians–surgeons-aaps-sues-the-fda-to-end-its-arbitrary-restrictions-on-hydroxychloroquine-301069576.html)

Alasan basi. Kalo nggak melarang, kenapa juga hydroxychloroquine sebanyak 150 juta dosis, ditimbun di stockpile sebagai cadangan nasional tanpa bisa digunakan? Emang badan AS yang berwenang mengeluarkan distrubusi obat itu siapa, selain FDA?

Jadi paham ya, masalahnya?

Kenapa juga ditahan oleh FDA? Karena hydroxychloroquine memang penawar virus Corona yang potensial. Kalo semua orang mendapatkan akses ke obat tersebut dan kemudian sembuh, apa kira-kira proyek jualan vaksin plus oleh Big Pharma dapat sukses digelar?

Lantas, kenapa FDA seakan menyukseskan agenda Big Pharma? Apa kaitan antara FDA dan Big Pharma?

Sini saya kasih tahu.

Di tahun 2013, seorang profesor terkemuka di Harvard, telah menerbitkan laporan yang intinya menyatakan FDA tidak jujur dan nggak punya etika dalam menyetujui obat baru yang akan beredar di pasaran. “FDA tidak dapat dipercaya karena selama 30 tahun terakhir sedikit mengeluarkan obat baru selain yang sudah ada di pasaran saat ini.” (https://www.naturalnews.com/043265_FDA_Big_Pharma_Harvard_University.html)

Laporan yang masuk dalam Journal of Law, Medicine and Ethics tersebut, menurut Prof. Light dapat terjadi karena adanya kolaborasi antara FDA dan Big Pharma dalam memasarkan obat-obatan yang mayoritas diproduksi oleh Big Pharma. “Padahal obat-obatan tersebut membawa risiko yang tinggi bagi konsumen,” ungkap Prof. Light.

Prof. Light nggak berlebihan, mengingat penyebab kematian nomor 4 di AS adalah efek samping dari obat yang diresepkan para dokter. Dan para dokter bisa meresepkan, karena ada persetujuan FDA yang mengatur distribusi obat di AS. Tebak, obat produksi mana yang paling banyak diresepkan para dokter? (https://ethics.harvard.edu/blog/risky-drugs-why-fda-cannot-be-trusted)

Selain itu, saya mau kasih tahu, bahwa sebagai badan negara, FDA nggak independen. Kenapa? Karena selalu ada intervensi Big Pharma didalamnya pada badan tersebut.

Pada pemilihan Komisioner FDA dimana Robert M. Califf yang akhirnya terpilih, nyatanya prosesnya nggak lepas dari campur tangan Big Pharma yang mendukung dirinya.

Tercatat 23 perusahaan obat yang bernaung dalam Big Pharma (dari mulai Johnson & Johnson hingga GSK) memberikan sokongan dana pada pencalonan Califf tersebut. (https://www.counterpunch.org/2015/02/11/fda-commissioner-hamburg-appointed-who-deputy/)

Setelah ditelusuri, Califf ternyata memang orang Big Pharma, dimana selain mendapatkan dana penelitian secara rutin, dia juga bertugas sebagai pejabat tingkat tinggi di Genentech. (https://www.scoop.it/topic/pharmaguy-s-take-on-drug-industry-news/?tag=Commissioner)

Bahkan Portola Pharmaceuticals tanpa tedeng aling-aling mengatakan bahwa Califf bertugas di Dewan Direksi perusahaan Big Pharma tersebut, sebelum menjabat sebagai Komisioner FDA. (https://www.ecowatch.com/fda-officially-belongs-to-big-pharma-with-senate-confirmation-of-dr-ro-1882179798.html)

Semoga akal sehat anda mampu mencerna analisa yang saya berikan.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!