Rencana Jangka Panjang Sang Ndoro (*Bagian 1)


538

Rencana Jangka Panjang Sang Ndoro (*Bagian 1)

“Bang, selepas Jokowi menjabat, akankah penggantinya meneruskan gagasan pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan?” tanya seorang netizen.

Untuk menjawab pertanyaan ciamik ini, saya coba kasih ilustrasi agar anda bisa tarik kesimpulan di akhir cerita.

Anda tahu kenal sosok Sadiq Khan?

Benar sekali. Beliau adalah walikota London pertama yang notabene-nya Muslim. Di 2016 beliau memenangkan pilwalkot London dan terpilih kembali untuk masa jabatan kedua di tahun 2021 silam. (https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210509120009-134-640568/sadiq-khan-menang-lagi-di-pemilihan-walikota-london)

Nggak pakai lama, karena setelah terpilih, setahun kemudian di 2017, Khan menerbitkan strategi transportasi yang menguraikan visinya tentang masa depan transportasi ‘hijau-nya’ di London. (https://techcrunch.com/2017/06/21/mayor-of-londons-plan-for-city-transport-aims-for-zero-emissions-by-2050/)

“Akan ada pengurangan laju kendaraan bermotor di pusat kota, digantikan oleh moda pejalan kaki dan aktivitas bersepeda,” begitu kurleb-nya.

Selain itu Khan juga menargetkan pemberian beban biaya berbasis jarak kepada para pengguna kendaraan bermotor yang masih nekat menggunakan jalan-jalan di London sebagai moda transportasi.

Asal tahu saja, ide pajak berdasarkan jarak tempuh kendaraan alias Vehicle Miles Traveled Tax (VMT) bukan pertama kali diterapkan di London. Ada sejumlah kota besar di beberapa negara Eropa yang telah memakai sistem ini. Sebut saja Jerman, Austria, Slovakia, Republik Ceko, Swiss hingga Polandia. (https://en.wikipedia.org/wiki/Vehicle_miles_traveled_tax)

Di AS sendiri, kota besar sekelas Oregon juga telah menerapkan sistem jalan berbayar yang telah mendapatkan endorsement dari PBB. Masih ingat SDG 2030 milik PBB, kan? (https://www.ttnews.com/articles/oregon-considers-making-vmt-fee-mandatory)

Pertanyaannya kenapa skema ini perlu diterapkan?

Mengacu pada studi di Inggris pada 2017 silam, pendapatan negara Inggris dari sektor pajak dan bahan bakar akan anjlok drastis hingga £ 170 milyar di tahun 2030 akibat program dekarbonisasi pada sektor transportasi. (https://policyexchange.org.uk/publication/driving-down-emissions-how-to-clean-up-road-transport/)

Solusi penggantinya, tentu saja penerapan pajak substitusi yang gila-gilaan untuk menutup defisit anggaran yang hilang, selain memperkenalkan rute jalan tol baru dalam meraup cuan. Jadi tahu ya, jalon tol baru banyak dibuat untuk tujuan apa? (http://www.msn.com/en-ph/autos/news/toll-roads-could-be-introduced-to-cover-shortfall-of-tax-from-electric-cars/ar-BBDfWVu)

Apakah hanya pajak yang akan disasar oleh kebijakan Khan?

Nggak juga. Ada tujuan terselubung atas penerapan kebijakan tersebut yang mungkin luput dari amatan, yaitu faktor pelacakan. Dengan penerapan sistem jalan berbayar yang menggunakan teknologi digital, pelacakan tentang posisi dimana anda berada akan jauh lebih mudah dilakukan, bukan?

Kok bisa?

Anda pasti tahu ide smart city yang pernah saya bahas sebelumnya. Untuk menerapkan ide ini, maka perangkat internet of things (IoT) wajib diperlukan. (baca disini)

Siapa pengembang teknologi ini?

Salah satunya adalah Bilderberg Group alias klub sang Ndoro besar, yang sangat berkepentingan atas proses pengumpulan Big Data. (http://21stcenturywire.com/2017/06/03/bilderberg-whats-the-big-deal/)

Alih-alih mengembangkan perangkat In-Q-Tel, CIA melalui mantan direkturnya David Petraeus menyatakan bahwa teknologi IoT digunakan untuk mengumpulkan, mengidentifikasi, memantau dan mengendalikan suatu obyek dari jarak jauh. (https://www.wired.com/2012/03/petraeus-tv-remote/)

Dengan kata lain, ide smart city bukanlah untuk menjadikan kota tersebut menjadi lebih baik seperti yang sering dipromosikan, melainkan untuk mengontrol populasi yang tinggal di dalamnya.

IoT-lah memungkinkan proses controlling dari mulai sistem transportasi, infrastruktur energi hingga tempat tinggal dan layanan kesehatan.

Kalo ditarik lebih jauh lagi, maka apa yang telah diajukan oleh Khan, adalah proses mendorong terbentuknya kota pintar dengan IoT sebagai penyokongnya. Dan ini secara nggak langsung akan mendorong sistem manajemen global yang baru yaitu sistem teknorasi. (https://21stcenturywire.com/2010/08/02/what-is-the-21st-century-matrix/)

Memangnya sistem teknokrasi itu apa?

Secara definitif, teknokrasi adalah sistem pemerintahan yang berupaya menerapkan kontrol atas masyarakatnya, dengan para ahli (technical experts) dan saintis sebagai eksekutornya. (https://www.wallstreetmojo.com/technocracy/)

Teknokrasi bukanlah ide yang baru mengingat di tahun 1930an, ide ini pernah muncul di muka bumi. Ide yang ditawarkan adalah mengganti transaksi ekonomi yang berbasis moneter, dengan transaksi ekonomi berbasis energi atau sumber daya. (https://www.jstor.org/pss/3102180)

Masuk akal jika kemudian Khan menerapkan sistem jalan berbayar, karena pada prinsipnya semakin jauh seseorang berkendara, maka semakin banyak energi dan sumber daya yang akan dikonsumsi. Inilah yang akan diatur oleh sistem teknokrasi.

Masalahnya, teknokrasi bukan ide yang demokratis lebih tepatnya otoritarian, mengingat dengan penerapan sistem ini maka gagasan kontrol masyarakat secara total akan bisa diwujudkan dengan menggunakan perangkat teknologi, dari mulai kontrol atas aktivitas manusia, kontrol cuaca hingga teknik pengendalian perilaku manusia.

Bagaimana mungkin?

Pada bagian kedua tulisan, kita akan bahas ide dari teknokrasi ini.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


One Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!