Rencana Energi Hijau di Eropa (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian pertama tulisan saya sudah mengulas tentang rencana penerapan energi terbarukan di benua Biru sebagai pilot project-nya. (baca disini)
Nggak aneh jika negara-negara di Uni Eropa punya komitmen yang cukup kuat untuk mengeksekusi energi hijau.
Sebagai turunannya, mereka akan menolak penggunaan energi berbahan bakar fosil sebagai pilihan jangka panjang mereka. Termasuk penggunaan gas.
Lha wong batu bara sama nuklir saja berani mereka campakkan, apalagi hanya gas? (https://www.reuters.com/article/eu-energy-gas-idUSL4N2IP2NL)
Walaupun saat ini mereka kekurangan stok gas dan Rusia bersedia menutup kekurangan itu, mereka tetap nggak bergeming. “Kami nggak butuh gas demi mewujudkan status zero carbon,” begitu kurleb-nya.
Kenapa masyarakat Eropa punya frame of thinking tentang mewujudkan rencana bebas karbon?
Karena ada ‘arahan’ kartel sang Ndoro besar kepada para pemimpin di Benua Biru tersebut untuk mempromosikan model investasi ESG yang dibesut oleh BlackRock.
Jadi semua yang mengacu pada fossil fuel praktis jadi barang ‘haram’ untuk digunakan dan nggak boleh dikasih ‘lampu hijau’ untuk investasi. Dan ini berlaku bukan saja di Eropa tapi juga di dunia.
Akibat ‘arahan’ ini, maka pada 2020 silam, dunia mengalami penurunan pengeluaran secara drastis untuk bahan bakar fosil (migas dan batubara) sekitar USD 1 triliun. (https://www.iea.org/reports/world-energy-investment-2020/key-findings)
Dengan adanya aksi ‘boikot’ pada bahan bakar fosil, bisa ditebak bagaimana Eropa akan menghadapi musim dingin kali ini. Memangnya angin dan matahari bisa diandalkan untuk menghasilkan energi saat salju mulai turun guna menghangatkan mereka?
Lalu kemana larinya bahan bakar fosil yang disediakan para produsen pada musim dingin kali ini? China bisa jadi salah satu muaranya.
Ambil contoh Qatar selaku produsen LNG dunia, kini telah mengarahkan pasokan pada Negara Tirai Bambu tersebut. (https://www.spglobal.com/platts/en/market-insights/latest-news/lng/092921-qatar-signs-15-year-deal-to-sell-china-35-mil-mtyr-lng)
Sekarang kita gali lebih dalam, apakah kartel Ndoro besar nggak dapat ‘apa-apa’ dari bahan bakar fosil yang belakangan mereka ‘musuhi’?
Untuk gas alam yang diperdagangkan di UE selama beberapa bulan ke depan, diatur oleh ICE Exchange yang bermarkas di London. (https://www.theice.com/index)
Coba cek lebih dalam, siapa yang berada di belakang ICE Exchange? Nggak lain adalah kartel Ndoro besar itu sendiri, dari mulai Goldman Sachs, Morgan Stanley, Credit Suisse hingga Deutsche Bank. (https://www.theice.com/clear-credit/participants)
Jadi, alih-alih meregulasi harga pasaran bahan bakar fosil di UE, otomatis kartel Ndoro besar memperoleh banyak cuan dari adanya transaksi tersebut. (https://hayaenergy.com/soaring-electricity-prices-whose-fault-is-it/)
Dengan kata lain, sang Ndoro menyuruh masyarakat dunia untuk ‘menghindari’ pemakaian bahan bakar fosil, tapi sang Ndoro juga meraup keuntungan besar dari penjualan bahan bakar yang diklaim tak ramah lingkungan tersebut. Sangat lucu, bukan?
Sekali lagi, yang buat kelangkaan bahan bakar fosil saat ini adalah kartel Ndoro besar yang meregulasi harga pasar dan tentu saja selaras dengan kebijakan transisi ke energi hijau. ESG (environmental, social and governance) adalah patokan yang mereka pakai.
Ke depan, jika ada aturan sertifikasi ESG yang memberikan status lampu hijau atau merahnya investasi bagi perusahaan yang sudah atau justru belum menerapkan konsep energi terbarukan atau nggak, cepat atau lambat transisi energi dilakukan dan bahan bakar fosil mulai dicampakkan.
Ini nggak butuh lama. Percayalah.
Kembali ke laptop.
Berdasarkan apa yang telah saya paparkan, maka rencana energi hijau di Eropa sedang berlangsung saat ini. Dan Jerman adalah negara yang paling telak menjadi sasarannya. Padahal kita tahu bahwa Jerman selama ini adalah negara industri maju di Uni Eropa.
Dengan beralihnya Jerman ke energi terbarukan sejak awal 2000 silam, maka bisa dipastikan industri maju yang ada di negara tersebut bakal kena imbasnya.
Masalahnya sederhana: energi terbarukan nggak akan pernah cukup menyediakan pasokan energi yang dibutuhkan secara stabil dan konsisten. Bagaimana anda menjawab kebutuhan energi matahari saat salju melanda?
Kalo untuk menyuplai listrik rumahan saja masih megap-megap, gimana dengan industri yang sangat haus akan kebutuhan listrik? (https://www.bloomberg.com/news/articles/2021-01-27/green-shift-brings-blackout-risk-to-world-s-biggest-power-grid)
Dan kebijakan yang diberlakukan di Jerman, kebijakan serupa cepat atau lambat akan diberlakukan juga di negara Eropa lainnya.
“Studi menyatakan bahwa kebijakan energiewende dapat dilakukan kalo kita punya komitmen yang kuat,” demikian papar Merkel mengutip penelitian yang dijadikan rujukan bagi kebijakannya. (https://www.umweltrat.de/SharedDocs/Downloads/EN/02_Special_Reports/2011_10_Special_Report_Pathways_renewables.pdf?__blob=publicationFile)
Coba tebak apa yang bakal terjadi kemudian jika rencana transisi energi ini dilanjutkan?
Industri maju yang ada di Eropa bakalan gulung tikar karena nggak akan mampu menyeimbangkan kebutuhan energi dengan harga barang yang dijual ke pasaran. Bukankah kurangnya pasokan listrik berakibat pada langkanya energi sehingga mampu memicu kelangkaan barang di pasaran?
Kalopun ada, maka harga barang akan sangat mahal. Secara ekonomi, ini sangat tidak masuk akal untuk diterapkan. Dan pilihan yang masuk akal adalah penutupan industri itu sendiri.
Dan nggak perlu seorang Einstein untuk memprediksi proses ambruknya ekonomi di Benua Biru tersebut dipicu oleh rontoknya industri.
Ini memang agenda sang Ndoro untuk menutup peti ‘kapitalisme’ selamanya dan menggantikannya dengan sistem yang inklusif dan berkelanjutan. (baca disini, disini, disini, dan disini)
Just imagine, saat manusia yang butuh energi untuk bertahan hidup, kemudian nggak punya akses atas energi tersebut. Apa yang akan terjadi?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments