Mana yang Lebih Berisiko? (*Bagian 2)


530

Mana yang Lebih Berisiko? (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian pertama tulisan, saya sudah mengulas tentang hasial penelitian di Israel, yang menyatakan bahwa orang yang telah divaksinasi Kopit, nyatanya justru lebih rentan terkena infeksi dari varian baru virus Kopit. (baca disini)

Dengan posisinya yang mulai terdesak, pembuat vaksin dengan gampanganya bilang, “Karena vaksin yang kami kembangkan kurang efektif, maka kami meminta orang yang sudah divaksin untuk mendapatkan suntikan penguat (booster), guna mengatasi mutasi virus.” (https://www.cnbc.com/2021/04/15/pfizer-ceo-says-third-covid-vaccine-dose-likely-needed-within-12-months.html)

Cape deh, ujung-ujungnya jualan lagi.

Ini nggak berlebihan. Karena memang skenario akan adanya vaksinasi tahunan, kini sedang didengungkan oleh media.

Jadi suntikan yang telah diperbaharui formulanya tersebut, dengan alasan darurat, nggak perlu diuji klinis lagi alias langsung suntik. (https://www.statnews.com/2021/02/17/pfizer-biontech-vaccine-less-potent-against-coronavirus-variant/)

Laporan terbaru yang dibuat oleh Pfizer, jelas-jelas mengungkapkan bahwa vaksin mereka nggak cukup efektif dalam menangani varian baru virus Kopit, semisal B.1.351. (https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMc2102017?query=featured_home)

Aliasnya, orang yang sudah disuntik, nggak bisa dijamin bakal bebas dari infeksi varian baru virus Kopit.

Tentang ini saya sudah bahas jauh-jauh hari dan kini terbukti, kan? (baca disini, disini, disini dan disini)

Yang benar adalah, proses vaksinasi dihentikan, bukan malah buat alasan baru buat dagang vaksin.

Kenapa?

Karena vaksin dapat menghasilkan antibodi non-netralisasi (pengikat) yang alih-alih mencegah infeksi, malah dapat memicu ADE yang justru meningkatkan kerentanan anda terhadap infeksi dan penyakit yang lebih parah. (https://www.sciencedirect.com/topics/immunology-and-microbiology/binding-antibody)

Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ruklanthi de Alwis dan rekannya, juga mengungkapkan hal yang senada. “Meskipun vaksin SARS-CoV-2 menjanjikan, namun perlu diingat bahwa meningkatnya antibodi non-neutralizing justru dapat meningkatkan infeksi SARS-CoV-2 pada penerima vaksin.”

Ditambahkan lagi, “Antibodi yang kelak dihasilkan, juga dapat meningkatkan peradangan dan karenanya dapat meningkatkan keparahan penyakit paru.” (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7161485/)

Klop sudah, bahwa proses vaksinasi memang nggak kasih solusi apa-apa, selain malah mendatangkan masalah baru.

Apakah dampak vaksinasi hanya ADE saja?

Nggak juga.

Risiko lainnya adalah imunopatologi Th2 yang biasanya menyerang para manula.

“Sejak 1960an, kandidat vaksin untuk penyakit DBD, RSV dan SARS, telah menunjukkan fenomena paradoks, dimana hewan atau orang yang menerima vaksin, justru mengembangkan penyakit yang lebih parah daripada mereka yang belum divaksinasi.” (https://www.pnas.org/content/117/15/8218)

Yang dimaksud adalah peningkatan kekebalan yang bisa bermanifestasi dalam bentuk ADE atau bentuk peningkatan berbasis sel yang disebabkan oleh imunopatologi Th2.

“Potensi untuk ADE memang ada, tetapi masalah yang lebih besar adalah imunopatologi Th2,” ungkap Prof. Ralph Baric selaku ahli epidemiologi dan ahli virus Corona dari University of North Carolina.

Dalam studi SARS, tikus yang berusia lanjut justru memiliki risiko sangat tinggi terhadap imunopatologi Th2 yang bisa mengancam jiwanya.

Ini bisa dimungkinkan karena respons sel T yang salah kemudian memicu peradangan dan antibodi yang berfungsi buruk dan berpotensi merusak saluran udara pada tikus tua tersebut.

Dengan semua itu, jadi nggak mengherankan jika banyak korban tewas setelah disuntik vaksin, karena adanya 2 faktor yang saya sebutkan di atas. ADE dan juga imunopatologi Th2. (https://www.medpagetoday.com/special-reports/exclusives/91648)

Saat ini, dunia tengah menuju musim panas, dimana virus yang menyerang sistem pernapasan belum intensif. Waktu yang tepat untuk melihat reaksi vaksin adalah saat musim gugur atau musim dingin, dimana virus pernapasan akan menyerang secara brutal dipicu turunnya temperatur.

Selain itu, risiko lainnya dari vaksinasi adalah bahaya efek samping yang bakal ditimbulkan di kemudian hari. Dan kadar tiap orang pasti beda-beda. Ada yang terkena efek samping, bisa langsung meninggal setelah disuntik. Ada juga yang meninggal setelah beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian.

Dan alasan lainnya adalah bahwa vaksinasi gagal mengembangkan respons antibodi penetral pada pasien yang sudah mengalami imunosupresi. Jadi orang yang sudah mengembangkan antibodi alami (tanpa disuntik), begitu disuntik vaksin, malah berisiko tertular virus varian baru. (https://archive.is/TxCnT#selection-713.170-717.465)

Jadi apakah vaksinasi massal bisa mencegah orang terinfeksi virus Kopit ataupun mencegah seseorang untuk menularkan virus tersebut kepada orang lain?

Apakah kekebalan kawanan (herd immunity) dapat tercipta begitu 70% populasi disuntik vaksin?

Silakan anda jawab sendiri pertanyaan tersebut.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


One Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Cerita gedung pencakar langit roboh oleh pesawat, tapi tanpa pesawat.

    Cerita pandemi virus mematikan, dan talah dan akan terus membunuh manusia,
    Tapi tanpa virus.

    Luar biasa…
    Betapa bodohnya manusia2 akhir jaman ya mas..

error: Content is protected !!