Lanjutan Perang Suriah


515

Lanjutan Perang Suriah

Oleh: Ndaru Anugerah

“Bang, bagaimana nasib Suriah setelah Biden ‘sukses’ menghempaskan Trump pada pilpres yang lalu?” tanya seseorang netizen.

Tentang lanjutan Perang Suriah, saya pernah mengatakan dengan jelas pada ulasan saya beberapa bulan yang lalu melalui kasus Kurdi. (baca disini)

Dan setelah Biden terpilih, saya kembali menegaskan bahwa akan ada skenario lanjutan terhadap Perang Suriah melalui proyek GWOT. (baca disini dan disini)

Awal serangan AS pada kawasan Timur Tengah adalah false flag operation yang digelar oleh presiden Bush pasca tragedi 9/11. Dari situ, kemudian merembet kemana-mana dan akhirnya menghantam Suriah di tahun 2011. (baca disini dan disini)

Selepas pemerintahan Bush, Obama sebagai penggantinya padahal sempat berjanji berkali-kali bahwa dirinya nggak akan meneruskan warisan Bush untuk berperang di Suriah. (https://www.usatoday.com/story/news/politics/onpolitics/2015/10/30/16-times-obama-said-there-would-no-boots-ground-syria/74869884/)

Nyatanya sejak 2014 kembali terlibat. Obama justru berbohong dan justru menjatuhkan lebih dari 15 ribu bom serta 5.000 serangan udara yang menarget warga sipil Suriah.

Bagaimana peran AS pada perang tersebut? Tentunya dengan mendanai secara besar-besaran mesin perang mereka (kelompok jihadis Wahhabi) dengan target utama menggulingkan kepemimpinan Assad. (http://www.latimes.com/world/middleeast/la-fg-cia-pentagon-isis-20160327-story.html)

Dan ini bukan isapan jempol, karena Evan McMullin selaku mantan pejabat oeprasi CIA mengamini hal tersebut. “Tugas saya di CIA adalah menjalin kontak dan meyakinkan kelompok Al-Qaeda agar mau bekerjasama,” ungkap McMullin. (https://twitter.com/EvanMcMullin/status/765322182054383616)

Bahkan sebuah lembaga think-tank di Turki juga mengungkapkan hal yang kurleb sama. “Dari 28 faksi pemberontak Jihadis di Suriah, 21 diantaranya didanai Pentagon dan CIA,” paparnya. (https://www.moonofalabama.org/2019/10/new-york-times-fakes-the-record-of-arming-the-syrian-rebels.html)

Dalam memberi dukungan pada para pemberontak Jihadis di Suriah, AS nggak sendirian.

Setidaknya pemerintah Israel mengakui bahwa mereka telah lama menberikan bantuan militer kepada kelompok radikal Muslim di Suriah, guna menjatuhkan Assad. (https://www.haaretz.com/israel-news/.premium-israel-just-admitted-arming-anti-assad-syrian-rebels-big-mistake-1.6894850)

11-12 dengan Israel, Arab Saudi juga punya peran yang sama. Atas ‘restu’ Obama, Saudi menyumbang dana jumbo dan juga persenjataan kepada para pemberontak jihadis Wahhabi guna menyerang Assad. (https://www.nytimes.com/2016/01/24/world/middleeast/us-relies-heavily-on-saudi-money-to-support-syrian-rebels.html)

Apakah warga AS pada nggak tahu tentang skenario tersebut? Nggak juga. Cuma mereka bisa apa?

Saat ada pihak yang memperingatkan pemerintahan AS agar ‘tidak bermain api’ dan mendanai kelompok jihadis di Suriah karena bisa jadi bumerang, pemerintah bukannya berterima kasih malahan menuding pihak tersebut sebagai antek Assad dan pendukung Iran. (https://theintercept.com/2019/10/26/syrian-rebels-turkey-kurds-accountability/)

Cendol deh…

Pada pemerintah Trump, sebenarnya upaya untuk mengakhiri intervensi AS di Suriah sudah dimulai. Namun upayanya selalu kandas.

Saat Trump berencana menarik pasukan AS keluar dari Suriah, Eliot Engel selaku Komite Urusan LN AS di DPR langsung bereaksi keras, “Di tangan Trump, kepemimpinan AS jadi nggak ada ‘gigi’nya.” (https://www.congress.gov/bill/116th-congress/house-resolution/625/text)

Senator Richard Blumenthal juga beraksi yang kurleb sama. “Sebagai warga AS, saya merasa malu atas tindakan yang akan diambil Trump.” (https://uk.reuters.com/article/uk-syria-security-turkey-usa/horror-and-shame-u-s-senators-kurdish-leader-call-for-turkey-sanctions-idUKKBN1X100N)

Singkat kata, niat baik Trump selalu terkendala administrasi khususnya di parlemen.

Lantas bagaimana dengan kebijakan Biden kelak? Secara khusus terhadap Suriah, apa yang akan Biden ambil?

Pada kampanye yang lalu, Biden sempat bilang bahwa dia berencana meningkatkan tekanan kepada Bashar Assad. Artinya, kelompok jihadis bakal hidup kembali dengan adanya bantuan ‘fulus’ dan senjata dari pemerintaha Biden. (https://www.washingtonpost.com/opinions/global-opinions/biden-must-fix-obamas-biggest-foreign-policy-failure/2020/09/03/ed308ee0-ee1a-11ea-99a1-71343d03bc29_story.html)

Hal ini klop dengan pernyataan yang diungkapkan wakilnya, Kamala Harris, “Pemerintah AS akan kembali kasih dukungan kepada masyarakat sipil pro-demokrasi di Suriah.” Kelompok yang dimaksud Harris siapa lagi kalo bukan pemberontak haus darah alias para jihadis Wahhabi? (https://www.middleeastmonitor.com/20201103-kamala-harris-us-will-reverse-trump-era-policy-restore-relation-with-palestine/)

Bahkan Prof. Max Abrahms dari Universitas Northeastern, Boston mengatakan, “Setiap ‘ahli’ kebijakan LN yan kelak akan diangkat Biden, akan melanjutkan operasi mereka pada Irak, Libya dan Suriah dengan cara membantu kelompok jihadis di sana.” (https://twitter.com/MaxAbrahms/status/1326477255586050048)

Kalo sudah begini, masihkan kita secara naif berkata bahwa pemerintahan Biden cinta damai?

Anyway, silakan menyantap menu yang telah disediakan.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!