Kiblatnya ke China (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah – 01022025
“Bang, kemana arah The Great Reset yang akan menuju ke tatanan dunia baru? Gambarannya seperti apa kira-kira?” tanya seorang kepada saya.
Jawaban atas pertanyaan itu, sebenarnya saya pernah tulis pada beberapa tahun yang lalu. The Great Reset adalah pintu gerbang menuju tatanan dunia baru yang dikehendaki kartel Ndoro besar, dengan plandemi Kopit sebagai pemicu-nya. (baca disini, disini dan disini)
Kemana arah yang dituju?
Tentu saja dunia yang penuh inklusivitas alias kesetaraan. (baca disini dan disini)
“Kita akan mengarah ke sistem kapitalisme kesetaraan yang mirip-mirip dengan yang diberlakukan di China saat ini. Tapi dengan beberapa penyesuaian tentunya,” ungkap saya pada beberapa tulisan yang saya buat.
Kalo anda masih nggak paham atas sistem yang diberlakukan di China saat ini, silakan baca ulasan saya tentang hal itu. (baca disini, disini dan disini)
Singkatnya, ujung dari The Great Reset kiblat-nya ke Tiongkok, karena memang negara Tirai Bambu itu sebenarnya produk prototype dari laboratorium sosial sang Ndoro besar.
Adalah Deng Xiaoping yang kemudian melakukan endorsement pada sistem baru yang diberlakukan di China, selepas proyek Lompatan Jauh ke Depan yang dilakukan Mao Zedong berakhir dengan kegagalan.
Sistem apa yang diberlakukan Deng?
Sosialisme dengan karakteristik Tiongkok, yang akan menopang sistem perekonomian yang diberlakukan di negara tersebut. “Kapitalisme akan mendukung sistem sosialisme hingga komunisme tercapai,” begitu kurleb-nya. (https://archive.org/details/DengBuildSocialism)
Jadi menurut Deng dan partai-nya, privatisasi ekonomi di Tiongkok yang terus berkembang, merupakan fase sementara, dalam perjalanan menuju masyarakat tanpa kelas, yang menganut sistem sosialisme-komunisme penuh.
Lalu kenapa Deng melakukan reformasi sistem di China?
Karena Tiongkok adalah negara agraris yang ‘terbelakang’ saat sistem sosialisme-komunisme mengambil alih negara tersebut. Masih terlalu dini untuk diperkenalkan kepada rakyat.
Dengan demikian China masih butuh suntikan dana dari kapitalis untuk membangun negara-nya untuk bisa eksis.
Alih-alih mempertahankan pakem sosialisme, nyatanya China malah mengadopsi sistem kapitalisme yang disesuaikan deng karakteristik negara tersebut. (https://internationalecon.com/MyCourses/Y.Huang%20Shanghai.pdf)
Dengan konsep baru yang diperkenalkan Deng, sistem negara yang baru di China akan terdiri dari perusahaan-perusahaan raksasa, bank-bank kelas kakap hingga perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang investasi. Itu merupakan tulang punggung dan keharusan agar sistem sosialisme nggak bubar jalan.
Anehnya, sistem yang diberlakukan di China, mendapat pembenaran dari seorang tokoh di kartel Ndoro besar, Maurice Strong.
“Kita tahu bahwa kapitalisme murni tidak berhasil. Di Tiongkok, mereka telah menggunakan sistem mereka yang dinamakan ekonomi pasar sosialis, dengan cukup baik untuk mencapai tujuan mereka…. Mereka telah belajar cara menggunakan metode kapitalisme untuk mencapai tujuan sosialisme mereka sendiri. (Bisa dikatakan) Tiongkok merupakan salah satu negara dengan pengelolaan terbaik saat ini,” begitu ungkap Strong. (https://www.theguardian.com/environment/blog/2010/jun/22/maurice-strong-interview-global-government)
Kalo anda ragu siapa sosok Maurice Strong, dia adalah mantan Wakil Sekjen PBB, direktur eksekutif pertama program lingkungan PBB (UNEP) sekaligus anggota Dewan World Economic Forum (WEF). Jadi seorang Strong bukan tokoh kaleng-kaleng.
Satu hal lagi yang perlu anda ketahui bahwa Maurice Strong adalah mentor dari Ketua Eksekutif WEF saat ini, Prof. Klaus Schwab.
Dalam merealisasi sistem baru yang diperkenalkan Deng Xiaoping, maka kartel Ndoro besar mengutus Henry Kissinger ke Beijing guna ‘menormalkan’ hubungan dengan China. Tujuannya nggak lain adalah untuk mendorong arus investasi Barat ke Tiongkok. (https://www.newsandsentinel.com/news/local-news/2023/12/a-secret-trip-by-henry-kissinger-grew-into-a-half-century-long-relationship-with-china/)
Kalo nggak ada ‘normalisasi’ mana mungkin investasi Barat mau masuk ke negara Tirai Bambu?
Henry Kissinger sendiri, selain sebagai diplomat AS semasa presiden Richard Nixon, juga merupakan anak didik David Rockefeller dengan jabatan mulai dari anggota komite pengarah Bilderberg, anggota Dewan Direktur Council on Foreign Relations (CFR), anggota pendiri Trilateral Commission dan tentu saja anggota World Economic Forum.
Dengan kata lain, agenda yang dibawa Kissinger dengan pergi ke China secara diam-diam, bukan agenda AS, melainkan agenda Rockefeller alias kartel Ndoro besar untuk memberikan endorsement pada Tiongkok.
Menjadi masuk akal, jika kemudian sekelas Prof Klaus Schwab mantan murid Strong, mengatakan bahwa sistem yang diberlakukan di China merupakan panutan alias kiblat bagi banyak negara.
“Kapitalisme pemangku kepentingan yang akan diterapkan di seluruh dunia, dasarnya sudah terbentuk (di China), namun kita harus melangkah lebih jauh dengan mendefinisikan ulang seperti apa dunia seharusnya,” ungkap Schwab dalam sesi wawancara dengan TV China. (https://www.youtube.com/watch?v=j6N8PJVdALM)
Bisa dikatakan jika tujuan dari The Great Reset adalah membangun sistem pemerintahan ala China yang mencakup kontrol negara yang jauh lebih besar terhadap ekonomi, kolusi dan koordinasi yang erat antara pemerintah dan sektor swasta selain ‘bimbingan’ terhadap warga negara.
Tentu saja ‘bimbingan’ ini mencakup jenis tindakan otoriter dan juga teknologi pengawasan yang telah digunakan pemerinrah China dalam upaya mengontrol aktivitas penduduknya.
Itu sebabnya Schwab selalu mempromosikan teknologi yang diusung The Fourth Industrial Revolution (4IR) seperti IoT, Big Data, Cloud, AI, pelacakan jejak karbon individu, smart city, identitas digital, metaverse, penilaian kredit sosial hingga pemberlakuan mata uang digital.
Mengapa?
Karena hanya dengan teknologi 4IR, maka kapitalisme pemangku kepentingan bisa dijalankan dengan pemerintah sebagai eksekutor di lapangan.
Kalo bisa disimpulkan, maka pemodelan yang ada di China saat ini, hanyalah temporal sifatnya. Akan ada sistem yang lebih sempurna yang akan diterapkan oleh kartel Ndoro besar kepada seluruh penduduk di dunia. Tatanan dunia baru inilah yang dinamakan Stake-Holder Capitalism, dimana pemerintah hanyalah budak oligarki.
Lantas dimana beda stake-holder capitalism dengan state ‘socialism’ ala China?
Pada bagian kedua kita akan membahasnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)