Lab Sosial Ndoro Besar (*Bagian 1)


527

Lab Sosial Ndoro Besar (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

“Sebagai analis, apa pandangan Abang soal China?”

Sudah lama pertanyaan ini belum saya jawab, karena saya pikir belum terlalu mendesak untuk diungkapkan. Tetapi, sekarang kondisinya mulai kondusif untuk mengungkapkan rahasia besar dibalik China. Apa yang saya maksud kondusif, akan saya bahas pada analisa yang lain.

Sekarang saya akan coba jawab soal pandangan saya tentang China. Ini penting untuk disampaikan agar anda paham soal Negeri Tirai Bambu itu secara utuh.

Kalo anda lihat pertumbuhan ekonomi China, memang sangat menakjubkan. Gimana nggak. Kalo merujuk pada Produk Domestik Bruto (PDB) nya saja, kita bisa lihat lompatan gemilang pada negara ini, sejak 1980 silam hingga kini. (https://en.wikipedia.org/wiki/Historical_GDP_of_China)

Apa yang membuat ekonomi China menjadi menjulang tinggi dalam waktu singkat?

Ledakan ini dipicu oleh kebangkitan yang sangat spektakuler dari sektor manufakturnya. Ini dapat terihat jelas pada semua produk manufaktur yang ada di kolong jagat, mayoritas dikuasai oleh China.

Singkatnya, barang ‘Made in China’ berhasil mendominasi perdadangan global dengan nilai pasar mencapai triliunan dollar. (http://www.xinhuanet.com/english/20220114/ae925178e9764a9fa1593c740a23d165/c.html#:~:text=China’s%20foreign%20trade%20reached%20the,the%20total%20volume%20in%202005.)

Pertanyaannya: apa yang membuatnya ekonominya bertumbuh dengan sangat cepat?

Kalo anda gali informasi melalui media mainstream, anda nggak akan mendapat jawaban yang memuaskan. Paling-paling jawabannya standar: karena China membuka kran investasi seluas-luasnya pada negaranya, sejak era Deng Xiaoping. Titik.

Kalo itu jawabannya, bukankah banyak negara di dunia, juga sudah buka kran investasi di negaranya, tapi nggak meroket kek China ekonominya? Jawaban sedarhana itu jelas nggak membuat penggila geopolitik cukup puas. Something happened there.

Karena itu, anda membutuhkan saya untuk kasih ‘pencerahan’ atas pertanyaan ini, bukan?

Baiklah.

Untuk tahu jawaban tersebut, kita harus tahu sejarah Tiongkok secara utuh.

Sudah sejak lama China dipakai oleh negara yang menjajahnya untuk melayani kepentingan bisnis mereka. Yang paling umum adalah bagaimana treatment yang negara-negara Eropa berikan pada mereka, saat kawasan itu mereka taklukan.

Di abad ke-18, orang Eropa termasuk penggila barang-barang China yang dianggap bernilai seni tinggi, seperti kain sutra, teh hingga porselen. Sudah mafhum jika barang bernilai seni tinggi tersebut menjadi mahal harganya, karena banyak diburu bangsa Eropa.

Masalahnya, ini nggak berlangsung dua arah. Bangsa Eropa banyak memburu produk China, tapi orang-orang Tiongkok nggak tertarik produk yang dibawa bangsa Eropa. Ada ketimpangan terjadi, dan ini membawa dampak yang cukup fatal, dimana emas yang dijadikan alat pembayaran saat itu, lebih banyak masuk ke China ketimbang yang keluar.

Untuk mengatasi masalah ini, British East India Company menyodorkan jalan keluarnya. Mereka kemudian menggunakan perantara Turki dan India untuk menyeludupkan opium ke China, dan berencana menjadikan China sebagai sarang opium.

Apa kegunaan dari opium?

Ini adalah produk yang sangat berguna dalam menghilangkan rasa sakit, membantu orang tidur lelap dan mengurangi stress. “Masa iya jualan opium salah, kalo barang tersebut banyak gunanya?” demikian kurleb-nya.

Bermodalkan alasan ini, setidaknya ada 2 keuntungan yang bisa didapat. Pertama, banyak keuntungan yang bisa didapat karena orang akan mencandu barang tersebut. Dan kedua bangsa China bisa ‘diracun’ dengan produk opium yang mereka jajakan.

Sesuai skenarionya, dalam waktu singkat banyak penduduk China yang ketagihan opium, dan mulai terbuai ‘impian’ nirwana. Akibatnya sungguh dahsyat, jutaan bangsa Tiongkok menjadi malas bekerja, nggak produktif dan lebih memilih mengganggur dan nge-fly, akibat efek candu yang ditimbulkan opium.

Bahkan nggak sedikit dari mereka yang akhirnya menjual anggota keluarganya untuk dijadikan budak, agar opium tetap dapat mereka konsumsi. Ini terjadi di tahun 1838. (http://vll-minos.bl.uk/learning/histcitizen/trading/story/trade/4tradingplaces.html)

Ini jelas strategi yang sangat brilian, karena biayanya cukup murah, tapi efeknya sungguh sangat dahsyat dalam merusak bangsa China.

Melihat gelagat nggak benar, Komisaris Khusus Kekaisaran China yang bernama Lin Zexu dikirim ke Kanton dengan tugas khusus menghentikan perdagangan opium di China.

Akibatnya, tentara kekaisaran dinasti Qing lewat komando Lin Zexu, menyegel gudang opium milik British East India Company dan membuang 1 juta kg opium ke laut.

Nggak hanya itu, Lin Zexu juga mengirim surat permohonan ke ratu Victoria di Inggris untuk meminta penghentian bisnis opium, meskipun surat itu nggak pernah sampai ke tangan beliau. (https://www.britannica.com/topic/Opium-Wars)

Menanggapi aksi Lin Zexu, Inggris kasih aksi balasan dengan mengirim kapal perang dan pasukan ekspedisi yang menyerang pelabuhan dan kota-kota pesisir yang ada di China. Inilah Perang Candu pertama yang berakhir dengan kemenangan di pihak Inggris.

Ujung dari perang ini, ditanda tanganinya Perjanjian Nanjing yang intinya China bersedia melepaskan Hong Kong kepada Inggris dan memaksa membuka lima kota pelabuhan utama untuk perdagangan Inggris, termasuk Guangzhou, Xiamen, Fuzhou, Ningbo dan Shanghai. (https://china.usc.edu/treaty-nanjing-nanking-1842)

Bagi bangsa China, ini adalah sesuatu yang memalukan bagi mereka. Bahkan mereka menyebutnya sebagai Century of Humiliation, karena merusak perbatasan negara, sistem hukum hingga hubungan luar negeri.

Sejak itu China telah digunakan oleh bangsa penjajahnya sebagai alat kepentingan bangsa Eropa. (https://www.theatlantic.com/china/archive/2013/10/how-humiliation-drove-modern-chinese-history/280878/)

Itu point penting yang saya mau sampaikan, bahwa China dijadikan alat untuk melayani kepentingan bisnis para kompeni.

Kejadian berikutnya dimana kaum Komunis yang berhasil mengubah haluan negara di tahun 1949 lewat revolusi yang dipimpin Mao Zedong, memang awalnya berhasil memutuskan hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Inggris dan negara barat lainnya. Tapi apakah upaya itu berhasil?

Lalu, apakah nggak ada ‘invisible hands’ yang membantu revolusi tersebut?

Pada bagian kedua kita akan membahasnya.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!