Lab Sosial Ndoro Besar (*Bagian 2)


527

Lab Sosial Ndoro Besar (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian pertama tulisan, kita telah membahas bagaimana British East India Company berhasil menaklukkan China dengan menggelar Perang Candu I yang berakhir dengan penyerahan wilayah China seperti Hong Kong dan beberapa wilayah strategis lainnya dalam Perjanjian Nanjing. (baca disini)

Pertanyaan kritisnya: memang siapa yang memberikan sokongan penuh pada perusahaan sekelas British East India Company, sehingga punya kuasa ‘tak langsung’ terhadap pasukan kerajaan Inggris saat gudang opium miliknya dihancurkan oleh pasukan Lin Zexu?

Dialah klan Rothschild, alias gembong utama pada kartel Ndoro besar. Jelas saja, pasukan Inggris sewot saat bisnis majikannya diberangus oleh Lin Zexu. (https://www.realhistorychan.com/the-sassoons-the-rothschilds-of-the-east.html)

Sekarang kita mau lanjut pada masa saat revolusi komunis terjadi di Tiongkok pada 1949, yang dipimpin oleh The Great Mao. Siapa sosok Mao sehingga bisa memimpin sebuuah revolusi dan siapa juga yang menyokongnya?

Dalam sebuah terbitan pada Yale Daily News di tahun 1972, dikatakan bahwa tanpa dukungan dari Yale, seorang Mao Tse Tung nggak akan bisa bangkit untuk memimpin China. (http://digital.library.yale.edu/cdm/compoundobject/collection/yale-ydn/id/135148/rec/14)

Adalah Prof. Jonathan Spence selaku profesor sejarah Tiongkok yang pertama kali menemukan hubungan antara Mao Tse Tung dan klik Yale.

“Di tahun 1939, Mao yang saat itu berusia 26 tahun, sedang berada di Changsha, dan baru saja menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya. Kemudia Mao mengunjungi Peking dan disanalah dia mengenal tentang teori-teori komunisme dari kelompok studi Marxis yang bernama Leetuk Charles,” ungkap Prof. Spence.

Setelah kenal teori-teori Marxis, maka Mao muda butuh ‘panggung’ agar pandangan-pandangan Kirin-nya bisa diterima oleh komunitasnya. Untuk kepentingan ini, Serikat Mahasiswa Yale yang ada di China menawarkan Mao untuk menjadi editor jurnal yang mereka terbitkan.

Mendapat tawaran ini, Mao langsung menerimanya dan mengubah jurnal format mahasiswa menjadi jurnal yang mengulas kritik sosial pada pemerintahan saat itu. Disinilah pikiran-pikiran Marxis seorang Mao mendapatkan salurannya. Kelak jurnal tersebut diberi nama Reorientasi Pikiran alias Thought Reorientation.

Dengan kata lain, ada kaitan antara Yale University dan sosok Mao. Dan kalo kita bicara soal Yale, kita bicara soal kelompok secret society yang ada disana, yaitu Skull & Bones.

Fakta ini menarik untuk ditelusuri, bahwa memang Skull & Bones membidani kelahiran tokoh besar di China yang bernama Mao. Temuan lainnya juga mengungkapkan hal yang kurleb sama.

“George Bush, perwakilan diplomatik AS yang pertama untuk RRC di tahun 1973, adalah anggota Skull & Bones. Begitu juga ayahnya, saudara laki-lakinya, anak laki-lakinya, pamannya, keponakannya dan beberapa sepupunya.”

Ditambahkan lagi, “Winston Lord, sebagai mantan dubes semasa pemerintahan Reagan untuk China, adalah juga anggota Skull & Bones. Begitu juga dengan ayahnya dan beberapa kerabatnya.”

Hal sama juga terjadi dengan James Lily yang bertugas sebagai dubes AS untuk China saat peristiwa Tiannamen terjadi, juga anggota Skull & Bones. (http://www.illuminati-news.com/S&B-China.htm)

Apakah ini semua hanya kebetulan, bahwa semua mantan dubes AS untuk China (kecuali saat pemerintah Presiden Carter) semuanya terkoneksi dengan kelompok Skull & Bones?

Dalam diktum geopolitik, nggak ada sesuatu yang bisa terjadi secara kebetulan. Semuanya ada dalam rencana.

Bagaimana kelompok Yale bisa berada di China?

Kisah ini dimulai di tahun 1903, saat Yale Divinity School (YDS) mendirikan sejumlah sekolah dan rumkit yang ada di China. Layaknya jaringan yang dikembangkan NED dan USAID dikemudian hari, sebenarnya aktivitas yang dilakukan YDS bukanlah badan amal seperti yang terlihat dipermukaan, melainkan aktivitas intelijen.

Apa tujuannya?

Menghancurkan gerakan kaum republik Sun Yat Sen yang telah berakar di China. Kaum republiken perlu dihancurkan karena punya cita-cita untuk mengembangkan China yang merdeka dan berdaulat. Dan ini sangat tidak diharapkan oleh kartel Ndoro besar yang punya rencana ‘khusus’ pada Tiongkok.

Memangnya siapa yang mendanai gerakan YDS di China?

Awalnya Rothschild melalui yayasan yang dimilikinya, kemudian dilanjutkan oleh Rockefeller juga melalui yayasan-nya. (https://www.nexusnewsfeed.com/article/geopolitics/china-the-rothschilds-and-the-global-rise-of-communism/)

Dengan kata lain, Ndoro besar sengaja memakai tangan Mao untuk menghancurkan kekuatan kaum republik.

Secara nalar, bagaimana mungkin kaum nasionalis yang jelas-jelas didukung pemerintah AS, kok malah mau diberangus oleh kartel Ndoro besar?

Untuk tahu jawaban atas pertanyaan ini, anda harus bisa membedakan mana pemerintah resmi AS dan mana yang deep state. Pertanyaan selanjutnya: mana yang lebih digdaya dari keduanya? (baca disini, disini dan disini)

Dengan memakai pemetaan tersebut, maka jawaban atas pertanyaan: “mengapa kartel Ndoro besar justru menyokong kaum Bolshevik saat revolusi 1917 terjadi di Rusia, yang justru berseberangan ideologi dengan mereka” otomatis dapat dengan mudah anda jawab. (baca disini dan disini)

Kembali ke laptop.

Jadi, siapa yang sesungguhnya berkepentingan atas berubahnya status China dari sistem republik ke komunisme? Siapa yang memberi panggung seorang Mao untuk bisa memimpin Tiongkok dengan tangan besinya? Kita sudah tahu jawaban atas pertanyaan itu.

Nggak aneh jika dedengkot kartel Ndoro besar sekelas David Rockefeller, memberikan pujian kepada pemerintahan Mao Tse Tung, saat dirinya kembali dari plesiran ke China di tahun 1973.

“Eksperimen sosial di China dibawah kepemimpinan Ketua Mao adalah salah satu yang paling penting dan paling sukses dalam sejarah manusia,” ungkapnya. (https://www.nytimes.com/1973/08/10/archives/from-a-china-traveler.html)

So, apa pedapat anda tentang China selain sebagai laboratorium sosial milik sang Ndoro besar?

Pada bagian ketiga kita akan ulas bagaimana sokongan Ndoro besar diberikan kepada lab sosial yang telah dibuatnya, sehingga menjadikan Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi baru di dunia.

Dan ini bukan magic, bukan juga sihir.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!