Ketika MIT Tech Melempem


517

Ketika MIT Tech Melempem

Oleh: Ndaru Anugerah

Siapa nggak kenal MIT Tech Review? Kalo anda scholar, pasti anda kenal sama nama majalah ilmiah debutan kampus Massachusetts Institute of Technology yang kesohor itu. Sudah banyak peraih nobel yang karirnya berawal dari ulasan di majalah tersebut.

Nah kali ini MIT Tech Review menurunkan ulasan yang berjudul: Navigating a world reshaped by COVID-19. (https://www.technologyreview.com/magazines/the-coronavirus-issue/)

Apa isi ulasannya?

Salah satunya mengulas tentang hasil penelitian dari Stanford University yang menemukan bahwa jumlah orang yang terinfeksi C19 jauh lebih banyak daripada yang dilaporkan. Hasil riset tersebut berimplikasi bahwa tingkat kematian akibat C19 menjauh lebih rendah daripada yang dilaporkan. (https://www.technologyreview.com/2020/04/17/1000113/up-to-4-of-silicon-valley-already-infected-with-coronavirus/)

Kok bisa gitu?

Ingat rumus tingkat kematian (fatality rate), yang dapat kita ketahui berdasarkan tingkat kematian dibagi jumlah kasus infeksi. Dengan rumusan tersebut, tingkat kematian yang disebabkan si Kopit bisa jauh lebih rendah kalo jumlah orang yang terinfeksi JAUH LEBIH BANYAK yang pada kenyataannya tidak terdeteksi.

Berdasarkan riset Stanford University, disebutkan bahwa angka kematian aktual kemungkinan berada di bawah angka 0,2%, yang artinya tingkat kematian si Kopit sama dengan flu biasa Jadi nggak bisa dikatakan MEMATIKAN. Jika flu biasa tidak dapat membentuk dunia kembali, artinya si Kopit juga nggak bisa melakukan hal yang sama.

Alih-alih mengakui karya Stanford University tersebut, MIT Tech Review malahan menambahkan artikel yang mendegradasi riset tersebut. “Sebuah studi dari seorang ilmuwan skeptis terhadap pandemi mencatat bahwa virus bisa menyebar lebih luas, namun kurang mematikan daripada yang dipikirkan orang,” begitu kurleb isinya.

Siapa yang dimaksud seorang ilmuwan skeptis dalam ulasan MIT Tech Review tersebut?

Prof. John Ioannidis dari Stanford University yang dimaksud. Prof. Ioannidis pernah mengatakan “Virus bisa kurang mematikan daripada yang dipikirkan orang, sehingga upaya untuk melawannya hanya akan berakibat kegagalan dan dapat menghancurkan ekonomi.” (https://www.realclearscience.com/articles/2020/05/12/john_ioannidis_responds_to_critics_of_his_study_finding_that_the_coronavirus_is_not_as_deadly_as_we_thought_111392.html)

Tapi nggak ada satupun kata-kata Prof. Ioannidis yang menegaskan bahwa dirinya skeptis terhadap si Kopit. Lalu ngapain MIT Tech Review menuliskan frase tersebut dalam ulasannya?

Prof. Ioannidis juga nggak sendirian. Jeremy Samuel Faust, seorang dokter di Brigham and Women’s Hospital juga mengatakan, “Narasi tingkat kematian yang diklaim menakutkan (dari si Kopit), TIDAK MUNGKIN BERTAHAN LAMA seiring berjalannya waktu. Tingkat kematian yang sebenarnya, CENDERUNG LEBIH RENDAH DARIPADA YANG DILAPORKAN SAAT INI.” (https://slate.com/technology/2020/03/coronavirus-covid19-social-distancing-lockdown-not-enough-test-everyone.html)

Jadi hasil penelitian Stanford menegaskan bahwa tingkat infeksi dan kematian hanya dapat ditentukan DENGAN MENGUJI ORANG SECARA BENAR.

Masalah yang ditemukan dengan pengujian adalah: pertama alat tes yang digunakan kurang banyak, dan kedua mereka yang diuji adalah ORANG-ORANG YANG SUDAH SAKIT DAN MENUNJUKKAN GEJALA.

Logikanya, karena orang dengan sedikit atau tanpa gejala tidak diuji, otomatis mereka nggak masuk hitungan dalam statistik C19. Sehingga ANGKA KEMATIAN si Kopit menjadi SANGAT TINGGI karena hal ini.

“Jika lebih banyak orang yang terkena virus dan TIDAK MATI, maka angka kematian akan menurun DRASTIS.”

Tapi ulasan MIT Tech Review mencoba untuk mengaborsi riset tersebut. Di akhir ulasannya, dikatakan, “Secara keseluruhan ada lebih dari 30 ribu kematian di AS, lebih dari negara lain. Jadi SULIT DITEMUKAN KABAR BAIK (dalam pandemi ini).”

Singkatnya menurut MIT Tech Review, penelitian Stanford nggak akurat.

Lalu apa solusi yang ditawarkan MIT Tech Review?

Akan ada histeria publik yang dipicu si Kopit, lalu ada kelumpuhan sosial ekonomi karenanya. Sehingga harus ada solusi yang melibatkan ‘teknologi’ yang diusulkan sehingga dapat MEMBENTUK TATA DUNIA BARU pasca C19 nanti.

Apakah benar ulasan MIT Tech tersebut?

Pertama, sebagai tempat ilmuwan kelas dunia bermukim, kenapa MIT tidak melakukan penelitian serupa lalu membandingkannya hasilnya dengan temuan Stanford?

Bukankah itu pekerjaan utama dari seorang ilmuwan SUNGGUHAN yaitu melakukan riset, dan bukannya berlagak seperti lembaga fact checker dengan mendegrasi temuan Stanford?

Kedua, kok ulasan MIT Tech tersebut, arahnya mirip dengan yang dikemukan oleh Bill Gates, bahwa pada akhirnya akan ada ‘teknologi’ yang digunakan sebagai solusi mengatasi pandemi si Kopit untuk menjawab histeria publik?

Adakah kaitan MIT secara khusus MIT Tech Review dengan BG?

Saya katakan berkali-kali, “Pelajari kemana air (=uang) mengalir.” (baca disini dan disini)

Ternyata pendana jumbo pada kampus elite tersebut, salah satunya adalah BG, lewat tangan orang yang bernama Jeffrey Epstein. (https://www.businessinsider.com/bill-gates-connections-jeffrey-epstein-mit-donations-ronan-farrow-2019-9)

Dengan semua donasi jumbo tersebut, nggak mengherankan bila laporan MIT Tech Review sangat layak untuk dipertanyakan, karena TIDAK BEBAS KEPENTINGAN sebagai wadah akademisi yang menjunjung tinggi nilai independensi.

Kesimpulannya, jangan terpukau amat sama hasil ulasan kampus kelas dunia sekalipun, karena anda bisa saja ditipu oleh nama besar mereka.

Jangankan MIT Tech, lha wong The Lancet yang katanya sebagai rujukan jurnal ilmiah tingkat dunia aja bisa ‘dibeli’, apalagi sekedar cuma sebatas kampus? (baca disini)

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


3 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!