Jangan Mengandalkan Asumsi (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada judul berita di media online tertulis, “Baru berlangsung 2 hari pembukaan sekolah, muncul 6 klaster Covid-19.” (https://www.jawapos.com/nasional/12/08/2020/baru-berlangsung-2-hari-pembukaan-sekolah-muncul-6-klaster-covid-19/)
Masih banyak berita sejenis yang ditampilkan oleh media online di negeri ber-flower. Walhasil netizen yang tadinya sudah berniat mengijinkan anaknya untuk bersekolah kembali, langsung mengurungkan niatnya begitu baca berita tersebut.
Reaksi yang wajar. Siapa juga yang mau anaknya jadi korban si Kopit? Alih-alih ingin sekolah kembali, nggak tahunya bukan saja dapat ilmu, tapi juga dapat tertular si Kopit di sekolah. Orang tua yang waras pasti sangat peduli pada kondisi anaknya, bukan?
Terakhir, saya lagi yang dijadikan tempat bertanya. “Memang bahaya ya, mengirim anak ke sekolah kembali untuk belajar saat pandemi ini?”
Sebenarnya, sebagai analis geopolitik, saya agak malas bahas yang itu lagi-itu lagi, mengingat saya sudah sering ulang kek kaset kusut. “Masa hal yang sama ditanya berulang-ulang, sih?” pikir saya dalam hati.
Tapi kalo saya acuhkan, nggak bijak juga. Pada siapa lagi mereka bisa bertanya?
Saya coba jawab dengan bahasa yang sangat sederhana, agar kelak anda tidak perlu bertanya lagi kepada saya menyangkut hal yang sama.
Di Minnesota AS sana, telah dikeluarkan kebijakan yang bernama Rencana Pembelajaran Jarak Jauh alias Distance Learning 2.0 pada Musim Gugur mendatang. Jadi anak-anak usia sekolah akan melakukan pembelajaran online dan tidak melakukannya secara offline selepas liburan Musim Panas tahun ini. (https://www.spps.org/fallplanning2020)
Ini dilakukan setelah laporan yang dipublikasikan Duluth News-Tribune pada 5 Agustus 2020 silam. Apa isi laporannya? Banyaknya temuan dari masyarakat tentang kasus infeksi si Kopit di Minnesota, yang diklaim telah meningkat tajam. (https://www.duluthnewstribune.com/newsmd/coronavirus/6590054-Minnesota-reports-805-new-cases-of-COVID-19-on-Saturday)
Tahu darimana kasus infeksi meningkat tajam?
Dari hasil swab RT-PCR yang dilakukan. Sebagai informasi ada 18.227 tes diagnostik menggunakan swab yang dilakukan dalam satu hari, dengan hasil positif sebanyak 4,42%. Jelas saja hasil infeksinya meningkat tajam, kan ada test massal yang dilakukan.
Walhasil, para ortu khawatir jika anak-anak mereka kembali sekolah pada musim gugur ini. “Jangan-jangan anak gue bisa tertular si Kopit, lagi saat belajar di sekolah?” begitu kurleb-nya.
Singkat cerita, laporan dari Duluth News-Tribune tersebut dijadikan acuan untuk menerapkan pembelajaran jarak jauh jilid 2 alias Distance Learning 2.0 di Minnesota. Sasus beredar, kebijakan ini rencananya akan di-copas di seluruh negara bagian di Amrik.
Lantas dimana salahnya?
Pertama tentang kesalahan dalam penggunaan tes RT-PCR tersebut dalam mendeteksi keberadaan si Kopit. Dan kedua, karena alat yang dipakai salah maka akan berakibat pada salahnya membaca hasil dari test tersebut. (baca disini dan disini)
Apa maksudnya?
Kita sepakat bahwa test RT-PCR sangat sensitif, yang artinya test tersebut dapat mendeteksi potongan RNA/DNA terkecil, namun tidak bisa menentukan darimana potongan tersebut berasal.
Untuk mengetahui darimana asal potongan RNA/DNA tersebut, maka kita perlu melakukan isolasi dan pemurnian dari virus yang kita ambil lewat test tersebut. (https://bpa-pathology.com/covid19-pcr-tests-are-scientifically-meaningless-2/)
Singkatnya, proses isolasi dam pemurnian dari virus yang katanya si Kopit tersebut, harus dilakukan, agar kita tahu bahwa virusnya bernama si Kopit atau malah si Juleha. Jangan hanya karena mirip si Kopit, kita langsung tembak bahwa virusnya juga si Kopit. (baca disini dan disini)
Nah sampai sini, masalah kemudian muncul. Banyak ilmuwan di bidang kesehatan yang menyatakan bahwa virus-nya (yang diambil lewat swab RT-PCR), ternyata belum dimurnikan.
Saya kasih datanya.
Leon L.M. Poon dan Malik Peris melakukan penelitian yang berjudul “Emergence of a novel human coronavirus threatening human health” pada Maret 2020 dan diterbitkan pada Nature Medicine, menyatakann bahwa virus yang berkembang pada sel yang terinfeksi, bukan berasal dari virus yang dimurnikan. (https://www.nature.com/articles/s41591-020-0796-5)
Myung-Guk Han dan rekan-rekannya, juga melakukan penelitian di Februari 2020 silam. Judul penelitiannya: “Identification of Coronavirus Isolated from a Patient in Korea with COVID-19” kemudian diterbitkan pada Osong Public Health and Research Perspectives.
Hasilnya? “Kami tidak dapat memperkirakan tingkat pemurnian virus. Sehingga kami hanya memusatkan pada virus yang dikultur dalam sel yang terinfeksi.” Dengan kata lain, tahap pemurnian sel si Kopit tidak mereka lakukan. (https://ophrp.org/index.php?v_type=4)
Penelitian yang dilakukan oleh Wan Beom Park dan rekan-rekannya pada Februari 2020 silam, juga kurleb-nya sama. Judul penelitian yang diberi nama “Virus Isolation from the First Patient with SARS-CoV-2 in Korea” tersebut, diterbitkan pada Journal of Korean Medical Science.
Apa hasil penelitiannya? “Kami tidak mendapatkan mikrograf electron yang menunjukkan hasil tingkat pemurnian pada si Kopit.” (https://www.researchgate.net/publication/339358538_Virus_Isolation_from_the_First_Patient_with_SARS-CoV-2_in_Korea)
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Na Zhu dan rekan-rekannya, juga mendapatkan hasil yang kurleb sama. Penelitian yang berjudul “A Novel Coronavirus from Patients with Pneumonia in China” tersebut, kemudian dipublikasikan pada New England Journal of Medicine yang kesohor tersebut pada Februari 2020 silam.
Hasilnya? “Kami mendapatkan gambar partikel virus yang mengendap, bukan partikel virus yang dimurnikan.” Dengan kata lain, tahap pemurnian tidak berhasil mereka dapatkan. (https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/nejmoa2001017)
Masih banyak penelitian sejenis dan sudah dipublikasikan pada jurnal kesehatan/medis yang sudah qualified. Hasilnya-pun sama, bahwa tahap isolasi dan pemurnian virus yang diduga si Kopit tersebut, nyatanya tidak dilakukan.
Tiba-tiba langsung muncul bahwa virusnya bernama si Kopit. Padahal proses isolasi dan pemurnian belum sukses dilakukan. Pertanyaannya: apakah nama tersebut jatuh dari langit?
Entahlah.
Satu yang pasti. Kesalahan dalam mendeteksi virus akan berakibat pada kesalahan dalam memilih alat untuk bisa mendeteksi keberadaannya.
Alih-alih ingin tahu keberadaan si Kopit dengan memakai alat tertentu, eh yang dideteksi malah si Toing. Salah kaprah jadinya.
Sampai sini cukup jelas, ya?
Apa implikasinya? Pada bagian kedua nanti, saya akan bahas kelanjutannya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments