Jangan Mengandalkan Asumsi (*Bagian 2)


531

Jangan Mengandalkan Asumsi (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian pertama tulisan saya sudah jelaskan tentang kesalahan mendasar dalam menentukan jenis virus yang katanya bernama si Kopit tersebut. Kesalahan ada pada prosedur penelitian yang tidak melalui rangkaian yang seharusnya. (baca disini)

Seharusnya virus diisolasi dan dimurnikan terlebih dahulu, untuk mengetahui jenis virusnya tuh apa. Namun tahapan ini di by-pass sehingga nggak jelas juntrungannya tetiba lahirlah virus yang bernama si Kopit, yang nggak jelas asal mulanya.

Akibatnya fatal.

Kenapa? Karena penentuan jenis virus yang benar, akan mempengaruhi alat yang digunakan untuk mengidentifikasinya. Misalnya nih, kita mau tangkap ikan di laut, maka alat yang kita pakai kalo nggak pancingan yang pasti jala. Bukan malah pentungan yang kita bawa-bawa ke laut.

Begitupun dengan alat yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan si Kopit. Selama ini, guna mendeteksi keberadaan virus, alat yang dipakai dikembangkan berdasarkan temuan dari Dr. Kary Mulis. Dr. Mullis merupakan ahli biokimia AS yang berhasil memenangkan Nobel dalam bidang Kimia di tahun 1993 karena menemukan alat test PCR tersebut.

Berulang kali Dr. Mullis mengatakan bahwa alat yang dia temukan tersebut, tidak boleh digunakan untuk menguji keberadaan virus. Teknologi PCR dirancang untuk mereplikasikan urutan DNA dan bukan untuk menguji infeksi yang disebabkan virus Corona. (https://uncoverdc.com/2020/04/07/was-the-covid-19-test-meant-to-detect-a-virus/)

Akibatnya hasil test-nya nggak bisa dijadikan rujukan tentang apapun yang berkaitan dengan si Kopit.

Setidaknya Dr. Jessica C. Watson dari Universitas Bristol mengamini hal tersebut. Dalam makalahnya yang berjudul “Interpreting a covid-19 test result” yang diterbitkan pada The British Medical Journal, beliau mengatakan, “Kurangnya standar emas yang jelas bagi pengujian C19.”

Apa itu standar emas?

Kondisi yang menyatakan bahwa suatu tes dapat dikatakan valid dan reliabel untuk digunakan. Misalnya, kalo kita pakai alat test-pack untuk menguji apakah seseorang hamil atau tidak, maka kalo hasil test-nya positif, otomatis orang tersebut hamil. Begitupun sebaliknya.

Dengan kata lain, alat test-pack merupakan standar emas yang digunakan untuk menguji kehamilan seseorang.

Nah, Dr. Watson bilang bahwa test PCR bukan standar emas untuk menguji keberadaan si Kopit. Dengan kata lain, test PCR (semisal swab) tidak bisa dijadikan rujukan untuk mendeteksi keberadaaan si Kopit. (https://www.bmj.com/content/369/bmj.m1808)

Dr. Thomas Loscher selaku pakar penyakit infeksi dan pengobatan tropis dari Universitas Munich di Jerman, juga punya pendapat yang kurleb sama. “Bagimana anda tahu itu SARS-CoV-2, jika belum dimurnikan terlebih dahulu?” (https://bpa-pathology.com/covid19-pcr-tests-are-scientifically-meaningless-2/)

Akibatnya sungguh dahsyat. Setidaknya beberapa penelitian telah menggambarkan hasil uji yang sangat tidak masuk akal.

Pada Februari 2020 silam, otoritas kesehatan di Guandong China melaporkan bahwa orang yang telah pulih sepenuhnya dari si Kopit, awalnya setelah di test PCR hasilnya negatif. Namun setelah diuji ulang, hasilnya positif kembali. (https://www.zmescience.com/science/a-startling-number-of-coronavirus-patients-get-reinfected/)

Pada bulan Maret 2020, sebuah makalah yang diterbitkan oleh Journal of Medical Virology menyatakan bahwa 29 dari 610 pasien di sebuah RS di Wuhan, memiliki 3 hingga 6 hasil test yang hasilnya antara negatif, positif dan meragukan. (https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/jmv.25786)

Dan contoh berikutnya adalah penelitian di Singapura, dimana test PCR dilakukan hampir setiap hari pada 18 orang pasien. Yang mengejutkan adalah, mayoritas hasilnya beralih dari positif ke negatif, lalu kembali ke positif. Ini terjadi setidaknya sekali hingga 5 kali dalam satu pasien. (https://jamanetwork.com/journals/jama/fullarticle/2762688)

Bahkan Prof. Wang Chen selaku presiden Akademi Ilmu Kedokteran China juga menyatakan bahwa test PCR hanya memiliki tingkat akurasi 30-50% saja. (https://www.scmp.com/tech/science-research/article/3049858/race-diagnose-treat-coronavirus-patients-constrained-shortage)

Lebih ekstrim lagi langkah yang diambil oleh Dr. Sin Hang Lee dari Milford Molecular Diagnostics Laboratory. Beliau malah menyurati tim tanggap darurat Corona dari WHO dan juga Dr. Anthony Fauci (22/3).

Telah banyak dilaporkan bahwa alat uji RT-qPCR yang digunakan untuk mendeteksi SARS-CoV-2 RNA pada specimen manusia, menghasilkan banyak hasil positif palsu (false positive), sehingga tidak sensitif dalam mendeteksi beberapa kasus positif yang sesungguhnya.” (https://childrenshealthdefense.org/wp-content/uploads/04-30-20-Letter-to-WHO-and-Dr.-Fauci.pdf)

Kenapa ini bisa terjadi?

Karena ya itu tadi, pengujian untuk mengetahui keberadaan si Kopit prosedurnya tidak benar (virus tidak terlebih dahulu di isolasi dan dimurnikan), sehingga alat yang digunakan untuk mengujinya, otomatis juga ngawur. Nggak heran kalau hasilnya abrakadabra.

Dengan kata lain, test menggunakan swab PCR untuk menguji keberadaan di Kopit, sama sekali nggak bisa diandalkan. (https://www.mondialisation.ca/les-tests-talon-dachille-du-chateau-de-cartes-covid-19/5645964)

Ini bisa terjadi karena kebanyakan malah mendeteksi hasil positif palsu. Dikira positif terinfeksi si Kopit, nyatanya nggak. (http://pryskaducoeurjoly.com/actu/7133/tests-du-covid-19-une-epidemie-de-faux-positifs/)

Sehingga jika anda mendapati hasil test PCR anda adalah positif, ini tidak otomatis bahwa anda terinfeksi si Kopit. Dengan kata lain, pengujian menggunakan swab PCR, hasilnya hanya sia-sia belaka. (https://www.revmed.ch/RMS/2007/RMS-106/32181)

Apa yang bisa disimpulkan?

Yang ditenggarai sebagai klaster baru pasien si Kopit nggak lain hanya asumsi yang dibangun oleh media mainstream untuk menakut-nakuti semua orang. Bahwa hasil positif test PCR adalah identik dengan positif si Kopit pada seseorang.

Nyatanya, hasil test positif tidak identik dengan penyakit si Kopit pada diri seseorang.

Lalu, bagaimana Bang dengan Rapid Test?

Test Swab PCR yang butuh waktu beberapa hari untuk tahu hasilnya saja, hasilnya kek gitu. Gimana rapid test yang hanya butuh waktu sekian menit untuk mendapatkan hasilnya?

Anyway, anda tentu masih ingat dengan rapid test yang dilakukan oleh presiden John Magufuli dari Tanzania, bukan? Masa iya, papaya dan kambing bisa kena si Kopit? (baca disini)

Saya harap anda paham duduk masalahnya, sehingga tidak perlu bertanya kepada saya untuk kesekian kalinya.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


2 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!