1965: Ketika Kotak Pandora Terbuka (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah
Sejak peristiwa kudeta yang terjadi di tahun 1965, Indonesia nggak pernah lepas dari kungkungan AS. Semua peristiwa demi peristiwa yang terjadi kemudian, pasti berkaitan erat dengan kepentingan Paman Sam di Indonesia.
Seorang pejabat di World Bank pernah mengatakan, “Kejadian di Indonesia yang terjadi pada tahun 1965 merupakan moment terbaik bagi kepentingan Paman Sam sejak Perang Dunia II.” (https://scripties.uba.uva.nl/download?fid=610301)
Ya jelas saja moment terbaik, karena sejak saat itu kekayaan alam Indonesia dikuras habis-habisan oleh AS lewat perusahaan raksasa yang dimilikinya. Nggak aneh kalo mantan presiden AS, Richard Nixon sempat mengatakan, “Indonesia adalah hadiah terbesar bagi Paman Sam di wilayah Asia Tenggara.” (https://web.worldbank.org/archive/website01605/WEB/IMAGES/357LRANS.PDF)
Saya mau mengulas sepak terjang Amrik di Indonesia, dengan memakai analisa yang dibuat oleh David Ransom yang merupakan mantan pejabat Kemenlu AS, mantan Dubes AS sekaligus analis geopolitik spesialis Timur Tengah. Jadi analisa yang dibuatnya, saya pikir cukup representatif. (https://rememberingdavidmransom.org/memorial-service/obituary/)
Namun karena banyak informasi yang disajikan, saya akan memecah tulisan ini menjadi 3 bagian.
Indonesia, 1960. Saat itu Soekarno tengah berkuasa. Presiden yang berorientasi Nasionalis-Progresif tersebut, terlalu dekat dengan Peking. Hal ini diperburuk dengan PKI yang mendukung kepemimpinan beliau. Dengan jumlah anggota partai mencapai 3 juta orang, PKI hanya tinggal selangkah menuju tampuk kekuasaan selepas sang presiden lengser.
Bagi AS ini jelas bukan berita baik, mengingat Soekarno terlihat sangat anti nekolim yang dibesut AS dan kroninya. Harus ada cara untuk melengserkannya.
Maka digelarlah peristiwa ‘rekayasa’ yang akhirnya sukses menjungkal sang presiden dari kursi singgahsananya. Bukan itu saja, sejarah mencatat bahwa kurleb 500ribu hingga 1 juta jiwa melayang akibat dianggap sebagai simpatisan partai berlogo Palu Arit tersebut.
Dan puncaknya, pemerintahan Suharto membuka pintu selebar-lebarnya bagi perusahaan asing AS untuk ‘menjarah’ hasil kekayaan alam melimpah di Indonesia. Dan ini bisa terjadi karena adanya campur tangan Mafia Berkeley selaku proxy AS di Indonesia, sebagai pengampu kebijakan.
Bagaimana permainan ini bisa sukses digelar?
Pastinya ada perencanaan yang matang. Jadi bukan rencana semalam jadi. Disinilah perlunya proxy sebagai kepanjangan tangan AS di Indonesia. Merekalah yang kelak digunakan untuk menjalankan rencana yang telah disusun secara apik.
Siapa saja mereka? Macam-macam. Mulai dari dosen, mahasiswa, politisi hingga tentara.
Lalu apa kaitan antara proxy tersebut? Bagaimana mereka bisa saling melengkapi?
Sebelum menjawab itu, saya mau kasih pertanyaan sederhana?
Siapa yang paling mungkin dirangkul pertama kali sebagai pembuka jalan bagi masterpiece ini terlaksana? Tentu saja pihak akademisi yang banyak bercokol di kampus. Merekalah yang pertama kali harus didekati bila ingin menguasai sebuah negara.
Dari sekian banyak akademisi Indonesia, ada 2 nama yang cukup familiar bagi Washington. Pertama Sudjatmoko dan kedua Soemitro Djojohadikusumo. Keduanya merupakan dedengkot PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang sangat berorientasi ke Barat.
Oleh Robert Delson, kedua orang tersebut lantas dibawa ke AS untuk diperkenalkan kepada CFR alias Council on Foreign Relations yang merupakan badan yang sangat berpengaruh dalam merumuskan garis kebiajakan politik Amrik.
Berbicara di depan tokoh-tokoh AS di New York, Soedjatmoko mengatakan, “Strategi Marshal Plan AS di Eropa nggak mungkin bisa jalan tanpa ada sokongan sumber daya alam yang ada di Asia.” Soedjatmoko cuma mau bilang, “Pakailah kami sebagai alat kalian untuk menguasai wilayah Asia yang kaya SDA, secara khusus Indonesia.” Lewat apa? Program yang bernama modernisasi.
Nggak aneh saat jika Soemitro menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri di tahun 1949, maka garis kebijakannya adalah menstabilisasi ekonomi nasional yang didukung oleh investasi asing, yang nggak lain merupakan program modernisasi ala nekolim tersebut.
Saat Soekarno mulai menasionalisasi aset-aset milik Belanda di Indonesia pada tahun 1957, Soemitro menentang keras rencana tersebut. Akhirnya dia bergabung pada pemberontakkan PRRI/Permesta yang disokong penuh oleh AS. (https://www.berdikarionline.com/kronik-nasionalisasi-perusahaan-asing-tahun-1957/)
Sialnya, pemberontakkan gagal total, dan Soemitro dipaksa hengkang ke Singapura sebagai buronan politik Soekarno. Dan PSI dan Masyumi kemudian dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia, karena ketahuan sebagai agen imperialis asing oleh Soekarno.
Dengan kaburnya Soemitro ke Singapura, bukan berarti perjuangan berhenti, mengingat sejak 1951 Soemitro merupakan Dekan Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia. Sedikit banyak, dia masih punya kaki tangan di kampus tersebut.
Disanalah Soemitro mengatur ‘anak buahnya’ untuk merancang program masa depan ekonomi Indonesia yang modern, dengan bantuan Ford Foundation dan juga Rockefeller Foundation, sebagai penyedia dana di bidang pendidikan, lewat program beasiswa (scholarship).
Dean Rusk dari Rockefeller Foundation (1952) mengatakan, “Untuk menghadapi agresi komunis di Timur Jauh, kita harus menambah jumlah kaki tangan kita di sana lewat fasilitas pelatihan dan pendidikan.” Kelak kaki tangan ini dikenal sebagai para elite pembaharu (modernizing elite)
Siapa saja mereka? Tentu saja para mahasiswa binaan Soemitro, diantaranya adalah Prof. Mohammad Sadli dan Prof. Widjojo Nitisastro, yang kelak dikenal sebagai seorang Begawan ekonomi di republik tercinta ini.
Bagaimana modus operandinya?
Walaupun Soemitro hidup dalam pengasingan di Singapura, tapi dia masih dianggap Dekan in absentia di FE UI. Nah Soemitro-lah yang menyortir siapa-siapa saja mahasiswanya yang bisa dijadikan kader potensial untuk dikirim ke AS guna bersekolah.
Kemana tujuannya? Univeritas Berkeley.
Saat mereka berada di tampuk kekuasaan, maka otomatis ajaran-ajaran ekonomi liberal yang mereka dapatkan di AS sana, akan mereka praktikkan di Indonesia. Dan para mahasiswa binaan inilah yang belakangan dikenal sebagai Mafia Berkeley.
Tugas yang dilakukan Universitas Berkeley nggak lain adalah membina para mahasiswa yang direkomendasi Soemitro untuk mengganti profesor-profesor Belanda yang dikeluarkan Soekarno dari kampus-kampus di Indonesia.
Apakah Soekarno nggak tahu skenario ini?
Soekarno sangat tahu, cuma nggak bisa berbuat banyak. Pernah Soekarno mengeluh, “Yang bisa mereka katakan kepada saya hanyalah Schumpeter dan Kaynes, sedangkan bacaan saya saat muda adalah Marx.”
Saking kesalnya, bahkan Soekarno pernah mengancam akan menghentikan pelajaran ekonomi ala Barat di kampus-kampus Indonesia. Tapi niatnya akhirnya urung karena pihak Ford Foundation mengancam balik dengan menghentikan semua program bantuan pendidikan di Indonesia.
Singkat cerita rombongan pertama akhirnya meluncur ke kampus Berkeley dengan ketua rombongan Widjojo Nitisastro sebagai golden boy Soemitro.
Dan proyek Berkeley yang menelan biaya USD 2,5 juta tersebut, terbilang sukses. Tercatat sekitar 40 ahli ekonomi berhasil dicetak lewat program tersebut. Merekalah yang dikemudian hari akan membuka jalan pada masuknya investasi AS ke Indonesia lewat program Penanaman Modal Asing.
Bagaimana skenario lainnya dijalankan, setelah akademisi sudah dalam genggaman?
Kita lanjut dibagian kedua nanti.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments